"Bang, Chyar minta maaf ya. Maaf ngerepotin terus. Tapi motor Chyar nggak bisa hidup. Nggak sempat juga dibawa ke bengkel."
Chyara menatap Rahman penuh rasa bersalah. Lelaki baik hati itu menyunggingkan senyum semanis biasanya. Tadi Chyara menelepon Rahman meminta tolong untuk mengantarnya. Setelah mampir di apotik, Rahman langsung mengantarnya ke rumah Dirantara. Sepanjang perjalanan Rahman tak terlalu banyak bicara dan hal itulah yang membuat Chyara makin tak enak hati. Apa ia telah berlebihan?
"Chyar janji klo motornya udah benar, nggak akan ngerepotin Abang lagi."
"Nggak usah ngomong gitu, Neng. Abang ikhlas lahir bathin." Jangankan ngantar, jadi Imam dunia akhiratpun Abang jabanin. Rasanya ingin sekali Rahman melontarkan kata-kata itu. Namun, melihat kekhawatiran di wajah Chyara dan rumah siapa yang mereka datangi, Rahman tahu harus menahan diri.
Ada sakit yang semakin besar dirasakan lelaki itu. Chyara memang tak lagi bersuami, tapi untuk bisa memilikinya masih terasa seperti mencoba menggapai bintang di langit. Bahkan sebelum bisa menyentuh, Rahman akan habis terbakar duluan.
"Chyar benar-benar nggak enak tapi Bang. Tiap kepepet selalau minta Abang, ngandelin Abang terus."
"Neng, yakin deh, Abang bersyukur Neng ngelakuin itu. Setidaknya jadi orang yang Neng butuhin, sebuah kemajuan besar buat Abang."
Chyara terpaku. Ada tatapan tak biasa yang bisa dilihatnya dalam mata Rahman.
"Chyar masuk dulu kau gitu ya, Bang."
"Ya, Neng. Hati-hati. Hubungi Abang, jam berapapun kalo Neng Chyar mau dijemput. Pokoknya telepon aja Abang."
Chyara mengangguk dengan kaku. Mengucapkan salam kemudian masuk ke dalam gerbang. Bahkan setelah mencapai teras dan berbalik, Rahman masih berada di jalan, menatapnya.
Chyara mengucakan salam dan mengetuk, pintu terbuka dalam hitunangan detik. Dirantara keluar dana langsung meraih tangan Chyara, mebawanya masuk sebelum mebanting pintu. Chyara yakin Rahman masih ada di sana dan melihat semua itu. Karena suara motor lelaki itu menjauh setelahnya.
"Kamu bawa paracetamolnya?"
"Eh ...."
"Please jangan tambahin anu, Chyara. Aku tidak sanggup."
Chyara meringis. Refleks ia menyentuh kening Dirantara dan langsung beristighfar. "Hangat. Mau demam ini."
"Makanya aku minta kamu bawakan paracetamol. Aku belum stok obat-obatan di sini."
"Chyar bawa kok. Ada obat yang lain juga." Chyara menyebutkan daftar obat yang dibawanya.
"Kamu yang beli sendiri atau Rahman?" Dirantara bisa dikatakan kembali menyeret Chyara ke sofa. Saat wanita itu hendak menarik tangannya, Dirantara kembali meletakkan tangan Chyara di kening. "Tambah panas kan?"
Chyara yang memang mudah sekali teralih perhatiannya langsung mengangguk. Bahkan sekarang telapak tangannya tidak hanya ditempelkan di kening Dirantara, melainkan pipi dan leher lelaki itu. "Iya. Kak Dirant belum makan kan?"
"Sudah."
"Kapan?"
"Tadi siang."
Chyara langsung cemberut. Ia jadi mengingat cerita dari neneknya yang sudah bicara dengan Tante Dwi. Bahwa alasan pertengkaran Dirantara dan ibunya karena foto yang dikirimkan istri Pak Evan.
"Kenapa cemberut?" tanya Dirantara tanpa sadar menarik bibir bagian bawah Chyara.
"Nggak ada. Kak Dirant itu emang nggak berubah, pasti lalai soal tubuhnya. Perut ini butuh makan," omel Chyara sembari menepuk pelan perut Dirantara.
KAMU SEDANG MEMBACA
PURPLE 2
RomanceDirantara hanya masa lalu untuk Chyara. Iya, setidaknya ia memutuskan hal itu karena tahu jika bersama hanya akan menghasilkan duka. Namun, mengapa, saat lelaki itu kembali dengan segala pengabaian yang terarah pada Chyara, hati wanita itu malah ta...