11. Gambaran

43 5 6
                                    

Bayu menepuk paha Fais yang sedari tadi diam di pinggir lapangan tembak. Padahal matahari sedang terik-teriknya, tapi Fais seakan tidak kepanasan sama sekali. "Mikirin apa, Dik?" duduk di sebelah juniornya yang sekaligus komandannya.

"Gak mikirin apa-apa, Bang." ucap Fais setelah menghela napas.

"Orang tuamu sehat?" tanya Bayu.

"Sehat."

"Kamu punya sepuluh anggota, termasuk aku, termasuk juga sahabatmu si Dana. Apa gak mau cerita sedikit?" bujuk Bayu.

Fais menggeleng pelan. "Apa yang mau diceritain, Bang?"

"Fais, Fais. Kamu tuh emang paling susah disuruh buka suaranya. Pantesan Danton percaya banget sama kamu. Rahasia diri sendiri aja dijaga banget apalagi rahasia negara." Bayu menepuk bahu Fais lalu berdiri. "Oiya, sore nanti ada latihan halang rintang. Ingat toh?"

"Ingat, Bang. Masa lupa." tanggap Fais.

"Yowes tak tinggal dulu." Bayu beranjak pergi meninggalkan Fais sendirian yang masih berjemur matahari siang.

Dari jarak 14 meter ada seseorang yang memperhatikan Fais. Melepas earbuffnya dan merapikan pistol yang dipakai latihan tadi. Sedikit lari untuk menghampiri Fais.

"Kalau mau nyari keringat, gak gini caranya. Ke sauna lebih sehat." tegurnya dari belakang Fais.

Fais menoleh ke belakang, mendapati seorang pria jangkung yang barusan menegurnya. "Letda Syafwan?"

"Geser sini! Saya mau bicara." Letda Syafwan duduk di bawah pohon rindang yang kemudian diikuti Fais.

"Ada apa, Mas?" tanya Fais.

"Aku tau apa yang lagi kamu pikirin. Pasti mereka kan? Kelompok bajingan itu?" terka Letda Syafwan.

"Iya, Mas. Saya bingung kenapa gaya bicara mereka seperti orang Melayu, tapi wajah mereka wajah-wajah orang Barat." ucap Fais.

"Ada dua kemungkinan. Pertama, mereka sudah lama mengincar tanah Melayu, termasuk Indonesia. Mereka sengaja belajar bahasa Melayu untuk lebih cepat mendapat informasi akurat. Kedua, petinggi mereka orang Melayu yang mengharuskan mereka bicara pakai bahasa Melayu." ucap Letda Syafwan.

"Bahasa Melayu mereka campuran. Kadang Malaysia, kadang Riau, kadang Kalimantan. Kayaknya mereka memang bukan asli orang Melayu, cuma sok-sokan pakai bahasa Melayu untuk nyerang tanah Melayu. Mereka cuma paham bahasa Melayu dan bahasa Indonesia, tapi mereka gak bisa bicara pakai bahasa Indonesia sepenuhnya. Mereka gak paham bahasa daerah lain karena saya pernah nyoba pakai bahasa Sunda dan mereka gak ada yang paham." ungkap Fais.

"Mereka mau ngadu domba kita sama orang Melayu?" pungkas Letda Syafwan.

"Saya gak yakin karena kalau semisal mereka berhasil melancarkan aksinya, mereka akan lebih dikenal sebagai orang Barat karena kan mereka sama sekali gak ngeluarin suara. Beda cerita kalau mereka ngeluarin suara yang ternyata bahasa Melayu." Fais menentang.

"Betul juga. Apa mereka mengatasnamakan agama juga?"

"Saya gak dapat bukti yang mengarah ke sana. Kemungkinan mereka mengatasnamakan ras, khususnya ras melayu." simpul Fais.

Letda Syafwan mengangguk-angguk. "Yaahh ... ini bukan ranah kita lagi. Tugas kita sudah selesai untuk menggagalkan rencana terorisme mereka di Jakarta. Sekarang serahkan kasus ini ke pasukan lain. Gak usah dipikirin lagi." beranjak pergi meninggalkan Fais.

Fais merebahkan badannya di atas rumput. "Gak semua hal harus dipikirin, ujung-ujungnya juga bakal diyaudahin." monolognya guna menghilangkan overthinking.

Darat Masih JauhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang