Twenty.

61 20 2
                                    

Fear.

Malleus memusatkan perhatian dari jendela ruang Raja; terlihat Silver tengah dituntun oleh Naleera beserta putrinya yang masih berusia delapan tahun itu dengan lembut. Sudut bibir gelapnya tertarik melihat perlakuan yang diterima oleh sang kesatria dari istri dan putrinya. Malleus sama sekali tidak merasa keberatan dengan gagasan jika Naleera sering menemaninya akhir-akhir ini. Toh, ia tahu kalau Naleera hanya untuknya, pun sebaliknya. Karena untuk Naleera, Silver juga merupakan sosok penting yang membantunya berkembang.

Di luar sana adalah langit kobalt bertahtahkan berlian jingga yang mulai memudar dengan binar yang menabur kehangatan pada setiap lembar daun di halaman kerajaan. Embusan angin membawa serta merta suara yang ada di sekelilingnya. Ia terkekeh mendengar pekikan girang putrinya saat Silver membuatkan mahkota dari mawar putih untuknya. Telinga runcingnya mendengar suara ketukan yang datang dari arah pintu, Malleus mempersilakan tamu itu untuk segera masuk, iris hijaunya melebar mendapati siapa yang bertandang.

Salinannya sendiri. Sosok yang jarang Malleus jumpai karena ia selalu menghabiskan waktunya bersama Lilia. Kecuali jika makan malam. Sosok semampai bertanduk, bertelinga runcing dengan taring kecil di dalam mulutnya. Sang Pangeran yang tenang sedang memberikan hormatnya pada sang Ayah. Surai hitamnya diikat pita, berada di bahu sebelah kiri. Dari mata hijaunya, turun sebuah tanda kehijauan pudar seperti warna petir apabila ia memakainya, dan tanda itu akan semakin pekat apabila Eden menggunakannya untuk melindungi sesuatu yang berharga.

"Eden," bibir gelapnya berbisik, "Duduklah." Ajaknya pada sisi sofa ruang Raja yang kosong. Eden mengangguk dengan anggun sebelum mengambil langkah mendekat pada sang Ayah,

"Bagaimana dengan persiapan malam nanti?" Malleus tak keberatan jika meninggalkan gelarnya sebagai Raja untuk menjadi Ayah yang baik bagi Pangeran.

Iris hijau Eden memandang Malleus penuh rasa hormat, "Sudah siap. Kakek membantuku dan lagipula saat liburan, aku juga pulang ke Lembah Duri, Adar."

Malleus tersenyum mendapat jawaban dari putranya. Ia mengerti akan kepentingan Eden dalam Lembah Duri sebagai pangeran, dan sebagai kakak laki-laki. Lagipula, sang Pangeran sudah mendengar keinginan ayahnya untuk segera turun takhta saat usia Eden menginjak kepala enam nanti. Eden yang memang memiliki figur pemimpin sejak lahir membuatnya mengerti akan tanggung jawab besar yang didiskusikan oleh ayahnya beberapa waktu lalu. Beberapa pelajaran yang diterimanya membuat kapabilitasnya sebagai Pangeran sudah sangat baik mengingat darah Malleus mengalir di dalamnya. Terlebih jiwa yang dimilikinya adalah jiwa sang ibu yang jauh lebih lembut ketimbang sang ayah.

Dan hal tersebut tak lantas membuat Eden besar kepala. Ia semakin menunduk seperti padi yang mempunyai isi. Makin giat untuk dirinya belajar. Bertambah besar hormat dan tunduknya pada sang ayah dan kakeknya. Cinta untuk ibu, adik dan pamannya semakin kokoh. Sekokoh punggungnya yang selalu siap untuk melindungi kerajaan. Namun Eden mengaku bahwa ia masih membutuhkan banyak pelajaran dan Lilia siap membantunya kapanpun dengan Malleus yang akan selalu berada di sisinya jika suatu hari Malleus akan menyerahkan gelarnya.

"Adar, aku ingin bertanya."

"Ajukan." Malleus menyanggupi, "Namun apabila kau tidak puas dengan jawabanku, tiada hal yang bisa kulakukan selain meminta maaf padamu."

Eden tertawa lembut menanggapinya,

"Tolong jangan seperti itu," balasnya seakan hal tersebut adalah hal yang tidak diperkenankan "Kau adalah Ayahku."

Malleus mengangguk. Mengode untuk Eden melanjutkan pertanyaannya,

"Terkait paman Silver,"

"Ada apa dengan paman Silver?"

EvenfallTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang