12. Dia Amel

53 6 9
                                    

"Bang, jarumnya kecil kan? Iya kan? Bener kan? Bilang iya, Bang. Bilang iya!"

Sudah sepuluh menit Ega terus merengek dan menanyakan hal yang sama pada Fais. Alih-alih menanggapi ocehan adik asuhnya, Fais tetap tutup mulut dan tak peduli dengan rengekan Ega.

Perjalanan menuju Unit Donor Darah PMI dilalui dengan zikir oleh Ega. Untuk pertama kali dalam hidupnya ia akan melakukan donor darah, ini pun dipaksa.

"Ega, denger-denger jarum donor darah itu lebih besar daripada jarum vaksin." bisik Isa.

"Bang Fais, Bang Isa nakut-nakutin nih!" Ega mengadu pada Fais yang masih tidak peduli dengan rengekannya yang entah sudah ke berapa kali.

"Mas Ega kalau berisik terus, saya turunin di sini ya, Mas." Pak Mulyo kesal dengan ocehan Ega.

"Turunin aja, Pak! Rese banget bocahnya!" Anto mengompori.

Ega terpaksa menutup mulutnya sampai di UDD PMI DKI Jakarta. Mereka mulai turun dari mobil. Hari ini ada giat donor darah yang dilaksanakan atas kerja sama antara PMI dan Kodam Jaya dalam memperingati Hari Juang Kartika.

"Banyak banget pertanyaannya!" sontak Ega terkejut melihat formulir donor darah dengan sederet pertanyaan di kedua sisinya.

"Isi yang benar dan teliti." ujar Fais.

Satu per satu anggota Bravo mulai melakukan donor darah. Sementara Ega yang masih menunggu giliran sudah tidak karuan tegangnya. Phobia jarum suntik sejak kecil masih belum hilang juga.

"Yuk, antrean berikutnya!" Asisten Transfusi Darah (ATD) sudah siap untuk pendonor selanjutnya.

"Maju sana!" ucap Fais pada Ega.

"Bang Fais, takut." rengekan Ega kali ini berhasil meluluhkan hati Fais dan membuatnya menghampiri sang adik asuh. "Mau donor gak?" tanya Fais.

"Mau, tapi takut sama jarumnya." jawab Ega.

"Langsung berbaring di sana atau perlu Abang tampar dulu?" sorot mata Fais yang dingin seakan menghipnotis Ega untuk langsung berbaring dan menyerahkan lengan kirinya kepada ATD.

"Ikhlas ya, Pak, darahnya diambil?" tanya ATD.

"Iya, ikhlas kok." jawab Ega yang sudah memalingkan wajah dan menutup matanya agar tidak melihat jarum suntik.

Sementara para anggotanya melakukan donor darah, Fais justru hanya menjadi dokumentalis. Ia tidak bisa donor darah karena saat opname seusai penugasan terakhir, dirinya sempat mendapatkan transfusi darah sehingga harus menunggu satu tahun agar bisa mendonorkan darahnya.

"Kok gak donor, Pak?" Dana menepuk bahu Fais.

Menoleh, "Gak bisa." jawab Fais.

"Hemoglobin rendah atau masalah tensi?" tanya Dana.

"Bukan." jawab Fais.

"Terus apa? Takut?"

"Bukan."

"Lah terus?"

"Gakpapa."

"Dih? Kita tuh harus bantu orang, Is. Ikhlasin lah sebagian darah Lu buat orang lain. Di luar sana banyak yang butuh darah, kasian kan mereka." oceh Dana. "Noh baca noh! Setetes darah Anda merupakan nyawa bagi orang lain." menunjuk papan slogan di dinding.

Fais menoleh ke Dana, mendekatkan mulutnya ke telinga dia. "Salah satu nyawa yang terselamatkan itu gua. Justru gua yang butuh didonorin darah."

Fais langsung beranjak pergi, meninggalkan Dana yang masih diam kebingungan. Masuk ke sesi foto sambil menunjukkan lengan yang diplester sebagai tanda telah mendonor darah, kecuali Fais.

Darat Masih JauhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang