6. Tertawan

44 6 8
                                    

Satu minggu berlalu tanpa kabar sama sekali. Di balik tawanya, ada kecemasan yang ditutupi. Setiap pertanyaan, dijawab dengan kebohongan. Tak bisa bergerak banyak karena ia hanya seorang prajurit yang diamanahkan untuk berpura-pura tidak tahu.

"Serda Muamar! Fokus!" untuk kedua kalinya helm yang dikenakan Dana dipukul instruktur. Kembali mencoba untuk fokus pada papan bidik sejauh sepuluh meter di depan sana.

Selesai evaluasi, Bravo langsung membereskan persenjataannya. Berbincang sedikit untuk memecah sunyi di gudang alutsista.

"Wadan, izin bertanya. Apa sudah ada kabar dari Danru Fais?" tanya Anto.

"Iya, Wadan. Kenapa Danru gak bisa dihubungi? Bukannya cuma pulang kampung?" tambah Ega.

"Di kampungnya mungkin susah sinyal. Saya juga belum dapat kabar sama sekali." jawab Dana seraya mengusir pikiran buruk yang melintas.

"Seminggu gak dapet omelan Bang Fais tuh rasanya kayak ada yang kurang." ucap Kurnia.

"Iya bener, Dul. Jadi kangen padahal cuma ditinggal ke kampung sebentar."

"Tapi kenapa gak pamitan sama kita dulu ya?"

"Mungkin darurat kali. Jadi gak sempet pamitan sama kita."

"Nggak, Dana! Fais pasti baik-baik aja. Dia kan jago, dia hebat, dia dipercaya oleh atasan untuk melakukan misi ini. Fais pasti pulang dengan sehat, pasti!" Dana menggelengkan kepala berusaha mengusir pikiran buruknya.

Selesai semua pekerjaan, saatnya kembali ke kasur. Belum sampai kakinya melangkah masuk ke barak, ada yang memanggil Dana sehingga membuatnya menoleh ke belakang.

"Sersan Dana, mari ikut kami." dua orang perwira melangkah ke tempat lain diikuti oleh Dana.

Mereka berhenti di bawah pohon mangga yang rindang dan keadaan sekitar yang sangat sepi. Letda Syafwan mengeluarkan kertas dari saku kemejanya.

"Ini untukmu." menyodorkan kertas terlipat ke Dana.

Dana mengambilnya, "Ini apa, Letnan?"

"Itu dari Sertu Fais, dia menitipkan ke saya untuk memberikannya padamu." jawab Letda Syafwan.

"Mohon izin, memang Sertu Fais ada di mana sekarang?" tanya Dana.

Letda Syafwan dan Letda Ricky saling tatap beberapa detik. Kembali menatap Dana yang masih menunggu jawaban dengan wajah cemas.

"Sertu Fais ... dia ...." Letda Syafwan menggigit bibirnya sendiri.

"InsyaAllah dia aman dan akan segera diamankan." ucap Letda Ricky.

"Maksudnya akan segera diamankan? Ada apa sebenarnya? Mohon petunjuk, Letnan." pinta Dana.

"Saya, Ricky, Fais, dan beberapa prajurit lain, diberikan amanah untuk menggagalkan aksi terorisme yang mengancam Jakarta. Kami berhasil menggagalkannya, tapi kami tidak berhasil membawa Fais pulang bersama." jelas Letda Syafwan.

Mata Dana membulat sempurna, dadanya berdesir, napasnya seakan berhenti. "M-maksudnya, Danru Fais ...."

"Dia tidak gugur, melainkan diculik." ucap Letda Ricky.

Tubuh Dana semakin membeku. Air mata mendesak untuk keluar dari pelupuk. Wajahnya memerah dan gerahamnya saling beradu.

"Kami berusaha menyelamatkannya, sudah kami coba selama tiga hari, tapi kemarin Danyon sudah mengirim jemputan untuk kami dan pasukan pengganti. Kami sangat berharap Sertu Fais bisa kembali dengan selamat." ucap Letda Syafwan.

"Kenapa Danru Fais bisa diculik?" tanya Dana.

Letda Ricky menghela napas, "Sertu Fais sangat pemberani, lebih berani dari perkiraan kami. Dia melindungi kami dari sergapan musuh. Dia membiarkan kami pergi dan merelakan dirinya untuk ditawan." jawab Letda Syafwan.

Darat Masih JauhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang