9. Kelewatan

29 6 5
                                    

Kapten CKM. dr. Aji Rafkanta, Sp.PD. dengan seragam PDH hijaunya keluar dari mobil yang baru diparkir. Sebenarnya hari ini ia ada rapat dengan para atasan untuk membahas lebih lanjut program kesehatan yang akan diselenggarakan di lingkungan Yonif 201/JY, tapi tiba-tiba dirinya mendapat telepon dari dr. Joseph untuk segera ke RSPAD Gatot Subroto. Atas seizin seniornya, ia memenuhi panggilan dr. Joseph.

"Dokter Aji!" seorang petugas keamanan menghampiri Kapten Aji. "Dokter Joseph sudah menunggu Dokter Aji di ruang ICU." lanjutnya.

"Ruang ICU?! Terima kasih." tidak ada waktu untuk terkejut lebih lama. Kaki jenjangnya langsung melangkah menuju ruang ICU.

Pikirannya bercabang, antara menolak pikiran buruk, menduga-duga sesuatu yang tengah terjadi, dan mempersiapkan dirinya untuk menerima informasi apa pun nantinya, bahkan hal terburuk sekalipun.

"Dokter Joseph!" Kapten Aji berhenti tepat di hadapan rekan dokternya yang baru keluar dari ruang ICU.

"Kenapa lari-lari begitu? Ini rumah sakit, bukan lapangan." tegur dr. Joseph.

Mengatur napasnya dan bingung dengan pertanyaan sang rekan. "Ada apa memanggil saya ke sini? Apa ada sesuatu yang terjadi pada Sersan Fais?"

"Dasar overthinking! Saya memanggilmu ke sini justru karena ada berita bagus. Ayo ke ruangan saya!" dr. Joseph melangkah.

"Lalu, siapa yang di ruang ICU?" Kapten Aji menunjuk pintu ruang ICU yang tertutup rapat.

"Pasien saya yang lain, baru selesai operasi." jawab dr. Joseph sambil terus berjalan.

"Subhanallaaahh ...." Kapten Aji mendongakkan kepalanya seraya bertasbih. Dirinya sudah kelewat khawatir.

Menyusul dr. Joseph yang sudah duduk manis di meja kerjanya. Duduk di kursi yang berhadapan.

"Begini, sebelumnya saya mau bilang terima kasih karena sudah berani meninggalkan rapat bersama pimpinan. Nyalimu saya akui!" puji dr. Joseph yang sebenarnya tidak dipedulikan oleh Kapten Aji.

"Itu tidak penting. Bagaimana keadaan Fais? Ada perkembangan?" tangkas Kapten Aji.

dr. Joseph menarik napas panjang, bersiap menjelaskan sesuatu pada Kapten Aji. "Ini sudah dua hari sejak perkiraan saya bahwa Fais akan mulai normal kembali, ternyata salah. Fais masih nyaman dengan mata tertutupnya."

Kening Kapten Aji mengerut, dalam diamnya ia mencoba menelisik apa yang membuat Fais bisa begitu.

"Tapi tenang. Kemarin Fais sempat membuka matanya walau hanya setengah jam. Itu sudah termasuk perkembangan. Semoga besok sudah bisa sadar sepenuhnya." lanjut dr. Joseph.

"Kenapa bisa begitu?" tanya Kapten Aji.

"Sepertinya karena trauma di kepala. Tidak ada yang tahu bagaimana Fais diperlakukan selama menjadi tawanan. Namun, hasil dari CT scan tidak menunjukkan adanya masalah serius pada bagian kepala." jawab dr. Joseph.

Kapten Aji mengangguk paham. "Lalu lukanya yang lain bagaimana?"

"Semuanya aman. Tinggal menunggu Fais sadar." jawab dr. Joseph.

"Rusuknya aman?"

"Oh ya, masalah rusuk, hampir lupa. Akan segera pulih satu sampai dua bulan ke depan." jelas dr. Joseph.

"Benar-benar prajurit gila!" umpat Kapten Aji.

"Kalian selalu melakukan hal gila ya?" tanya dr. Joseph.

"Kalian siapa?"

"TNI."

"Hanya dia, saya tidak." pungkas Kapten Aji.

dr. Joseph menahan tawanya atas jawaban Kapten Aji. "Saya mau periksa Fais. Mau ikut?" berdiri dari kursi kebesarannya.

Tanpa menjawab, Kapten Aji langsung berdiri dan mengekor dr. Joseph menuju kamar rawat Fais yang dijaga oleh dua prajurit TNI tidak berseragam.

"Pasien sudah bangun?" tanya dr. Joseph pada dua prajurit.

"Belum, Dokter." jawab mereka.

Melangkah masuk ke dalam kamar. "Loh? Sudah bangun?" sedikit terkejut karena ternyata pasiennya sudah membuka mata cukup lebar.

"Apa kabar? Bagaimana hari ini? Lebih baik?" pertanyaan runtut dari dr. Joseph hanya dibalas anggukan oleh Fais.

"Saya periksa dulu ya." mulai memeriksa tanda-tanda vital pasiennya. "Ada keluhan?"

"Tidak." jawab Fais.

"Kalau ada apa pun yang dirasa atau butuh apa pun langsung bilang ke saya, jangan sungkan atau bisa juga bilang ke Dokter Aji." ucap dr. Joseph.

Fais mengalihkan pandangannya ke sisi lain ranjang. Begitu melihat seniornya berdiri di samping ranjangnya dengan seragam berpangkat mentereng di bahu membuat Fais terkesiap dan mengangkat badannya. "Aakhh!"

"Jangan bangun dulu, jangan banyak gerak!" titah Kapten Aji.

"Dua rusukmu patah. Jadi, jangan macam- macam!" dr. Joseph memberikan peringatan tegas.

"Bisa-bisanya dua rusukmu patah, tapi kamu bilang tidak ada yang dikeluhkan." oceh Kapten Aji.

"Dokter Aji, marah-marahnya nanti saja kalau kalian sudah di batalyon. Sekarang kalian masih di rumah sakit." tegur dr. Joseph.
"Silakan kalian ngobrol santai, saya tinggal dulu. Jangan saling marah apalagi sampai baku hantam! Permisi." dr. Joseph beranjak pergi ke luar kamar.

"Izin, Kapten. Apa Kapten tahu keadaan Letda Syafwan dan pasukannya?" tanya Fais.

"Mereka sehat. Kamu tidak perlu memikirkan mereka yang telah ditolong oleh dirimu. Sekarang kamu pikirkan saja dirimu sendiri!" jawab Kapten Aji.

"Maaf saya sudah merepotkan batalyon." ucap Fais.

"Minta maaf ke Danyon, bukan ke saya." Kapten Aji duduk di sebelah ranjang.

"Izin, Kapten. Untuk penyembuhan tulang rusuk saya butuh waktu berapa lama?" tanya Fais.

"Satu sampai dua bulan." jawab Kapten Aji.

Terkejut mendengar jawaban Kapten Aji. Fais diam, memikirkan nasib diri dan regunya selama dua bulan ke depan.

"Mangkanya jadi prajurit itu gak usah gila! Lain kali dipikir matang dulu sebelum bertindak. Bukan dirimu saja yang susah, tapi juga berimbas ke regumu. Siapa yang akan memimpin pergerakan mereka nantinya?" Kapten Aji kembali mengoceh.

"Siap salah." tidak ada kata selain itu yang bisa diucapkannya.

"Apa yang dirasa?" tanya Kapten Aji.

"Tidak ada, Kapten." jawab Fais.

"Bohong kok ke dokter." umpat Kapten Aji.
"Sersan Fais, saya tahu ini bukan ranah saya untuk menanyakan hal ini, tapi saya penasaran. Selama kamu ditawan, apa saja perlakuan mereka kepadamu?" tanya Kapten Aji.

"Kaki dan tangan saya diikat, saya tidak bisa duduk ataupun berdiri, hanya berlutut sepanjang hari. Setiap malam kawanan mereka bertambah banyak. Di saat itulah puncak penyiksaan. Saya dipukul, ditendang, disulut api, ditampar, dan terakhir saya ditodong pistol. Beruntung regu penyelamat tiba tepat waktu, dalam sekejap mereka habis oleh regu penyelamat. Setelah itu saya tidak ingat karena sepertinya saya tidak sadarkan diri." jelas Fais, matanya menatap langit-langit kamar seperti melihat rekaman ulang penawanan dirinya.

"Lain kali jangan terlalu merelakan dirimu untuk orang lain. Dipikir panjang dulu, jangan langsung menyerahkan diri." pesan Kapten Aji.

"Siap, Kapten!"

"Istirahatlah. Kalau tubuhmu sudah jauh lebih segar, lusa kamu bisa kembali ke batalyon." Kapten Aji berdiri dan melangkah ke luar kamar.

Sepeninggal Kapten Aji, Fais kembali menutup matanya. Masih terbayang suasana penawanan. Dirinya ingat betul bagaimana kepalan tangan besar menghantam badannya, bagaimana sol sepatu keras menendang tubuhnya, bahkan beberapa percakapan para penawan masih diingatnya.

Mata Fais terbuka, "Siapa mereka? Kenapa menyamar jadi orang Melayu?"

------------
Story by Adamara
to be continue >>

Darat Masih JauhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang