I'll wait Your Answer.
Sudah beberapa kali pada malam ini, Naleera mengembuskan napas pada jendela kamarnya. Mengirimkan uap putih yang mengudara, memandang bumantara gelap saat buana memudar dan gemintang yang tampak sayang untuk dipalingkan. Memandang dirgantara yang redup saat presensinya ada di dalam mahligai merupakan hal yang lumrah dilakukan selepas melakukan makan malam bersama keluarga Lembah Duri yang menganggap kehadirannya begitu penting.
Entah jelasnya kapan, Naleera tidak ingat kalau ia mendapat tempat sehangat ini dalam keluarga peri yang merawatnya. Tempat untuk pulang, dan keluarga yang selalu menantikannya kembali. Silver mengatakan apabila ada seseorang yang menginginkanmu kembali dan menantikan kehadiranmu, maka itu adalah rumah.
Rasanya, terima kasih pun tidak akan cukup untuk dilontarkan olehnya saat mengingat kebaikan daripada peri yang menerimanya.
Lumrahnya, manusia akan terasa mengantuk apabila baskara kini digantikan oleh chandra kebiruan di atas sana. Namun kali ini terasa begitu berbeda. Serayu seolah membisikkan bujuk rayu yang membuatnya harus terjaga. Beralih dari kursi di dekat jendela yang terbuka saat rumbainya menari oleh anila, ia kembali melakukan hal yang sama. Akan tetapi, kali ini berbeda. Ia mendaratkan tubuhnya pada kursi meja rias yang ditatakan oleh bedak, parfum dan beberapa perias wajah lainnya walau Naleera acapkali hanya memakai bedak tipis apabila berada di istana.
Lantas membuat dirinya terpantul dengan balutan gaun malam dalam cermin dan membuatnya bicara sendiri dengan sosok yang sama di sana,
"Memang seharusnya aku kembali ke dalam hutan setelah pulang dengan tuan Silver sejak dua hari lalu. Namun tuan Lilia tidak mengizinkanku untuk melakukannya."
Surainya dibiarkan masih terkepang tengah, panjang bergelombang. Maniknya memandang diri sendiri dalam cermin. Kepada sosok yang memiliki paras anindita yang begitu elok—menurut Silver seperti itu.
Tercantik di dunia... begitu ungkapnya.
Keadaan tenang ini perlahan memasuki sukma dan membuat relung dalam hatinya bertanya-tanya tanpa mendapat jawaban yang diinginkan. Mengapa dirinya masih terjaga walau waktu sudah memasuki pukul setengah dua di mana manusia sepertinya masih beristirahat. Naleera tidak menggunakan sihir untuk membuatnya terjaga, tetapi matanya terasa enggan untuk menutup.
Menghela napas pun tiada mengubah situasi. Gadis muda bermahkota coklat itu pada akhirnya memutuskan untuk melepas tali di belakang punggungnya setelah memastikan kamar mulai rapat tiada angin masuk kecuali dari ventilasi kecil sebagai ruang pertukaran udara. Hanya tinggal memakai gaun tidur, Naleera akan bercumbu dengan ranjang empuk yang cukup jarang ia tiduri semenjak Malleus membebaskan dirinya melakukan apapun yang diinginkannya dalam hutan.
Masih memandang atap ranjang, dan siap untuk terlelap saat tubuhnya mulai miring ke arah kanan di balik selimut baldu hitam. Ia yakin bahwa dirinya telah masuk ke alam bawah sadar selama beberapa saat, tetapi telinganya mendengar suara berat yang memanggil namanya dari luar dan membuatnya kembali terjaga. Memastikan ke arah pintu dan berharap ia salah dengar, Naleera terlonjak mendengar namanya kembali dipanggil dengan suara yang tidak berubah.
"Esme,"
"T-tuanku!"
Sangat tidak sopan apabila ia menemui empunya suara hanya dengan balutan gaun tidur yang tipis.
"A-a-ada apa?" paniknya, lantas meraih gaun malam yang sudah ditanggalkan,
"Bisa aku masuk?" ucapnya kemudian yang segera dibalas dengan iris yang melotot sempurna dari Naleera,
"Tidak!!" gadis itu salah memilih kalimat.
Malleus terkejut,
"Baiklah, selamat malam."

KAMU SEDANG MEMBACA
Evenfall
FanficEvenfall; the beginning of evening; twilight; dusk. "Mengapa kau memilihku sebagai pengantinmu? Aku hanya manusia beruntung yang diselamatkan olehmu, tuanku. Aku fana, tidaklah abadi seperti kalian." Diamnya Malleus merupakan penyangkalan. Dari tubu...