{Prologue}

177 33 8
                                    

Prologue,

Jauh sebelum Silver dan Sebek bergabung ke dalam keluarga kerajaan sebagai penjaga sang Raja, dan surai Lilia yang masih bisa menyentuh pijakan, usia Malleus Draconia masih terhitung sangat muda bahkan belum menginjak usia sepuluh tahun kala itu.

Di dalam sebuah kamar besar yang terlalu berlebihan untuk ditiduri seorang diri, tepat di bawah indurasmi musim panas, kedua kaki kecil sang Raja mengayun-ayun dengan kedua tangan mungil yang berada di atas bibir kasur. 

Lilia senantiasa memangkunya saat menceritakan sebuah buku bergambar yang Malleus pilih sebelum tidur. Mengandalkan rembulan yang tertembus kaca bening, iris hijau kulit jeruknya berbinar mendengar kalimat demi kalimat yang diceritakan oleh Lilia dengan lembut diselingi sebuah cumbana lembut yang ia terima di pipi gembilnya, 

"Pakaiannya berubah!!"

Malleus kecil menerima sapuan bibir di pipinya,

"Itu gaun pengantin."

"Pengantin?"

Lilia mengangguk,

"Jadi, apa dua orang tadi akan tinggal bersama?"

"Benar. Mereka akan menjalani hidup berdua, Malleus. Susah senang, sedih bahagia, sakit dan tertawa, mereka akan menjalaninya berdua. Sebuah keluarga kecil yang hadir dari pernikahan."

"Apa keduanya akan hidup bahagia, Lilia?"

"Tentu saja," Balasnya antusias, "Ketika dua orang memiliki ikatan yang kuat dengan didasari oleh kasih sayang dan cinta, ikatan mereka akan terus bertahan walau sampai akhir dunia sekalipun."

Tangan kecil berkuku hitam itu sekali lagi meraba halaman terakhir yang tersaji di hadapannya. Bergambar dua orang, satu pria dan satu wanita saling memandang pada istana dengan orang-orang yang tampak bersuka cita,

"Warna putih itu...,"

Mendegar Malleus yang berkata dengan desibel suara paling rendah, membuat Lilia menundukkan sedikit kepala. Surai panjangnya ikut mengayun manakala kepala itu sedikit bergerak,

"Ada apa dengan warna putih, Raja kecil Lembah Duri?"

"Apa Lilia dan aku nanti bisa memakainya saat seperti mereka?"

"Hitam," balas Lilia sekenanya, "Hitam adalah warna khusus untuk Lembah Duri kita."

Terlihat Malleus yang seketika menunjukkan raut wajah lesu. Iris yang bersinar mulai tergantikan dengan sesuatu yang tampak redup. Bukan karena kantuk, tetapi sebab hatinya mulai merasakan sebuah ketakutan.

"Bukankah putih juga indah?"

Lilia tidak menjawab.

Hanya ada keheningan yang menyelimuti kamar. Lilin-lilin dengan api kehijauan berkedut walau angin tidak melewatinya. Hima semakin menutup purnama, menghilangkan semua bantuan cahaya dari benda bersinar pada langit malam yang menjadi kekuatan utama para peri,

"Apa aku... Tidak akan bisa memakainya?"

"Malleus ingin memakai pakaian putih?"

"Tapi Lilia bilang kalau hitam itu warna kita. Aku jadi ragu untuk mencobanya."

Tanpa suara, Lilia tahu-tahu sudah membaringkan Malleus. Sudah masuk waktu nyaris tengah malam, dan untuk seorang putra mahkota saat hari berganti yang harus dilakukannya adalah belajar dan berlatih untuk menjadi seorang kepala keluarga selanjutnya. Terlebih kursi Raja dan Ratu telah kosong semenjak kedua orang tua Malleus gugur dalam perang.

Menaikkan selimut, membiarkan Malleus tidur di bawah lengannya sembari menepuk-tepuk pelan perut kecil Malleus, Lilia menjawab keraguan Raja kecilnya,

"Malleus bisa saja memakainya saat sudah menjadi Raja nanti."

Naga kecil yang terbaring itu kembali menunjukkan raut wajah yang antusias,

"Benarkah? Saat aku besar nanti?"

"Tentu."

"Namun dengan siapa aku harus memakainya? Di gambar tadi ada dua orang."

Lilia memandang lurus pada dinding yang tak jauh darinya. Sosok Raja kecil ini memang pintar. Ia cepat belajar dan cukup tangguh untuk peri seusianya. Malleus berbakat dalam berbagai bidang, dan hal ini yang membuat Lilia yakin kalau Malleus mampu memimpin Lembah Duri nantinya.

"Dengan seorang wanita yang mencintai Malleus sepenuh hati. Itu bisa."

"Ha..." balasnya, "Mencintai...? Maksudnya kasih sayang seperti yang Lilia lakukan padaku ini?"

Lilia tertawa.

Anak kecil, tetap saja anak kecil.

"Lain. Nanti Malleus akan tahu jawabannya."

"Kalau sesuatu itu. Apa cukup hanya dengan mencintai?"

"Dua orang yang ada di dalam cerita itu mencintai dan dicintai. Sama-sama berbagi rasa, Malleus."

Malleus yang masih memandang atap ranjangnya mulai menoleh pada Lilia. Iris merahnya sudah memberikan atensi kembali untuk Malleus yang masih ingin tahu,

"Apa aku bisa mencintai seseorang nantinya? Apa aku bisa dicintai oleh orang lain?"

"Kita makhluk malam bertelinga runcing hanya bisa jatuh cinta sebanyak satu kali seumur hidup."

Pernyataan dari Lilia membuat Malleus sedikit tegang. Terlihat dari mata hijaunya terpancar tanda tanya. Pikiran yang ada dibalik kepala hitamnya sudah terlalu banyak untuk belajar mengurus kerajaan ini, ditambah dengan pertanyaan yang ia timbulkan sendiri membuat Malleus kecil harus berpikir,

"Jika aku tidak menemukan seseorang yang aku cintai, apa hidupku sia-sia? Apa kita harus menghadapi dunia ini sendirian tanpa ada seseorang untuk berbagi?"

Lilia tentu paham akan ajun yang dimaksud oleh Malleus kecil. Tangannya tidak berhenti memberikan usapan lembut untuk kening Malleus hingga tanda lahir bagai kulit telur itu terlihat,

"Tidak perlu takut, kau pasti akan menemukan hal tersebut dari wanita pilihanmu." Ucapnya pelan, "Tidurlah. Kau harus mengunjungi perbatasan esok."

Iris hijaunya kembali berpendar. Begitu bening Lilia lihat. Punggung kecilnya sudah banyak mengemban tanggung jawab sebagai seorang Raja. Pikirannya begitu tenang, hidupnya sangat teratur. Figur dari seorang peri yang kelak menjadi pemimpin kini perlahan tengah menutup kelopak mata dengan bulu roma yang begitu hitamnya.

Menyembunyikan kedua iris kulit jeruknya beberapa saat hingga sang fajar kembali menyinari buana. Lilia turun dari atas ranjang. Menatap nanar pada Malleus yang sama sekali tidak membutuhkan belas kasihan. Namun entah mengapa, Lilia ingin terus berada di sisinya, setidaknya sampai Malleus menemukan jawabannya sendiri.

"Aku melihat sesuatu dalam matanya. Beberapa puluh dekade dari sekarang, ia akan menemukan teman hidup. Malleus memeliharanya. Merawatnya, memberikannya tempat berlindung. Mengajarkannya, mengizinkannya untuk berjalan di sisinya."

Iris merah Lilia bermuara. Bayang dari Malleus semakin kentara dengan air mata yang terbentuk dengan sendirinya. Kelopak mata terpejam, derai membasahi pipi membentuk satu titik pada dagu sebelum menjatuhi pijakan.

Memutar tumit, ia memandang langit malam.

"Demi seorang Pangeran dan sosok Putri Raja yang akan menjadi keturunannya. Keduanya begitu terang seperti bintang yang menjadi kekuatan kami. Ada jiwa fana ibunya di dalam sana. Namun darah yang mengalir adalah darah keabadian dari kami. Wahai Estrella, berikanlah kami perlindungan. Berikanlah keluarga kecil kami perlindungan."

date of Update: June 14, 2022,

Revision: August 12, 2022.

by: aoiLilac.

EvenfallTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang