BAB 20

969 192 157
                                    

IG : @NIS_LIHA

HAI GAISS!

KAKTUS UPDATE!!

HAPPY READING!!

JANGAN LUPA VOTE DAN KOMEN!

Hari ini adalah hari pertama Fatan bekerja di kedai mie ayam. Sepulang sekolah cowok itu langsung pergi ke kedai tanpa pulang terlebih dahulu.

Fatan sengaja membawa baju ganti agar tak perlu pulang dan supaya bundanya tak tahu bahwa ia bekerja. Tadi pagi ia sudah mengatakan pada bundanya bahwa mulai hari ini akan pulang malam karena belajar bersama untuk ujian dan selesksi masuk kuliah, di rumah Attar. Fatan juga tak memberitahu hal ini pada Attar dan Aham karena tak ingin kedua sahabatnya itu khawatir.

"Fatan ini mie-nya tolong kamu antarin ke meja pojok itu ya?" suruh pegawai lain pada Fatan. Cowok berhidung mancung itu langsung mengambil alih nampan yang berisi satu mangkuk mie ayam untuk diantarkan ke meja pelanggan.

"Ini Pak mie-nya!" ucap Fatan sembari meletakkan mangkuk berisi mie ayam yang masih mengepulkan asap ke atas meja dengan sopan dan hati-hati.

"Makasih ya, Nak!"

Fatan mengangguk sopan, lalu berlalu menuju bagian belakang untuk membuat minuman. Dia menuangkan satu sendok gula pasir dan air teh yang sudah disaring ke dalam gelas. Lalu, ia menambahkan beberapa butir es tube yang membuat es teh tersebut tampak menggoda.

Detik demi detik sudah berlalu, tak terasa sekarang sudah pukul delapan malam. Sesuai perjanjian Fatan langsung beres-beres sebelum pamit pulang pada pemilik kedai.

Ketika akan berpamitan untuk pulang dia melihat seorang lelaki yang duduk di meja sudut sambil terus mengaduk mie-nya. Mie ayam yang masih tersisa separuh itu terus diaduknya dengan tatapan kosong. Fatan merasa penasaran dengan pelanggannya tersebut.

Sepertinya dia sedang ada masalah, pikir Fatan kemudian mengedikkan bahunya, tidak mau ikut campur.

Selesai berpamitan pada Pak Sugi, Fatan langsung bergegas pulang. Baru saja menyentuh stang sepedanya, Fatan melihat seorang cowok dengan celana belel tengah berjalan ke arahnya. Cowok itu tampak terkejut sekaligus berbinar melihat keberadaan Fatan di sini.

"Wah! Wah! Wah! Si anak haram ternyata sekarang kerja jadi tukang cuci piring di sini ya?" seloroh Alam yang langsung heboh melihat keberadaan Fatan.

Fatan mendengus. Tidak di sekolah tidak di luar sekolah Alam selalu saja merecoki hidupnya. Sebenarnya apa mau cowok itu?

"Emangnya kenapa kalo gue kerja di sini? Masalah buat hidup lo?" balas Fatan masih berusaha santai. Sebisa mungkin ia mengontrol dirinya agar tak terpancing dengan Alam.

Alam menggelengkan kepalanya sembari menyeringai. "Oh! Enggak dong! Enggak salah! Malah cocok banget, Tan."

"Emang lo itu cocok banget kalo kayak gini. Kerjaan sama status lo cocok. Sama-sama rendahan," tandas Alam sengaja memancing amarah Fatan.

"Alam!"

Teguran pelan, namun penuh penekanan dari seseorang menghentikan aksi cowok bertubuh kekar itu untuk kembali meledek Fatan. Alam langsung membungkam bibirnya melihat sang ayah keluar kedai dengan aura tegas yang memancar dari wajahnya.

"Siapa yang mengajari kamu bersikap lancang seperti ini?" Fatih berdiri di depan sang putera yang membuang pandangan ke arah lain.

Fatan sedikit terkejut ketika mendapati fakta ternyata pelanggan tadi adalah ayah dari Alam.

"Papa enggak pernah ngajari kamu buat merendahkan orang lain, Alam. Papa selalu mengajarkan ke kamu buat bisa menghargai orang lain. Kenapa kamu malah meledek teman kamu seperti ini?"

"Maaf, Pa. Alam tadi cuman bercanda," kilah Alam.

"Seharusnya kamu minta maaf sama temanmu bukan sama Papa."

Alam melirik Fatan yang masih berdiri di tempat. Kemudian berdecak sinis karena papanya membela cowok tersebut.

"Maafin gue, Tan. Gue tadi cuman bercanda kok, jadi nggak usah baper," ujar Alam tak ikhlas.

Fatih menggeleng lalu beralih menatap teman dari puteranya itu dengan tatapan bersalah. "Atas nana anak saya. Saya mau minta maaf ya, Nak?"

"Om tahu kamu pasti sangat tersinggung, tapi Om minta sama kamu buat jangan masukin omongan Alam ke hati. Kamu anggap aja omongan Alam tadi cuman ocehan orang mabuk."

Fatan sebenarnya tak terima dengan ucapan Alam. Tapi, melihat ketulusan ayah Alam meminta maaf padanya ia jadi tak enak bila tak memaafkan.

"Iya, Om. Saya udah maafin Alam kok. Lagian saya udah bisa diginiin sama temen-teman."

Jawaban dari Fatan membuat hati Fatih terenyuh. Dia kagum pada ketulusan hati remaja itu. Padahal, putranya sudah keterlaluan padanya. Namun, remaja itu tetap mau memaafkannya.

Tangan Fatih terulur menyentuh pundak Fatan. Dielusnya pelan pundak remaja itu sambil tersenyum. "Makasih ya, Nak."

Melihat sang ayah menyentuh pundak Fatan, Alam langsung menarik tangan ayahnnya agar berhenti mengelus pundak cowok itu. Ia tidak terima jika ayahnya ikut bersimpati pada anak tak jelas tersebut.

"Pulang yuk, Pa! Alam tadi ke sini disuruh Mama buat jemput Papa. Solanya katanya Papa tadi ke sini naik gojek," ucap Alam.

Fatih mengangkat bibirnya membentuk bulan sabit. Dia mengusap puncak kepala sang putera dengan penuh kasih sayang. "Jadi, kamu ke sini buat jemput Papa?"

"Makasih ya, Nak. Papa jadi terharu."

Melirik Fatan yang diam saja di tempatnya terbersit ide untuk membuat mood Fatan berantakan.

"Sama-sama, Papa. Memang sudah kewajiban seorang anak untuk berbakti kepada orang tuanya. Apalagi Papa itu suerheronya Alam. Masa iya Alam tega biarin Papa pulang kedinginan naik gojek malam-malam gini." Alam sengaja mengumbar keharmonisan hubungannya dengan sang ayah di depan Fatan. Agar cowok itu merasa iri.

"Kamu benar, Nak. Memang seorang anak itu wajib berbakti kepada orang tuanya. Bukan cuman sama ibu, tapi juga sama bapaknya."

Alam langsung menyerobot, "tapi, kalau nggak punya orang tua gimana, Pa? Misal nggak punya Papa karena enggak tahu Papanya di mana atau siapa? Cara berbaktinya gimana? Cuman lewat doa gitu?"

Fatan memejamkan mata, cengkramannya pada stir sepeda semakin menguat, pun otot-otot di sepanjang lehernya menegang. Pertanda bahwa ia mati-matian menahan diri agar tak menyerang Alam.

Tidak mau lebih lama menyaksikan hubungan yang harmonis antara bapak dan anak tersebut, Fatan memilih pergi saja dari sana. Ia muak melihat adegan semacam itu. Menyaksikannya hanya akan membuat kebenciannya pada sang bunda juga takdirnya semakin bertambah besar.

"Maaf, saya pulang dulu, Om, Alam. Permisi," pamit Fatan bergegas mengayuh sepedanya pergi dari sana.

Menangkap kemarah yang terekam jelas di wajah Fatan. Alam pun menyeringai puas. Dia tidak tahu jika saat ini Fatan menahan segala sesak di dadanya.

Seharusnya Alam itu tahu bahwa tak sepantasnya ia memamerkan hubungan yang baik dan keharmonisan antara bapak dan anak di depan seseorang yang bahkan tidak tahu siapa dan di mana ayahnya yang sebenarnya.

TERIMA KASIH TELAH MEMBACA

EL - FATAN (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang