"Kenapa Ante bikin Ibu sedih? Kenapa Ante benci Ibu?"
"............"
"Kenapa Ante nggak suka kalo Ibu sama Ayah? Kenapa Ante marahin Ibu?"
Alisku terangkat tinggi mendengar tanya penuh nada kemarahan di bocah laki-laki kecil yang ada di hadapanku sekarang ini. Lihatlah dia sekarang berkacak pinggang dengan mata nyalang seolah ingin melumatku menjadi buliran kecil.
Andai yang berdiri dan memarahiku sekarang adalah orang dewasa aku tidak akan segan untuk menampolnya namun sayangnya yang berkata demikian adalah bocah yang masih masuk kategori balita belum genap lima tahun.
"Ante selalu nyuruh kita pulang dari rumah Ayah, Ante selalu telpon Ayah tiap kali Ayah main sama Raka. Ante kenapa ambil Ayah Lingga dari Raka sama Rita! Kenapa Ante gangguin Ayah terus. Ayah itu milik Ibu sama Raka sama Rita."
Aku mendengus geli mendengar semua ucapan dari Raka ini, selama ini aku selalu menyukai anak kecil, alasan terbesar kenapa aku memilih pediatric sebagai pengabdian tapi dengan Raka dan Rita yang begitu penuh drama seperti Ibunya ini jujur saja aku menjadi tidak suka dengannya, awalnya aku ingin positive thinking jika perasaanku tentang Nadya yang berusaha menarik perhatian Lingga hanya karena aku cemburu tapi mendapati seorang anak kecil bisa berkata seperti ini mustahil Nadya tidak mendoktrin apapun ke mereka.
Ayolah, anak itu seperti kanvas bersih, dia akan menjadi apa seperti yang di lukiskan orangtua dan lingkungannya, walau Rizky sudah meninggal dua tahun lalu saat Carita baru berusia satu tahun namun di zaman serba canggih ini bisa memudahkan Nadya untuk menjaga kenangan tentang Rizky agar tetap hidup, ayahnya Raka itu ya Rizky, bukan malah menyebut orang lain Ayah tidak peduli sedekat apapun mereka.
Aku menunduk sejajar dengan Raka, menatap lekat fotokopi seorang Rizky ini, tidak bisa aku bayangkan bagaimana perasaan Rizky di alam sana melihat tingkah istrinya yang membuat posisinya terganti, mungkin Rizky akan sama kecewanya seperti aku sekarang ini.
"Kamu akan tahu jawabannya nanti setelah kamu besar, Raka. Yang jelas om Lingga itu milik Tante."
Hanya itu yang aku ucapkan pada Raka, aku kembali ingin mengacuhkannya dan fokus pada ponselku saat anak kecil tersebut melemparkan vas kecil berisi sukulen yang aku tata di teras tepat ke arah kepalaku membuat pelipisku kini berdenyut nyeri.
"Ante, jahat!"
God, bagus.
Tadi Lingga menamparku dan sekarang setan kecil ini yang mencelakaiku. Belum cukup membuat pelipisku nyeri karena vas sukulen tersebut, balita ini nyaris menyerangku kembali andaikan saja Angka tidak menariknya menjauh."Jangan kurang ajar kamu sama Atasan Ayahmu!" Aku bisa melihat Caraka memberontak berusaha melepaskan diri dalam gendongan Angka sebelum bocah tersebut di bawa masuk.
Mimpi apa aku ya Tuhan sampai hari ini hatiku di uji habis-habisan dengan sangat menyakitkan seperti ini? Mataku terpejam, mengistirahatkan hati yang lelah dan terasa asing di rumahku sendiri. Hari ini Lingga menamparku dan Raka melemparku, mungkin besok aku akan di bunuh oleh mereka.
Raka menyebutku jahat, semoga saja nanti saat dia sudah dewasa dia melihat bagaimana dia dan Ibunya menggangguku dengan kejamnya, itu jika bocah tersebut di ajarkan bahwa menganggu pasangan orang lain adalah hal yang keliru walau aku sangsi ibunya akan mengajarkannya, dari gelagatnya saja sudah kelihatan kalau Nadya terlihat tidak bersalah sudah sering kali menjadi topik pertengkaranku dan Lingga.
Lapar yang sebelumnya begitu menganggu lambungku mendadak tidak terasa lagi, aku sudah kenyang memakan drama yang semakin menghancurkan rumah tanggaku. Aku tidak akan heran jika besok aku menimbang berat badanku aku akan kehilangan beberapa kilo.
Aku nyaris tertidur saking lelahnya saat aku merasakan kepulan uap hangat dan bau rivanol menyengat di dekat lenganku, saat mataku terbuka aku melihat seseorang menatapku dengan pandangan prihatin penuh simpati.
"Isi perutnya dulu, Bu. Hati boleh jengkel tapi kesehatan tetap utama."
Mendengar nasihat dari pria yang sepuluh tahun lebih muda dariku ini membuatku terkekeh, lucu sekali jika di dengarkan seorang Tentara yang lebih handal berjibaku dengan senjata justru menasehati seorang dokter mengenai kesehatan, tanpa banyak membantah aku meraih secangkir havermout yang di buat oleh Angka dengan pandangan penuh terimakasih.
Ya Tuhan, bahkan orang lain pun lebih peka akan keadaanku di bandingkan suamiku sendiri yang kini tengah sibuk dengan orang asing yang dia bawa masuk ke dalam hidup kami.
"Saya nggak jengkel, Ka. Lebih tepatnya saya marah dan kecewa pada orang-orang yang sudah lancang di rumah saya sendiri. Terlalu banyak kekecewaan yang saya rasakan sampai-sampai saya seperti mati rasa."
Suaraku terdengar datar di telingaku sendiri, dingin seolah tanpa emosi, bahkan setelah semua yang telah terjadi hari ini, aku ingin sekali bertepuk tangan untuk diriku sendiri karena bisa menahan diri untuk tidak membunuh Nadya dan anak-anaknya.
Pandangan Angkawijaya beralih ke wajahku, meneliti pipiku yang lebam dengan bibir yang sedikit bengkak karena sobek di dalam sana dan semakin buruk karena pelipisku yang juga terluka karena sukulen, jika aku tidak memikirkan mertua dan orangtuaku sendiri mungkin sekarang aku akan pergi visum ke rumah sakit untuk menyeret suamiku sendiri, bahkan aku pastikan jika dia akan kehilangan jabatan Danyonnya lengkap dengan hadiah penjara serta tidak mendapatkan kenaikan pangkat tahun depan.
Aku bisa membuat Lingga kehilangan segalanya namun aku masih memikirkan keluarga kami.
"Apa Danyon yang melakukan hal ini, Bu? Maaf jika lancang bertanya." Aku mengangkat tanganku, memberikan isyarat kepadanya jika aku sama sekali tidak masalah dengan pertanyaannya barusan. Toh siapapun yang melihatku sekarang sudah tahu jika sesuatu yang buruk terjadi padaku.
"Iyap, Danyonmu menamparku karena aku mengatai tamu-tamu kehormatannya dengan sebutan Janda gatal."
Mulut pria asli Jawa tengah yang cocok menjadi adikku ini terbuka, matanya terbelalak seolah dia tidak menyangka jika seorang yang sangat dia hormati, pimpinan yang menjadi teladan bagi anggotanya bisa berbuat seaniaya ini terhadapku.
Untuk beberapa saat dia seperti ingin berbicara namun tidak ada yang keluar dari bibirnya, sepertinya Angka memutuskan untuk diam dan aku setuju dengan dia yang tidak banyak bertanya, untuk beberapa saat kesunyian melanda kami di iringi dengan tatapan penuh simpati darinya.
"Angka...." Panggilku pada anggota suamiku yang masih melihatku, seolah dia ingin memastikan jika aku menghabiskan havermout yang di buatnya setelan banyak hal buruk terjadi padaku.
"Siap, gimana, Bu Lingga?" Mendengar nama Kalingga tersemat di belakang namaku membuatku kembali merasakan rasa miris yang mencengkeram hati.
"Kalau satu waktu nanti kamu menikah, entah di jodohkan atau pilihan kamu sendiri, please, cintai kurang dan lebihnya, terima dia di saat bahagia dan sedih kalian. Jangan tinggalkan dia sendirian apalagi membawa orang lain ke dalam rumah tangga kalian tidak peduli betapa marahnya kamu sama dia. Kamu tahu, rasanya sangat menyakitkan melihat seorang yang seharusnya memeluk kita justru mendekap orang lain sebagai prioritasnya."

KAMU SEDANG MEMBACA
KALANA
Romance"Dokter anak tapi tak kunjung punya anak, apalagi usia yang sudah menginjak angka tiga puluhan, mungkin takdirmu hanya sebagai penyelamat bukan sebagai seorang yang menimang." "Gelarmu boleh indah di belakang nama, tapi sayang gelar tertinggi sebaga...