Epilogue.
Saat senja berkecamuk, punggungnya bertemu batu abu bertuliskan nama wanita yang dipujanya. Pandanganya tertuju ke arah satu tangkai mawar putih yang ia putar dengan sorot menerawang diikuti wajah yang datar.
Di bawah pohon rindang, tengkuk sang Raja bertemu nisan yang menjadi sandarannya, melamuni duka di bawah pepohonan yang kembali rimbun. Malleus bersenandika, membiarkan pertanyaannya dijawab sendiri oleh pikiran sebelum ia merasa hadirnya presensi dari sosok lain yang menghampiri,
"Berat, ya?" begitu ucapnya memperjelas suasana, "Peri bisa mati karena patah hati, Malleus."
"Katakan padaku, Lilia." Malleus berujar datar, "Mengapa kita tidak bisa menghidupkan orang yang telah mati?"
Dalam pandangannya, Lilia mampu menilai rasa kehilangan yang paling dalam tengah menggugah atma sang raja. Hatinya rapuh, sukmanya merintih dalam diam. Hanya pikiran yang menjerit mengeluarkan semua keputus-asaan dalam iris yang redup, tetapi tidak mati binarnya.
Sepertinya, Malleus masih harus banyak belajar.
"Kita hanya bertugas untuk menjaga dan memperbaiki. Bukan membangun ulang." Lilia memberikan jawaban berharap kalau Malleus bisa menerima balasan paling sederhananya, "Memperbaiki sesuatu merupakan tugas yang berat. Tidak semua orang, makhluk hidup bisa memperbaiki sesuatu yang telah hilang. Atau menggantinya; termasuk kita para Peri."
Malleus memandangnya gamang. Sorot mata itu..., Lilia ingat akan sorot mata yang memandangnya. Seperti Malleus saat masih kecil yang menginginkan seseorang untuk hadir di dalam hidupnya. Iris hijaunya berkaca, sang Raja tidak sadar jika muara sudah menggenang di dalamnya,
"Kita sama-sama kehilangan," Lilia mendekapnya, membagi kehangatan yang ia bisa lakukan untuk saat ini, "Aku tahu kau menahan ini seorang diri. Kau menahannya saat anak-anakmu berkunjung ke ruang Raja untuk sekedar membantu dan memastikan bahwa kau baik-baik saja. Kau bersikap layaknya semua yang terjadi memang sepatutnya berjalan seperti takdir yang dikehendaki."
Malleus bergeming,
"Namun nyatanya, Rajaku tidak sekuat yang orang lain pikirkan."
"Jika ini yang dikatakan cinta, aku tidak menginginkannya."
Malleus gagal menahan suara pilu yang keluar dari sukma. Ia memeluk sang pengasuh erat, seakan apabila mengendur, Lilia turut ikut menghilang dari hidupnya,
"Aku tidak tahu kalau rasanya akan sesakit ini."
Lilia tersenyum getir. Membiarkan apa yang Malleus lakukan. Biarlah hal ini terjadi, ketimbang Malleus terus-terusan tenggelam dalam bayang hitam yang dibuatnya sendiri tanpa tahu jalan keluarnya.
"Karena cintamu itu nyata, Malleus."
Inikah yang dinamakan sepi? Malleus bertanya-tanya dalam benak saat ia menyadari sesuatu. Sepi itu dirasakan bukan saat kau seorang diri, melainkan sebab pernah bersama dengan orang lain dan kenyataan membawamu kembali sadar bahwa orang tersebut tak lagi menemanimu. Dan itu yang Malleus rasakan.
"Pada akhirnya, kita hanya kembali berdua. Kau dan aku." Ungkap Malleus di sela-sela kesedihannya, "Seperti dipaksa kembali ke masa lalu, tetapi dengan garis waktu yang telah berbeda. Ini ruang hampa, aku berjalan sendiri dalam ruang hampa. Tiada cahaya, gelap. Aku tersesat di dalamnya."
"Kau tidak sendirian saat ini, Malleus." Balasnya pelan dengan suara yang hangat, membuat Malleus mengangkat kepala sampai Lilia bisa menghapus semua derai air mata Rajanya, "Esme meninggalkanmu kecambah lain. Kau ingat? Mereka mencintaimu. Pangeran dan Putri menjagamu dengan setulus hati. Tidakkah kau berpikir duniamu akan terus berwarna karena kehadiran anak-anakmu? Esme menitipkan kecambahnya padamu. Ia menginginkan kecambahnya tumbuh seperti sang ayah. Tega kau membuat Esme menangis menyaksikanmu terus-terusan meraung seperti ini?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Evenfall
FanfictionEvenfall; the beginning of evening; twilight; dusk. "Mengapa kau memilihku sebagai pengantinmu? Aku hanya manusia beruntung yang diselamatkan olehmu, tuanku. Aku fana, tidaklah abadi seperti kalian." Diamnya Malleus merupakan penyangkalan. Dari tubu...