15

58 15 3
                                    

Mata Harsa berbinar-binar sembari berjalan menelusuri ruangan favorit ayah Rain, ruangan berisi koleksi dari beragam alat musik yang ditata sedemikian rupa, layaknya museum atau mungkin lebih cocok disebut sebagai "surga dunia" di mata Harsa. Dalam hati, ia begitu bersyukur karena datang lebih awal untuk menjemput Rain di rumahnya, sebelum mereka pergi menjelajahi kota sebelah. Mulai dari alat musik berukuran besar seperti grand piano, hingga yang terkecil seperti flute ada di ruangan tempat ia kini menghabiskan waktu menunggu Rain keluar dari kamarnya. Tangannya begitu ingin menyentuh benda-benda penghasil nada itu, tetapi Harsa berusaha sekuat mungkin menahan diri karena takut tak sengaja merusak atau menggores segala sesuatu yang ada di sana. Ia menggigit bibir, seolah barisan gitar yang terpajang di sepanjang dinding ruangan itu tengah berusaha menggodanya, meminta untuk disentuh.

Setibanya di ujung ruangan, ia mendapati sebuah gitar yang terpisah dari kelompoknya. Terlihat spesial, namun terasing. Gitar itu disimpan di dalam sebuah display case berukuran besar. Bagian dalamnya dilapisi kain beludru, dengan pintu dari kaca tebal, dan dinding yang terbuat dari kayu mahoni. Dihantui rasa penasaran, Harsa mendekati gitar itu, bertanya-tanya dari brand mana gitar itu berasal, hingga akhirnya setelah cukup lama mengamati, ia menemukan sebuah kalimat yang tertulis secara melingkar mengelilingi sound hole dari gitar berwarna natural tersebut.

- Untuk Hujan di Tahun ke-15 -

"Untuk Hujan?" Gumam Harsa.

Ditatapnya lagi benda itu lamat-lamat. Di antara semua gitar yang terpajang di ruangan itu, gitar yang berada di hadapannya kini terlihat begitu mulus seolah masih baru. "Mungkin " Begitu pikirnya.

Tok... tok... tok...

Suara ketukan di pintu ruangan yang dibiarkan terbuka mengejutkan Harsa, membuatnya berdiri tegak dan membalikkan tubuhnya secepat kilat, seolah takut tertangkap basah melakukan hal yang tidak seharusnya.

"I-iya?" Ucap Harsa seraya berjalan cepat menemui sosok di depan pintu, ketika ia dibuat lebih terkejut karena rupanya sosok itu tidak lain adalah ayah Rain. Seketika jantung Harsa berdegup kencang.

"Pa-paman?" Ucapnya seraya membungkuk sesaat.

"Menikmati koleksiku?" Tanya pria itu. Ia tersenyum hangat, meskipun tak mengurangi sedikit pun rasa gugup Harsa.

Harsa mengangguk, memaksakan senyum, lalu menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Aku menyukainya, Paman."

"Aku tidak akan keberatan kalau kamu sering kemari, Harsa. Lagi pula, aku tahu orang yang benar-benar menyukai musik hanya dengan sekali lihat. Benda-benda ini diciptakan untuk dimainkan, bukan hanya untuk dipajang, jadi kalau kamu ingin memainkannya pun tidak masalah."

Harsa tertegun, seolah pria itu mampu membaca isi pikirannya sejak awal menginjakkan kaki di ruangan ini.

"Rain juga punya tatapan yang sama... dulu..." Pria itu bicara dengan mata menerawang, sementara kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. Senyumnya sirna perlahan, menunjukkan raut wajah yang hampa, sementara gurat-gurat di sekitar dahi dan matanya menampakkan kesedihan yang sepertinya sudah cukup lama dipendam.

Harsa meneguk air ludahnya, berusaha memberanikan diri, berharap pertanyaan tidak akan dianggap sebagai hal yang akan menyinggung pria yang kini berjalan perlahan menyusuri ruangan itu.

"Untuk Hujan di Tahun ke-15... apa itu gitar milik Rain?"

Pria itu menghentikan langkahnya, tertunduk, tersenyum singkat, meskipun senyumnya tidak menunjukkan tanda kebahagiaan sedikit pun. Lantas, sesaat kemudian ia melangkah ke arah gitar yang tersisih tersebut, diikuti oleh Harsa. Sesampainya di sana, pria itu mengusap lembut permukaan kayu mahoni yang sedikit berdebu.

ORAINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang