HAI GAISS!
APA KABAR?
JANGAN LUPA VOTE DAN KOMENNYA YA!
HAPPY READING!
Fatan menghentikan tangannya yang menyentuh handle pintu ketika mendengar suara salam dari kamar bundanya. Cowok berhidung mancung itu memutar tubuh menuju kamar sang bunda yang berada di sebelah kamarnya.
Melihat ada celah sedikit dari pintu kamar ibunya yang tak tertutup rapat, Fatan mengintip ke dalam. Dia melihat perempuan yang berbalut mukena terusan di dalam sana membaca zikir setelah mendirikan salat asar.
Sampai Aisyah selesai berzikir Fatan masih berdiam di depan pintu, ada sesuatu perasaan aneh di dadanya yang membuatnya ingin tetap berada di sana.
Usai berzikir Aisyah mengangkat kedua tangannya dengan posisi telapak terbuka, menangadah.
"Ya Allah Ya Tuhanku ... Hamba mohon ampuni dosa hamba dan dosa anak hamba, Fatan. Ampunilah dia yang masih belum bisa menyayangiku Ya Allah. Fatan itu anak baik. Dia hanya belum mengerti keadaan ini Ya Allah."
Perlahan bahu perempuan itu turun dan bergetar, isakan kecil mulai lolos dari bibirnya yang kering. "Jangan Engkau turunkan azab atas kedurhakaannya padaku selama ini Ya Rabb. Hamba mohon kasihani dia."
Fatan tertegun mendengarnya. Ia tak berkedip cukup lama, memerhatikan bundanya yang tengah berdoa dengan doa yang masih sama seperti sebelum-sebelumnya. Selalu memintakan ampun untuk dirinya.
"Bunda." Fatan membuka pintu lebih lebar dan melangkahkan kakinya yang hanya memakai kaus kaki, menghampiri Aisyah yang selesai berdoa.
"Eh, Fatan ..." Aisyah buru-buru mengusap air matanya agar tak Fatan tak mengetahui bahwa ia tengah menangis. "Ada apa, Nak?"
Melepas mukena lalu melipatnya asal, Aisyah menghampiri Fatan yang berdiri beberapa jengkal darinya.
"Kok kamu masih pakai seragam? Kamu baru pulang ya? Kenapa nggak ganti baju dulu Fatan?"
"Atau kamu lapar ya?" tanya Aisyah. "Makanya kamu belum ganti baju dan ke kamar Bunda."
"Aduh maafin Bunda, Nak. Bunda tadi pulangnya agak sore soalnya tadi pekerjaannya banyak banget. Jadi, Bunda belum sempet masak."
"Bunda masakin dulu sebentar ya, Nak!" Aisyah hendak berlalu, namun Fatan menahannya.
"Kenapa harus nangis, Bun?"
Pertanyaan yang terlontar dari mulut Fatan membuat perempuan itu sedikit terkejut. Ternyata Fatan tahu bahwa ia tengah menangis seusai salat tadi.
"Kenapa harus nangis buat Fatan? Fatan nggak butuh ditangisin kayak gitu, Bun." Fatan mengepalkan kedua tangan di sisi tubuhnya, menahan sesuatu yang hendak keluar dari sudut matanya.
"Lebih baik Bunda berdoa supaya hidup kita berubah. Fatan capek hidup kayak gini. Udah nggak punya ayah, dibilang anak haram, dan miskin lagi. Bener-bener penderitaan yang sempurna," sindirnya akan fakta hidup yang ia alami.
"Nak, maafin Bunda. Bunda belum bisa bahagian kamu. Bunda belum bisa kasih apa yang kamu minta. Tapi, Bunda janji Bunda bakalan usahain apapun demi kebahagiaan Fatan."
Fatan terkekeh kecil sambil membuanh pandangan ke arah lain. Menghindari tatapan ibunya yang bertujuan agar tidak ketahuan bahwa saat ini ia tengah menahan sesuatu yang mencoba untuk melesak keluar dari matanya.
"Apa yang mau Bunda usahain? Kita makan aja masih susah, Bun."
Aisyah diam. Apa yang dikatakan oleh Fatan memang kenyataan. Bahkan, untuk makan sehari-hari saja terkadang mereka kesulitan. Sebab, ada saja kebutuhan mendesak atau keperluan lain yang sangat darurat.
"Udah deh mending Bunda nikah aja sana! Cari duda kaya raya terus minta nikahin Bunda biar hidup kita sejahtera dan bahagia," ujar Fatan kemudian meninggalkan sang bunda yang mematung di dalam kamarnya.
Setelah keluar dari kamar bundanya, Fatan langsung menuju kamarnya sendiri. Ia masuk sambil membanting pintu dengan keras dan langsung menguncinya agar sang bunda tak bisa masuk. Lalu, ia melempar tasnya asal ke atas kasur tipis dan memerosotkan tubuhnya di dinding kamar.
Pertahanan yang sedari tadi Fatan jaga kini runtuh begitu saja. Air mata meluruh membasahi pipi cowok berwajah kearab-araban itu. Tangannya yang berada di kedua sisi tubuhnya makin mengepal seiring kuatnya usahanya untuk menahan suara isak tangisnya sampai dadanya sendiri terasa sesak.
"Maafin Fatan, Bun," gumam Fatan di sela-sela tangisnya. Untuk pertama kalinya ia menyebutkan kata maaf yang ditujukan untuk bundanya. Kata yang justru selama ini sering keluar dari bibir Aisyah untuknya.
"Fatan selama ini nggak bisa mahamin perasaan Bunda." Fatan memejamkan mata. Menyandarkan kepalanya pada tembok. Percakapannya dengan Zayna di gang kala itu dan juga di tepi jalan tadi, membuka sedikit pikirannya dan juga pandangannya yang buruk tentang sang bunda.
Melihat bagaimana menyesalnya Zayna kehilangan buah hati yang tak pernah diharapkannya, dulu. Membuat ia merasa bersyukur karena telah diberi kesempatan untuk hidup sampai sebesar ini. Dulu, mungkin ia berpikir bahwa lebih baik ia mati dan tak dilahirkan daripada hidup seperti ini. Tapi, sekarang mulai sadar. Bundanya memberi ia kesempatan untuk hidup yang bahkan mungkin bayi-bayi malang lain harapkan dari ibu mereka yang kejam dan tak punya hati.
"Fatan emang benci sama Bunda. Rasa benci itu emang masih ada, Bun. Tapi, Fatan juga nggak mau ngelihat Bunda menderita dan kerja keras banting tulang sendirian demi Fatan."
"Fatan juga mau Bunda nikah dan dicukupin sama laki-laki yang sayang sama Bunda biar hidup kita juga terjamin," batinnya.
Fatan sering menyindir bundanya agar menikah bukan karena ia membencinya dan bermaksud merendahkannya. Tapi, ia ingin perempuan itu juga memikirkan kebahagiaannya, bukan hanya dirinya. Untuk itu, selama ini Fatan begitu menginginkan sosok ayah di dalam hidupnya. Fatan berpikir jika ada ayah, maka hidupnya tidak akan seperti ini. Ia bisa dinafkahi oleh ayahnya dan bundanya tak perlu bekerja sekeras ini.
Jujur. Fatan kasihan pada Aisyah. Namun, ia tidak tahu bagaimana mengekspreksikan rasa kasihannya itu ketika rasa kecewa dan hina pada dirinya sendiri menguasainya. Maka dari itu, ia meluapkan semuanya pada Aisyah.
Fatan menyapukan pandangannya pada seisi kamarnya. Kamar yang begitu kecil dan pengap. Lalu, ia mengambil ponsel di sakunya. Mencari nomor seseorang yang sudah beberapa hari yang lalu ingin ia hubungi.
"Assalamu'alaikum. Ini saya Fatan, Pak."
"Oh, iya, Nak. Bagaimana dengan tawaran bapak waktu itu? Apa kamu sudah memikirkannya?" sahut seseorang dari seberang sana.
"Justru itu, Pak. Saya menelepon Bapak untuk memberitahu Bapak kalau saya menerima tawaran Pak Sugi untuk kerja di warung mie ayam Bapak."
"Alhamdulillah, tapi kamu sudah izin sama Bunda kamu dulu, kan, Fatan?"
Fatan diam beberapa detik. "Em ... sudah, Pak," jawabnya berbohong.
"Oke. Kalau begitu besok sepulang sekolah kamu sudah bisa mulai bekerja ya Fatan?"
"Baik, Pak. Besok sepulang sekolah saya langsung ke kedai mie ayam Bapak. Tapi, hanya sampai jam setengah sepuluh malam, kan, Pak?"
"Cukup sampai jam sembilan saja, Fatan. Saya tahu kamu pasti butuh waktu untuk istirahat dan belajar juga."
"Enggak apa-apa, Pak. Saya bisa belajar sepulang dari warung Bapak," ucap Fatan. Ia merasa tak enak apabila ia pulang lebih cepat dari jam tutup warung mie ayam tersebut.
"Kamu tenang saja, Fatan. Saya tidak akan marah meskipun kamu pulang duluan, saya bisa memahami kamu kok dan soal bayaran akan tetap sama seperti yang saya tawarkan sebelumnya."
"Terima kasih, Pak Sugi. Terima kasih banyak. Saya akan berusaha untuk menjadi karyawan yang baik untuk Bapak."
"Kalau begitu saya tutup dulu teleponnya ya, Pak? Assalamu'alaikum."
Fatan sudah mengakhiri telepon. Mulai besok ia harus bisa menghasilkan uang sendiri. Ia tidak boleh bergantung pada kedua sahabatnya dan juga bundanya. Ia harus bisa mengumpulkan uang untuk membeli motor bekas dengan jerih payahnya sendiri.
SEE YOU IN NEXT PART
KAMU SEDANG MEMBACA
EL - FATAN (HIATUS)
Teen Fiction"KENAPA FATAN HARUS LAHIR DARI RAHIM SEORANG WANITA SIMPANAN SEPERTI BUNDA? KENAPA, BUN?!" "KENAPA FATAN NGGAK LAHIR AJA DARI RAHIM PEREMPUAN LAIN? FATAN MALU PUNYA BUNDA SEORANG PELAKOR!" El-Fatan Gafar Saputra begitu membenci takdirnya sebagai seo...