Happy reading
Jangan lupa untuk meninggalkan jejak ಡ ͜ ʖ ಡ
.
.
..
Suara azan berhasil membangunkan seorang cowok bertubuh jangkung. Dia hendak menggeliat, tetapi ia merasa pergerakannya terbatas. Seperti ada sesuatu yang menempel di dadanya.
Perlahan, Aidan mengucek kedua matanya. Pandangannya ia jatuhkan ke bawah tepat di dada bidangnya. Matanya melotot melihat pemandangan yang ada di depannya.
Aira memeluknya!
Garis bawahi, MEMELUKNYA!
Napas Aidan tercekat. Jantungnya mendadak tak karuan seperti orang yang sedang lari maraton. Dag, dig, dug, serr!
Tunggu! Cowok itu melupakan sesuatu. Ia mencari guling pembatas semalam yang ternyata sudah berada di samping kanan Aira. Ini adalah kesempatan emas untuknya. Ia menang dan Aira kalah dalam taruhannya sendiri.
Cowok tengil yang sialnya berwajah tampan itu tersenyum penuh kemenangan. Ia menatap gadis yang sedang memeluknya itu tampak begitu nyenyak tidurnya. Tangan kekarnya meraba nakas, mencari ponsel. Ia akan mengambil gambar sebagai bukti, karena jika tidak maka Aira pasti akan mengelak.
Cekrek!
Satu gambar berhasil Aidan ambil. Ia kembali menyimpan ponselnya di atas nakas. Cowok itu menatap Aira yang masih setia menempel di dadanya.
"Bol!" panggil Aidan sambil menusuk-nusuk pipi tembem gadis itu. Namun, tak ada respon sama sekali.
Anjir, dah. Ni anak kebo banget, batin Aidan.
Sekali lagi, Aidan kembali menusuk pipi Aira menggunakan telunjuknya. Kali ini lebih cepat. Berhasil, gadis itu menggeliat di dada bidang Aidan.
"Eunghh."
"Heh, Bol!"
Setelah nyawa Aira terkumpul, gadis itu mendongak. "Aaa!"
Brukk!
"Akhh!" pekik Aidan setelah tubuhnya menghantam lantai. "Pantat gue ... Cebol lo apa-apaan, sih?"
"Lo yang apa-apaan! Ngapain lo meluk gue?!" tanya Aira menatap Aidan tajam. Cowok itu masih terduduk di lantai. Mengusap-usap pantatnya yang masih terasa sakit.
"Hellow! Harusnya gue yang bilang gitu. Ngapain lo ngelewatin batas, trus pake acara peluk-peluk gue?" tanya Aidan kemudian berdiri. Berkacak pinggang.
"Idih, amit-amit. Mana ada gue ngelewatin batas? Ini semua pasti ulah lo, kan? Najis gue peluk-peluk lo!" batah Aira yang kini juga sudah berdiri di hadapan Aidan. Berkacak pinggang sambil mendongak karena Aidan jauh lebih tinggi darinya.
Aidan segera mengambil ponselnya. Membuka aplikasi galeri dan segera memperlihatkan gambar yang ia ambil tadi pada Aira.
"Sekarang lo mau ngomong apa? Masih mau ngelak? Hah?" Aidan tersenyum miring melihat ekspresi Aira. Gadis itu tampak cengo. Seperti orang bodoh. Namun, menurut Aidan, ekspresi Aira itu sangat menggemaskan.
Eh?
"Emm ... palingan itu cuma editan lo!" Aira tetap membantah. Tidak mungkin ia akan mengalah begitu saja.
"Emang gue bisa ngedit?" Pertanyaan Aidan berhasil membuat gadis itu bungkam. Benar saja. Mustahil jika cowok itu yang mengedit.
"Seperti yang lo bilang kemarin, yang kalah harus nurutin perintah yang menang. Dan ... di sini gue yang menang. Jadi, lo harus turutin semua yang gue perintahin, Cebol," ujar Aidan sembari menjulurkan lidahnya mengejek Aira. Gadis itu hanya bisa menggeram kesal. Ingin rasanya ia mencekik Aidan, tapi ia juga tidak ingin menjadi janda.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Young Marriage
Teen FictionPernah kebayang menikah dengan tetangga sendiri? Terlebih jika kalian tidak pernah akur seperti Tom and Jarry. Itulah yang dirasakan oleh Aidan dan Aira. Kedua remaja itu terlibat perjodohan konyol dari nenek serta orangtua mereka yang mana mengharu...