My name is Esme Naleera.
"Aku ingin bicara."
Begitu parau suaranya di balik pintu sesaat setelah memastikan Naleera terlelap, Malleus menjumpai Lilia yang mengikutinya dari belakang setelah sang Raja memberi isyarat untuk mengekorinya.
Baswara dari rembulan yang jatuh tepat menyinari wajah sang gadis terlelap itu membuat Malleus tidak ingin mengalihkan pandangannya walau hanya sesaat. Lilia mengusap pergelangan Malleus untuk membuatnya bicara.
"Ada apa? Lebih baik jangan kau ganggu tidurnya. Ia terlalu banyak menggunakan sihir pada tongkat barunya siang tadi. Kau agak berlebihan, Malleus."
Sang Raja mengusap dagu indikasi bahwa ia tidak melakukan sebuah kesalahan, "Untuk itu aku hanya memastikan dan tidak menyangka kalau ia bahkan mampu membenturkan sihirnya dengan sihirku. Lupakan itu, ada sesuatu yang lebih penting."
Malleus mengalihkan pembicaraan. Kini irisnya dengan mantap memandang aksa Lilia yang masih menunggu hal dari Rajanya,
"Ada sesuatu di dalam kecambah musim seminya."
Lilia mengangguk memberi aba-aba untuk Malleus melanjutkan,
"Aku tidak tahu itu apa. Namun sepertinya, yang tertuang oleh dalam kertas tersebut ada pada Naleera. Garis keturunanku hanya ada di dalam dirinya. Putra putriku memanggilnya ibu dan hal ini membuatku pening, Lilia. Apa hal ini benar-benar terjadi padaku? Aku tidak tahu harus bagaimana—aku terkejut. Aku bahkan langsung memanggilnya Esme kemarin. Bukan Naleera seperti yang biasa kulakukan."
Naleera menggeliat dalam selimut mengubah posisi, tetapi tidak membuat matanya terbuka.
"Pelankan suaramu, Malleus." Lilia menenangkannya, "Pelan-pelan, aku sudah tua."
Malleus mendudukkan daksa di atas kursi yang ada dalam kamar Naleera. Duduknya yang selalu tegak, kini memilih membenani tulang punggung belakang dengan kedua tangan yang tampak menjambak pelan surainya sendiri.
Seperti depresi, tetapi terlalu berlebihan bila dikatakan seperti itu. Malleus hanya gelisah.
"Aku tidak mengerti," bibir gelapnya berbisik, "Mengapa? Mengapa harus muridku?"
Ah—Lilia paham akan sesuatu yang menerjang perasaan anaknya. Lantas ia menunjukkan wajahnya pada Malleus selagi kedua pergelangannya membuka telapak tangan besar dari lawan bicaranya,
"Kau tahu, tidak ada yang bisa menebak takdir. Bahkan untuk para peri seperti kita, anakku." Pesan Lilia layaknya seperti orang tua yang memberikan anaknya wejangan, "Aku ingat saat kau masih kecil, kala aku masih bisa menggendongmu. Takdirmu sudah tertuang di dalam matamu saat kau berusia delapan tahun, dan aku melihatnya."
Veteran perang itu kini berlutut agar bisa memandang wajah Malleus dengan jelas.
"Kau menyayangi, mengasihinya. Kau melindungi dan merawatnya. Lalu apalagi yang kau hindari, anakku? Ini merupakan anugerah dari bintang untuk Lembah Duri. Tidakkah kau ingin membuat Lembah ini bersuka cita saat pohon-pohon menari dan burung-burung bernyanyi atas sebuah kelahiran?"
"Namun bagaimana aku mengatakannya pada Esme?" kilah Malleus detik setelahnya dengan keraguan, "Aku bahkan belum sempat membawanya ke tempat di mana aku menemukannya, Lilia. Aku takut ia membenciku jika gadis itu tahu bahwa aku membiarkan ibunya lenyak oleh arus sungai."
Lilia paham betul akan ajun yang diutarakan oleh Malleus. Kentara, iris hijaunya memancarkan kilat ketakutan yang menguasai pikiran dan hatinya. Sekujur tubuh Malleus bergetar, pikirannya berkecamuk,

KAMU SEDANG MEMBACA
Evenfall
FanfictionEvenfall; the beginning of evening; twilight; dusk. "Mengapa kau memilihku sebagai pengantinmu? Aku hanya manusia beruntung yang diselamatkan olehmu, tuanku. Aku fana, tidaklah abadi seperti kalian." Diamnya Malleus merupakan penyangkalan. Dari tubu...