12

24 2 0
                                    

Selama berada di kota Matruh, Jashen tenggelam mempelajari kumpulan buku dan gulungan peradaban Mesir yang diberikan Nariabbe Sarin, guna membantu ia melakukan penelitian ia butuhkan. Memilah-milah beberapa halaman buku dan gulungan peradaban Mesir—agak banyak tenaga ia terkuras menerjemahkan tulisan hieroglif yang lebih banyak tercantum dalam gulungan, sehingganya ia memutuskan tidur sejenak beberapa menit saja.

Ketika akan mengganti posisi arah kepala, Jashen merasakan pegal luar biasa, sehingganya ia terpaksa bangun, sambil menguap ia melihat jam ponsel yang tak jauh ia letakkan. Pukul satu malam dan lampu ruangan masih menyala, tapi satu hal yang baru saja ia sadari, sebuah selimut menyelimuti tubuhnya dan kapan pasti selimut itu ada di sana ia tak tahu. Ia sangat ingat sejak di ruangan ini, ia tidak membawa selimut.

Jashen memijat pangkal hidung lalu bagian belakang leher dan menguap kemudian, seraya menahan kantuk yang masih tersisa.

Pekerjaan belum sepenuh selesai, Jashen mengembuskan napas pelan memerhatikan buku catatan hasil menerjemahkan tulisan hieroglif yang telah mencapai tiga belas lembar, yang masih saja belum cukup.

“Apakah aku harus mencari juru tulis saja?” Jashen bergumam dan memerhatikan jari-jari tangannya masih berkeriput hasil menulis terjemahan tulisan hieroglif. “Atau semacam jasa tulis di Negara ini?”

Jashen berpindah menatap melelah menuju cangkir putih dan mengambilnya. “Bahkan aku melupakan kopi sudah habis entah sejak berapa lama.”

Kepala Jashen bergeleng. Ia bangkit dari duduk dan keluar dari ruangan sambil membawa cangkir bekas kopi ia seduh sendiri sebelum ia tertidur akibat terlalu lelah bekerja keras.

Dua sendok gula itu tidak berlebihan dan Jashen tahu berapa ia mengkonsumsi gula dalam takar dua sendok. Ia juga punya alasan untuk satu hal itu.

Jashen menggaruk belakang telinga dan tangan lain memegang cangkir kopi agak panas, dari jarak agak jauh ia menyipitkan mata dan melihat seorang anak menutup pintu suatu ruangan. Anak itu laki-laki dan kini dia memutar kaki. Ia melihat anak itu mendongak dan menatap lurus, mata mereka bertemu meski cahaya di koridor salah satu sudut rumah Nariabbe Sarin agak redup.

Tiba di depan pintu ruangan perpustakaan, Jashen menyapa kepada anak laki-laki itu ketika dia berhenti di saat ia juga berhenti, “Hai, Asha.”

“Hai Pak.”

“Kupikir jam satu malam anak-anak sudah harus tidur.” Jashen kembali berkata, dan ia menyadari bahwa ada bagian dirinya yang ingin mengetahui jawaban Asha untuk satu hal, bahwa dia mengapa masih berkeliaran di jam malam. Ia meneruskan lagi meski ragu sejenak. Tetapi menasihati seorang anak adalah bentuk dari memberikan perhatian yang positif, itu juga seringkali ia dapatkan ketika diumur serupa Asha. “Jam malam tidak baik untuk anak-anak.”

“Aku tahu dan akan aku ingat.”

Asha terlihat menerima nasihat Jashen katakan. Ia tahu Asha adalah seorang yang cerdas. “Kamar tadi …. bukankah itu kamar tidur Hagyum?”

“Iya, itu kamar tidur Hagyum, Pak.”

“Kalian selesai belajar?” tanya Jashen dengan santai.

Asha menggelengkan kepala. “Kami tidak belajar apapun—Rough butuh selimut.”

Ucapan Asha mengundang kening Jashen mengernyit. “Selimut? Kenapa Rough butuh selimut?”

“Ro saat ini harus menemani Hagyum yang sedang terluka.” Asha mulai menjelaskan. “Karena menjaga Hagyum, Ro tertidur duduk di sebelah ranjang tidur Hagyum. Tadi, seorang laki-laki membawa pulang Hagyum dibaluti luka yang sudah diobati.”

“Kenapa aku tak tahu?”

“Pak, mungkin Anda tertidur, sehingganya tidak mendengar kedatangan Hagyum dan tadi juga ada sedikit keributan.”

The Promise of Outstanding | Novella #5Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang