15. Di Mana?

37 5 6
                                    

"Uhuk! Uhuk! Uhuk!"

Suara batuk yang tak kunjung henti membuat Dana terbangun dari lelap. Dilihatnya Fais yang terus batuk di atas kasur. Beranjak dari pembaringan, Dana mengambilkan minum untuk sahabatnya.

"Nih, minum dulu." menyodorkan gelas air.

Perlahan Fais meneguk air dalam gelas. Dana duduk di samping Fais, memperhatikan wajah sahabatnya yang memerah dan berkeringat.

"Lu sakit ya?" tanya Dana.

"Gakpapa, kok. Makasih ya." jawab Fais.

"Sini, gua taro gelasnya. Lu mau minum lagi?" mengambil gelas dari genggaman Fais.

"Enggak."

Dana beranjak menaruh gelas di wastafel. Sedangkan Fais termenung sambil mengelus dadanya yang terasa sakit. "Hasil pemeriksaan kemarin rusukku masih rawan, tapi besok harus tugas pengamanan. Kalo aku gak ikut, nanti Bravo gimana?"

"Oi, Pak! Ngapain bengong? Tidur lagi sana." tegur Dana yang baru kembali.

"Dan, kalo besok gua gak bisa ikut tugas, Lu bisa kan mimpin Bravo?" tanya Fais dengan sangat hati-hati.

"Emang Lu mau ke mana?" Dana bertanya balik.

Fais bingung harus menjawab apa. Ia tidak menyediakan jawaban untuk itu.

"Jangan lah, Is. Masa gua yang mimpin Bravo. Kan ada Lu, ya Elu lah." pungkas Dana.

Fais mengangguk. Ia sudah tau, pasti Dana menolak. Kembali menjemput mimpi di alam bawah sadar.

Subuh menyapa, sujud membuka hari ini dengan pengharapan. Hari ini demo besar kembali terjadi di Jakarta. Masyarakat dari segala penjuru berkumpul untuk menyuarakan suara sebagai penyambung lidah rakyat. Tertekan akibat kebijakan, tertindas karena kekuasaan, terbelakang disebabkan keserakahan para pejabat negara. Berusaha bersuara dan serahkan pada Tuhan apa pun hasilnya nanti di belakang.

"Mohon ijin, Danru diminta menghadap Danton sekarang." Cakra menghampiri Fais yang baru selesai mengusap kedua telapak tangan di wajah.

Tanpa menjawab, Fais langsung menghampiri komandan pletonnya di dekat truk yang siap mengangkut personil. "Sersan Satu Infanteri Fais Sudarat, izin menghadap!"

Danton mengangguk, membalas hormat yang diberikan Fais. "Kamu yakin bisa ikut tugas hari ini? Jujur, saya kurang yakin. Kalau kamu masih sakit silakan istirahat saja di barak daripada cederamu tambah parah." ujar Danton.

"Tidak apa, Danton. Sudah lebih baik dari sebelumnya." tangkas Fais.

"Yakin? Kamu itu suka bohongin saya, Sersan." ucap Danton.

Berusaha meyakinkan Danton agar bisa melanjutkan tugas pengamanan. Setelah sekian menit, akhirnya Danton mengizinkan Fais untuk tetap melanjutkan tugas sebagaimana mestinya. "Tapi kalau sakit langsung istirahat dan bilang ke dokter yang bertugas. Jelas?" satu persyaratan yang diajukan oleh Danton.

"Siap jelas!"

Satu per satu truk yang mengangkut puluhan tentara meninggalkan batalyon. Sampai di lokasi pastinya sudah banyak aparat kepolisian yang datang. Mungkin mereka sudah datang sejak kemarin malam. Danton mengambil alih pasukan dan langsung menempatkan regu sesuai dengan arahan Komandan Kompi.

"Bang, saya sama Aldo kok ditaro di Istana Merdeka?" tanya Ega pada Fais.

"Kalian jaga ring satu. Bawa senjata ya." jawab Fais.

"Bukannya ini menyalahi aturan, Bang? Kita ke sini kan gak boleh bawa senjata api." timpal Aldo.

Fais mendekatkan mulutnya ke telinga Ega. "Ada penyusup."

Darat Masih JauhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang