Chyara dipanggil oleh Kak Intan. Ia terpaksa meninggalkan Bi Isah di dapur. Chyara dan Kak Intan berbicara di teras belakang yang didesain mirip green house dan merupakan tempat kesukaan Tante Dwi untuk merangkai bunga.
Mereka duduk di kursi besi berwarna putih dengan meja bulat yang di atasnya sudah terdapat rangkaian bunga segar. Chyara yakin rangkaian bunga dalam pot kaca itu baru dibuat Tante Dwi tadi pagi.
"Mama sakit, Chy ...," buka Kak Intan sembari menghela napas. "Mama nggak boleh banyak pikirian, tapi sepertinya itu nggak mungkin kan?"
Sejak perceraian dirinya dengan Dirantara, Kak Intan sudah beberapa kali mencoba berbicara dengan Chyara. Namun, wanita itulah yang menghindar. Chyara meghindari terlibat obrolan pribadi dengan Kak Intan maupun Chintya. Layaknya sepupu, mereka tentu saja rutin bekirim kabar, dan saat bertemu mengobrol seperti biasa. Namun, tetap ada tembok pembatas tak kasat mata yang Chyar jaga.
Jadi mendengar ucapan Kak Intan kali ini, Chyara pun hanya bisa diam. Ia tak mau langsung merespon sebelum semuanya jelas. Lagi pula,ucapan Bi Isah di dapur membuat Chyara menyadari bahwa tak memiliki kuasa papapun lagi.
"Kakak tahu mungkin kamu sudah lelah dengan semua ini. Kakak pun menyadari bahwa udah lama sekali kamu selalu dipaksa terlibat dalam drama keluarga kami. Bahkan kalau kamu muak, Kakak nggak akan kaget."
"Kak, jangan ngomong kayak gitu dong."
"Kakak cuma memikirkan kemungkinan terburuk."
"Tante Dwi emangnya sakit parah ya Kak?"
"Belum, tapi kalau Mama banyak pikiran, itu akan berpengaruh ke lambungnya. Dan setelah itu kita tahu apa selanjutnya. Siklus yang berulang. Tapi masalahnya sekarang, kita nggak punya penawarnya."
"Maksud Kakak gimana?"
"Mama nolak minum obat."
"Astagfirullah. Kok bisa gitu?"
"Menurut kamu?"
"Gara-gara Kak Dirant?"
"Mas Dirant selalu jadi kesayangan Mama. Kak Intan ngomong begini bukan karena iri ya. Nggak sama sekali. Kak Intan malah lega karena menjadi anak kesayangan berarti juga menjadi tumpuan keluarga. Mas Dirant memiliki tanggung jawab yang besar di pundaknya. Ada harapan Papa dan Mama yang harus dipenuhi. Ada nama baik yang mengatur semua tindakannya.
"Sejauh ini Mas Dirant selalu berusaha memenuhi semuanya. Namun, semenjak perceraian kalian, sepertinya dia juga lelah. Terlebih Mama bukannya makin longgar, malah bertambah ketat mengawasinya. Mama memang tidak terang-terangan, tapi seperti hari ini, ketika ada sesuatu yang mengkhawatirkan dan dianggap Mama tidak pas, Emosi Mama jadi meledak."
Chyara menghela napas. Ini adalah pertengkaran pertama antara Tante Dwi dan Dirantara. Sebelumnya, sekeras apapun Tante Dwi mendesaknya lelaki itu akan selalu mengalah. Dia tak pernah mau berkonfrontasi dengan sang ibu. Rasa hormat dan kecintaanya pada wanita yang telah melahirkannya itu membuat Dirantara selalu berhasil menelan egonya.
Lalu, mengapa sekarang berbeda? Apa yang membuat Dirantara meledak dan memilih untuk tak pulang sekarang?
"Larissa ...."
Chyara tersentak. Betapa cepat jawaban itu didapatkannya. Terlebih Kak Intan melihat hal itu. Ada tatapan iba yang mengarah pdanya sekarang. Kedutan di hati Chyara bertambah sakit. Iba? Apa perasaanya terlihat begitu jelas?
"Kamu tahu dia?"
Chyara menggeleng.
"Dia dulu mahasiswi S2 di kampus tempat Dirantara bekerja saat di luar negri. Saat mengunjungi Chintya, kami pernah bertemu. Tadinya Kakak mengira itu pertemuan kebetulan, tapi setelah dipikir-pikir janggal juga. Larissa anak Jakarta, tapi bertemu kami di Jogja. Kakak ingat Mama menanyakan alasan Larissa ada di sana, menginap di hotel tempat kami. Gadis itu mengatakan sedang ada urusan penting. Terlalu kebetulan bukan? Seharusnya Kak Intan sadar bahwa mungkin saja itu adalah usaha Mas memperkenalkan kami. Apalagi Mama mengatakan curiga bahwa Mas memang sudah memiliki seseorang.
KAMU SEDANG MEMBACA
PURPLE 2
RomanceDirantara hanya masa lalu untuk Chyara. Iya, setidaknya ia memutuskan hal itu karena tahu jika bersama hanya akan menghasilkan duka. Namun, mengapa, saat lelaki itu kembali dengan segala pengabaian yang terarah pada Chyara, hati wanita itu malah ta...