Twenty Four.

53 21 9
                                    

Love Ever Run Clock.

"Pulang sebelum malam."

Langit madu mengubah warna lazuardi menjadi jauh lebih hangat saat serayu memainkan surai yang menampar pipi. Masing-masing warna dari berbeda bola mata tertuju pada sumber suara, lalu tak lama saling tertawa. Lesung pipi Pangeran terbentuk semakin dalam sampai-sampai ia harus menutupi taringnya dengan punggung tangan, Eve tertawa lembut bersama Lilia, sedangkan Malleus hanya terkekeh memandang Naleera. Yang dipandang memberi sorot mata yang mengatakan 'Apa yang lucu?'

"Mereka itu anak peri," kata sang Raja dengan tangan yang berada di kedua pundak Naleera, "Malam adalah dunianya, apa yang kau cemaskan, Bessig?" Malleus menambahkan sembari membawa kepala Naleera untuk tetap beradu pandang dengannya,

Nayanika Naleera memancarkan binar baru saat Malleus memandangnya lembut, tetapi berbanding terbalik dengan intonasi jawaban yang Malleus terima, "Itu karena mereka anak-anakku, Malleus!" balasnya cepat karena tertangkap basah sebab malu sebab rasa khawatir yang terlalu berlebihan. Namun memang seperti itu manusia, ya? Terkadang mereka terlalu berhati-hati untuk sebuah hal yang tidak perlu. Contohnya seperti saat ini, Naleera meminta dengan mantap agar Putra dan Putrinya kembali sebelum malam. Jelas hal tersebut tidak diperlukan, sebab mereka adalah ras Peri di mana malam adalah dunianya; dan mengingat bahwa Pangeran dan Putri merupakan anak-anak yang kuat seperti ayahnya, seharusnya Naleera tidak perlu mengkhawatirkan hal kecil itu.

"Berhenti menertawai orang tua ini!" ketusnya setengah merengut,

"Baik baik," Eden mengangkat tangan defensif. Pangeran peri yang anggun itu sama sekali tidak ingin melihat ibunya marah. Seram akunya, "Adikku hanya minta mengunjungi sungai di mana Adar menemukanmu. Dan aku juga harus mengunjungi para Peri penjaga di perbatasan. Tidak akan memakan banyak waktu, Naneth."

Kunang-kunang mengelilingi Naleera, sebelum ia menyadari bahwa putranya telah berubah wujud menjadi makhluk mitologi yang cukup besar dengan dua ekor yang bergerak mengipas sembari meliukkan lehernya menuju sang ibu. Naleera tanpa ragu mempertemukan telapak tangannya menuju kepala naga hitam itu sembari mengatakan satu dua hal pada putrinya yang diam menyimak sebelum ia menaiki punggung sang kakak,

"Eve, cucuku." Seketika Lilia membuat Eve memandangnya, "Apa busur dan anak panah itu perlu?"

Sosok elok nan kalis bermahkota ivory seketika melirik pungunggnya sesaat. Memang benar ada busur dan anak panah di sana, lantas ia kembali memusatkan atensi untuk Lilia dengan datar, "Kurasa tidak." Lilia bingung atas jawaban yang diterimanya, "Namun ini pemberian paman Sebek. Dan aku menyukainya."

Lilia tercenung mendengar jawabannya. Memang benar Sebek telah keluar istana utama, tetapi hal tersebut tidak membuat ikatan terputus begitu saja. Sang putri sering mengunjunginya seorang diri, membicarakan banyak hal dan belajar mengenai hal-hal yang ingin diketahuinya. Lain dengan Pangeran yang jarang mengunjunginya sebab nyaris tiada waktu luang, kalaupun ada, langit sudah berubah warna menjadi kobalt. Dan sang ayah melarang keras Pangeran untuk mengunjungi pamannya jika waktu malam telah tiba. Malam untuk manusia setengah peri seperti Sebek juga harus digunakan untuk beristirahat.

"Apa boleh aku bergabung dengan kalian?"

Eden tidak berpikir dua kali untuk menggerakan sedikit punggungnya agar Lilia tepat duduk di depan Eve. Tangan ramping sang Putri segera melingkari pinggang kecil dari peri yang selalu ia panggil dengan sebutan kakek. Perlakuan yang diterima oleh Lilia dari Eve membuatnya tertawa lepas. Rasanya tidak berbeda dengan tangan Silver yang selalu ia genggam,

"Tanganmu seperti Silver."

"Paman Silver?" balasnya dengan penuh tanya dan Eve memikirkan sebuah jawaban yang pantas Lilia terima, "Aku hanya mencegah hal-hal yang tidak kuinginkan walau kakakku tidak akan membiarkanmu terjatuh, atau apapun itu."

EvenfallTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang