HAPPY READING!
"Assalamu'alaikum, Pa. Fisya berangkat dulu ya!"
"Dadah Ayaa! Dadah Mbak Na!"
"Dadah Kakak!" seru Zayna menggerakkan tangan mungil Cahaya untuk membalas lambaian tangan sang kakak.
Usai kepergian anak pertama majikannya, Zayna membawa Fisya masuk. Dia menggendong bocah berpipi gembil itu sambil mengajaknya bercanda. Tepat di depan pintu masuk, perempuan berjilbab merah bata itu menghentikan langkahnya. Dia menggeser tubuh ke samping bermaksud memberikan akses keluar untuk majikan laki-lakinya.
"Silakan, Pak!" Zayna merundukkan kepalanya dengan Cahaya yang masih berada di dalam gendongannya, tengah memainkan ujung jilbab yang perempuan itu kenakan.
Tak bergerak barang sedikitpun, Brata justru memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana sambil memandang perempuan yang kini tengah merunduk menatap ubin lantai. Bibir laki-laki itu tertarik ke atas membentuk senyum tipis. "Cantik," pujinya.
Zayna mengangkat kepalanya. Tubuhnya bergetar ketika mata Brata membidik tepat ke arahnya. Dan ketika laki-laki itu mendekat dengan senyumnya yang misterius, tubuh Zayna terasa lemas, bayangan kejadian beberapa tahun silam berputar cepat di otaknya. Namun, ia justru tak punya tenaga untuk sekadar menggeser tubuhnya ataupun pergi dari sana.
"Selalu cantik dan menggemaskan," ucap Brata lagi sambil mengusap pipi Cahaya, tapi matanya menatap Zayna.
Setelah mengucapkan kalimat itu, Brata mencium pipi Cahaya yang menambah keterkejutan dan ketakutan Zayna. Laki-laki itu kembali mengulang hal yang sama dengan beberapa tahun silam, mencium pipi Cahaya yang berada di gendongan Zayna. Yang membuat wajahnya begitu dekat dengan perempuan itu.
Deru napas yang memburu, tubuh yang bergetar, serta bibir yang pucat pasi dan keringat dingin yang membasahi telapak tangan perempuan itu adalah pertanda bahwa ia sangat ketakutan. Bahkan, sampai Brata masuk ke mobil dan menghilang di balik pagar, Zayna masih saja mematung di tempat. Matanya memerah dan berkaca-kaca, sesuatu yang menjadi luka besar dan trauma di dalam hidupnya seperti disibak kembali.
"Ya Allah. Lindungilah hamba dari hal-hal buruk seperti kala itu Ya Allah. Hamba sangat takut dengan sikap Pak Brata. Hamba Mohon jangan Engkau biarkan Hamba terjebak pada luka yang sama lagi," gumam Zayna mengusap sebulir air mata yang jatuh membasahi pipinya.
***
Fatan memarkirkan sepeda gunungnya di parkiran khusus sepeda. Masih mengenakan seragam sekolahnya, cowok berwajah kearab-araban itu melangkah menyusuri taman. Semilir angin yang membawa aroma mawar menerpa wajah Fatan. Seketika cowok itu memejamkan mata dan menghirup aroma bunga tersebut.
Hari ini kedai mie ayam tempatnya bekerja sedang tutup dikarenakan pemiliknya tengah menghadiri hajatan di rumah saudara. Sehingga Fatan libur selama dua hari. Dan untuk menenangkan pikirannya Fatan memilih pergi ke taman. Sebab, selama di sekolah tadi ia menghindari Attar dan Aham. Cowok itu masih marah karena mereka ikut campur soal urusan ia yang bekerja. Bukannya Fatan tidak tahu diri terhadap mereka, tapi Fatan memang tidak suka bila ada yang mencampuri urusan pribadinya. Dia juga tidak mau hal ini akan membuatnya semakin terlihat lemah. Fatan tidak mau hidup hanya berdasar belas kasihan orang lain.
Sudah cukup selama ini mereka membantunya dalam banyak hal. Bahkan, termasuk memberinya uang saku bila uang sakunya habis untuk keperluan tugas sekolah. Mereka sudah terlalu baik baginya.
Duduk di kursi taman Fatan melihat sebuah putung rokok yang dibuang sembarangan. Cowok itu mengambilnya dan membuangnya ke dalam tong sampah.
"Udah lama ya aku nggak ngerokok," ujar Fatan pada dirinya sendiri. Selama ini Fatan tak punya uang lebih untuk sekadar membeli rokok. Jadi, Fatan hanya merokok sesekali bila diberi oleh Attar dan Aham. Itu pun sangat jarang karena kedua temannya tersebut juga bukan perokok aktif.
"Tapi, itu justru lebih baik sih. Biar paru-paru aku sehat."
Di tempat yang sama Zayna tengah mengajak jalan-jalan Cahaya. Hari ini ia akan lembur sampai jam tujuh malam karena orangtua Cahaya sedang ada meeting dan sang kakak tengah mengikuti les untuk persiapan tes masuk ke perguruan tinggi.
"Cahaya mau apa? Buah apel apa buah jeruk?" Zayna mengangkat dua buah di masing-masing tangannya tersebut.
"Apel!" seru Cahaya antusias.
Melihat mata bocah berkuncir dua itu berbinar membuat Zayna melupakan kejadian pagi tadi untuk sejenak. Sedari pagi tadi ia tak fokus dan terus gelisah karena sikap Pak Brata. Bayang-bayang kejadian di masa lalu yang ingin Zayna lupakan mengusik ketenangannya. Untuk itu, Zayna mengajak Cahaya jalan-jalan ke taman yang tak jauh dari rumah untuk sekadar menenangkan pikirannya.
Perempuan itu ikut tersenyum menyaksikan Cahaya menggigiti buah apel dengan wajah yang ceria. Namun, tiba-tiba saja ia merasakan ada sebuah panggilan alam yang menyapanya. Zayna meringis ketika perutnya mendadak mulas.
"Aduh Aya, apelnya disimpan dulu aja ya sayang? Aya ikut Mbak Na dulu ke toilet nanti kita ke sini lagi buat makan apel."
Bocah berkuncir dua itu menggeleng. "Enggak mau, Mbak Na! Aya mau di sini! Aya mau makan apel!"
"Sebentar aja sayang nanti kita ke sini lagi, ya?"
Zayna terus berusaha membujuk Cahaya. Tapi, momongannya itu tidak mau diajaknya pergi ke toilet. Sementara, perutnya semakin mulas dan sudah tak bisa ditahan lagi.
Enggak mungkin kan aku ninggalin Aya sendirian di sini? Masa iya mau dititipin ke orang nggak dikenal? Nanti kalau malah diculik gimana? batin Zayna menahan mulas.
Perempuan berjilbab itu menoleh ke kiri dan kanan dan seketika matanya berbinar melihat seorang remaja berpakaian putih abu-abu yang sangat ia kenali.
"FATAN!" seru Zayna mengejutkan cowok itu.
Fatan menoleh ke arah sumber suara. Sedikit mengernyitkan dahi melihat Zayna melambaikan tangan padanya, mengisyaratkannya untuk mendekat. Namun, ia tetap beranjak dari tempatnya memenuhi panggilan perempuan itu.
"Mbak Nana ngapain di sini?"
Bukannya menjawab pertanyaannya, Zayna justru menarik Fatan agar duduk di sebelah Cahaya.
"Aya sayang. Aya makan apelnya ditemenin kakak ini dulu ya? Mbak Na mau ke toilet sebentar."
Bocah berpipi gembul itu hanya mengangguk-angguk sambil meneruskan aktivitasnya menggigit apel.
"Fatan ini darurat! Perut saya sakit banget. Saya titip Aya dulu ya? Jagain dia jangan kemana-mana," pinta Zayna menyerahkan botol minuman Cahaya pada cowok tersebut.
"Loh, Mbak?" Fatan hendak protes, tapi telah lebih dulu disela oleh Zayna.
"Saya percaya kamu orang baik, Fatan!"
Fatan hanya bisa melongo melihat kepergian Zayna. Hendak menolak, tapi perempuan itu keburu pergi. Tak mungkin juga ia meninggalkan anak orang sendirian di taman yang ramai ini. Apalagi Cahaya masih kecil akan sangat berbahaya jika ditinggal sendirian.
Menghela napas Fatan membenarkan posisi duduknya menghadap bocah perempuan yang ia taksir masih berusia dua tahun itu. Bibirnya terangkat membentuk seulas senyum melihat bagaimana lucunya Cahaya memakan buah apel.
"Apa kalau waktu itu anaknya Mbak Nana masih hidup sekarang sudah sebesar ini?" Tiba-tiba saja terbersit pertanyaan random dari kepalanya mengenai Zayna.
Fatan jadi memikirkan bagaimana Zayna bisa merawat anak ini sedangkan ia mempunyai luka batin tentang anaknya sendiri. Zayna pasti selama ini berusaha tegar demi menyembunyikan luka itu. Lalu, bagaimana dengan Bunda?
"Apa Bunda juga berusaha tegar meski batinnya selalu terluka?"
JANGAN LUPA VOTE DAN KOMEN!
KAMU SEDANG MEMBACA
EL - FATAN (HIATUS)
Teen Fiction"KENAPA FATAN HARUS LAHIR DARI RAHIM SEORANG WANITA SIMPANAN SEPERTI BUNDA? KENAPA, BUN?!" "KENAPA FATAN NGGAK LAHIR AJA DARI RAHIM PEREMPUAN LAIN? FATAN MALU PUNYA BUNDA SEORANG PELAKOR!" El-Fatan Gafar Saputra begitu membenci takdirnya sebagai seo...