10. Kembali (Marah)

35 6 17
                                    

"Duluan saja, saya mau ke toilet sebentar."

Fais melangkah ke arah yang berbeda dengan orang yang menjemputnya. Kini tubuhnya sudah lebih segar, walau pergerakannya masih terbatas karena tulang rusuknya yang patah. Salah gerak, bisa membahayakan organ dalamnya.

Memperhatikan dirinya di depan cermin lebar. Wajahnya masih terlihat sedikit pucat. Mau ditutupi seperti apapun juga tetap terlihat pucat. "Semoga mereka pada gak sadar."

Fais berharap rekan-rekannya tidak menyadari wajah pucatnya. Tak berlama-lama di toilet, ia langsung berjalan menuju mobil jemputan.

BRUK!
"Maaf, saya kurang fokus pada jalan." seorang perempuan berkemeja putih menabrak Fais yang baru keluar dari tikungan toilet.

"Iya gakpapa, Rayna." balas Fais yang sangat yakin kalau perempuan itu ialah Rayna.

Mendongakkan kepala, menatap wajah pria yang ditabraknya. "Maaf, Rayna teman saya?"

"Eh? E ... kira s-saya Anda Rayna. Maaf maaf." Fais kikuk karena terlalu percaya diri memanggil nama orang.

"Saya temannya Rayna, Pak."

"Bapak?" Fais sangat tidak terima kalau dirinya dipanggil 'bapak' oleh orang yang baru ditemuinya, terkesan wajahnya tua sekali dan ia merasa itu semacam kode kalau dirinya harus segera menikah. Pada intinya, ia benci panggilan itu.

"Eh, maaf, Kak." Perempuan di hadapannya tak kalah kikuk setelah mendapat respon Fais yang tidak terima.

"Alhamdulillah bukan Rayna, bisa-bisa aku ketahuan kalau sakit, kan malu, mana wajah masih pucat begini. Lebih malu daripada salah manggil nama orang. Lagian Faiiisss ada-ada aja maneh!" Fais menggerutu dalam batinnya.

"Chesa! Disuruhnya lama amat. Ditungguin sama Kak Arya noh!" seorang perempuan datang dan langsung menepuk punggung korban salah panggil Fais.

"Iya iya, maaf. Ayo ke sana!"

"Eh, Fais?"

"R-Rayna? Kamu kok di sini?" Sial! Fais bertemu Rayna yang sesungguhnya.

"Ada pelatihan ambulans di sini. Kamu sendiri ngapain?" Rayna memperhatikan wajah Fais yang agak lain dari sebelumnya.

"Ada urusan." jawab Fais cepat.

"Wajahmu pucat. Sakit?" selidik Rayna.

"Enggak kok. Cuma kurang tidur aja." balas Fais.
"Sial, ketahuan!"

"Sersan Fais! Kenapa lama sekali? Kamu gak tau satu batalyon menunggu kehadiranmu?" Pak Mulyo, sopir batalyon yang diminta untuk menjemput Fais sudah jengah menunggu sendirian di mobil.

"Memang pada nungguin, Pak?" sedikit terkejut dengan pernyataan Pak Mulyo.

"Enggak sih, saya bercanda. Lagian lama banget sih, Mas! Saya tunggu di mobil malah ngobrol sama perempuan di sini." protes Pak Mulyo.

"Maaf, Pak, tadi saya tidak sengaja menabrak kakak ini." ucap Chesa, perempuan yang menabrak Fais.

"Ditabrak? Mas Fais gakpapa kan? Ada yang sakit, Mas? Sebelah mana? Aman, Mas? Bilang saya, Mas, kalau ada yang sakit. Saya bisa dimarahi Dokter Aji nanti." Pak Mulyo panik mendengar Fais ditabrak orang. Memutar-mutar badan Fais, berusaha memastikan bahwa tidak ada lecet dan lebam yang bertambah.

"Pak, saya diputer-puter gini malah tambah sakit, Pak." ucap Fais.

"Ohh, iya kah? Maaf, Mas, maaf." Pak Mulyo mengangkat tangannya.

"Saya duluan. Permisi." Fais pamit pada semua orang yang berada di dekatnya.

Melihat Fais yang berjalan dengan langkah lebar sendirian membuat Pak Mulyo harus berlari mengejarnya. Satu langkah Fais bisa dua sampai tiga langkah Pak Mulyo. "Besok-besok saya kalo jemput Mas Fais pakai sepatu roda saja lah. Capek ngejarnya!"

Darat Masih JauhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang