Sixteen.

97 21 3
                                    

The only Her Weakness.

Remang.

Mungkin kalimat tersebut cocok untuk menggambarkan situasi yang kini dialami oleh Naleera. Aroma darah menguar ke dari segala penjuru memaksa masuk ke dalam indra penciuman miliknya.

Iris hijau hutannya tampak redup, melirik ke arah ventilasi tepat di sudut ruangan mewakili malam yang menunjukkan waktu saat ia kembali terbangun. Begitu sakit di rasa pada sekujur tubuhnya, mencoba mengeluarkan suara, hanya bisikan serak yang mampu dilakukan olehnya sebab tiada air yang mengaliri tenggorokan.

Dalam hati ia tidak berhenti untuk menenangkan putranya, ingin rasanya mengusap perut untuk menghilangkan perasaan gelisah putranya yang berada di dalam perut, tetapi hal tersebut sepertinya tidak akan bisa dilakukan. Kedua tangannya dirantai mengudara. Dinding menjadi temannya akhir-akhir ini. Kaki telah mati rasa sebab dipaksa berdiri beberapa hari belakangan.

Jika ini mimpi buruk, Malleus pasti tidak akan membiarkannya menderita lebih lama. Memeluknya, hingga suara degup jantung sang Raja dan aroma mawarnya mampu membuatnya tenang dalam situasi apapun.

Suara pintu kayu yang terbuka mulai terdengar. Langkah kaki dari pelaku terlihat mendekat kala bayang dari bohlam kecil yang dipasang dalam langit-langit ruangan nan sempit dan pengap memperjelas keadaan.

"Hm, wanita Lembah Duri telah terbangun dari tidurnya?" Ucap sosok itu, "Jujur saja aku ingin membangunkanmu dengan cara yang spesial, tetapi kau sudah terbangun lebih dulu. Ah, sayang sekali. Aku tidak jadi melakukannya."

Bola mata hijaunya menatap langsung pada sosok yang berdiri angkuh. Naleera tidak pernah melihat sosok yang menculiknya ini. Dalam pernikahan, atau jamuan-jamuan lainnya yang kerap kali diadakan dalam Lembah Duri. Namun sepertinya sosok itu telah mengawasi Naleera sejak lama. Belati berukuran kecil yang kini dipegang olehnya, tepat berada di leher Naleera. Dalam benak, sosok tersebut yakin kalau ia sudah memberi luka sayat pada leher mulus itu, tetapi saat diperhatikan lagi baik-baik, luka tersebut telah hilang dan bersih. Hanya menyisakan bekas darah sampai pada kain di gaun yang Naleera kenakan.

"Kau tahu, rantai yang membelenggumu adalah rantai yang memutus sirkuit sihir. Breeze of Wood... sihir unik milikmu itu cukup merepotkan. Bisa membuat pohon hidup dan berjalan hingga titik radius dua kilometer dari tempatmu berdiri. Sayang sekali, aku tidak mau mati diinjak oleh pohon."

"Kau akan mati oleh naga, bukan pohon."

Sosok menjijikan yang ingin sekali Naleera panah hingga tertembus di antara kedua matanya itu kini memajukan wajahnya, membisikkan sebuah hal yang membuat sukmanya merinding,

"Hargamu bisa sangat tinggi jika dilelang dalam pasar gelap. Kemampuan sihirmu itu merupakan sesuatu yang langka, sebuah kehebatan untuk berbicara dengan tumbuhan adalah hal yang nyaris tidak ada selama dua ratus tahun belakangan ini." Diperhatikan lagi sosok tersebut, Naleera memastikan bahwa yang menculiknya tidak memiliki telinga runcing dan taring yang berada di balik mulutnya itu. Ia manusia, sama seperti dirinya.

"Giginya merupakan pedang, cakarnya adalah tombak, kedua sayapnya mampu mendatangkan badai, ekornya menghempas bagai ombak yang menghancurkan karang. Aku tidak sabar menunggu suamiku untuk melakukan hal yang tidak pernah kau dapatkan semasa hidupmu, dasar pengecut."

Satu goresan panjang kini kembali menggurat pergelangannya. Naleera harus sebisa mungkin menahan ringisan sebagai penyalur rasa ngilu yang didapat.

"Makhluk buas itu?" Ia mengolok, "Lebih baik kau menjadi wanitaku daripada bersama dengannya."

"Pantaskah suamiku yang agung dihina oleh manusia yang jauh lebih rendah dari hewan sepertimu?"

"Kurang ajar!"

EvenfallTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang