BAB 2

3.4K 571 27
                                    

Halo Gaisss!
Aku update nih!
Siapa yang nungguin?

Sebelum baca aku ingetin lagi ya Gaiss jangan lupa tinggalkan jejak. Jangan jadi pembaca gelap sama pembaca kang ghosting yang suka ngilang. Bilang buruan update, tapi pas update malah ngilang kayak si doi, abis ngasih harapan terus pergi 🤭

Jangan lupa juga support author biar semangat udpate-nya dengan follow

Wattpad : Nisliha
Ig :@nis_liha
Tiktok : @wattpadnisliha

Selamat membaca!

Selama makan hanya terdengar suara cicak dan detak jarum jam di dinding.
Fatan fokus dengan makanannya yang tinggal separuh. Aisyah sendiri sibuk menahan air matanya yang sudah menggenang.

Sesekali perempuan berjilbab instan itu mendongak untuk menghalau jatuhnya air mata. Ia menarik-buang napasnya berulang kali berusaha untuk menenangkan diri.

Selesai makan Aisyah langsung membereskan piring dan mencucinya. Sambil mencuci piring bibir perempuan berusia empat puluh tahun itu terus mengucap kata "Allah" tanpa henti.

"Allah ... Allah ... Allah ...," gumamnya berusaha menghalau rasa sakit di dalam hatinya.

Sekuat apa Aisyah menahan air matanya agar tidak terjatuh. Pada akhirnya pertahanannya runtuh juga. Setetes demi setetes air mata mulai berjatuhan membasahi jilbab instan berwarna biru muda yang ia kenakan.

"Astagfirullahal'adzim," ucap Aisyah mengelap lelehan air matanya menggunakan punggung tangan.

Perempuan itu kemudian menyudahi aktivitasnya. Dia menumpukan kedua tangannya pada wastafel tempat cuci piring dengan napas yang tersengal.

"Ya Allah hamba mohon ampun atas ucapan putra hamba, Fatan. Hamba mohon jangan laknat dia. Putraku masih belum bisa memahami keadaannya, Ya Allah. Hamba mohon ampuni dia," pinta Aisyah terbata-bata, sangat takut bila Tuhannya murka dan menghukum sang putra yang telah berperilaku buruk terhadapnya.

Sudah cukup Fatan menanggung malu yang sangat besar karena dirinya. Aisyah tidak mau Fatan harus mendapatkan azab dari Allah karenanya juga. Aisyah yakin bila Fatan itu sebenarnya anak baik. Dia hanya belum bisa menerima takdirnya yang seperti ini.

Setelah dirasa cukup tenang Aisyah kembali melanjutkan aktivitasnya mencuci piring yang belum selesai. Meletakkan piring yang sudah bersih Aisyah duduk di kursi plastik dekat kulkas usang yang dulu ia beli dengan uang tabungannya.

Perempuan itu menyandarkan punggungnya pada kursi dan matanya menerawang ke atas, menatap plafon yang beberapa sudah hampir terlepas dan bocor ketika hujan deras.

Aisyah memutar kenangan beberapa tahun silam sebelum Fatan mengetahui rahasia terbesarnya. Sebelum tetangganya ada yang pindah ke Jakarta dan tinggal tak jauh dari kontrakannya yang dulu. Dan yang pasti Fatan masih bisa ia bohongi dengan berbagai alibi.

"Bunda, ayah Fatan kemana kok nggak pulang-pulang?" tanya Fatan kecil yang kala itu masih berumur tujuh tahun.

"Ayah kamu kerja di luar negeri, Sayang. Nanti kalau udah dapat uang yang banyak pasti ayah bakalan pulang." Aisyah memberi jawaban yang masuk akal dan diterima oleh anak kecil.

Dia paham Fatan bertanya seperti itu karena banyak teman-temannya yang menannyakan di mana keberadaan ayahnya yang tidak pernah terlihat.

EL - FATAN (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang