"Kapan Lo pulang?"
Entah untuk keberapa kalinya Ranti menanyakan hal ini kepadaku, tapi kali ini aku benar-benar bosan dia terus menanyakan hal yang sama setiap harinya setiap kali dia hendak pulang meninggalkan klinik kami.
"Nggak tahu, males juga balik ke rumah dan lihat tuh Janda Sialan ngejogrok bawa anak-anaknya di rumah."
Sama sepertiku yang berkilat kesal, campuran antara marah dan jengkel yang tidak bisa aku tahan setiap kali mengingat Nadya dan anak-anaknya yang lebih mirip setan cilik daripada para pasienku yang menggemaskan.
"Pengen gue peperin tuh pere pakai ulekan sambel, kesel banget dah orang kok nggak ada malunya sama sekali....."
Untuk beberapa saat aku hanya mengangguk berulangkali mendengar Ranti terus merepet mengumpati Nadya dengan banyak kata yang bisa aku pastikan akan membuat Papaku syok jika mendengarnya, semua unek-unekku yang aku tahan meluncur terwakilkan.
"Apapun yang terjadi, Lo nggak boleh kalah sama tuh pere, Al. Kalaupun Lo harus pisah sama Kaling, Lo harus dapat laki yang jauh-jauh-jauh lebih superior dari Danyon payah kayak laki Lo, atau kalau nggak...."
Kalimat Ranti tergantung seolah ada satu pemikiran tiba-tiba hinggap di kepalanya, matanya yang berbinar antusias membuatku merasa sebentar lagi ada ide gila yang akan keluar darinya.
"Kalau nggak apa?" Tukasku tidak sabar melihatnya nyengir ngeselin pengen nampol.
"Al, Lo kan lahir dari golongan ningrat nih, coba Lo cari cowok yang speknya paling nggak kayak Lingga atau kalo bisa yang lebih gitu, nggak usah pacarin, cukup gandeng aja di depan dia, gue penasaran gimana reaksinya laki lo, dia masih lempeng aja nggak nyariin Lo atau kebakaran jenggot."
Ide gila itu meluncur begitu mulus dari mulut julid temanku, sungguh aku benar-benar kehilangan kata mendapati gilanya sahabatku ini, entah bagaimana caranya Ranti bisa lolos semua ujian menjadi perawat dengan otaknya yang lebih cocok menjadi penulis naskah untuk drama ikan terbang.
"Sinting ya Lo, Ran." Makiku sembari melemparkan map pada mukanya yang cengengesan. "Gila aja Lo, di sini gue nggak cuma bawa nama gue sendiri, tapi nama Bokap sama mertua, cukup Lingga sama empatinya aja yang jadi masalah, gue nggak mau kehasut syaiton kayak Lo!"
Gelak tawa keluar dari Ranti, dia tampak senang sekali dengan ide gilanya, sedari dulu gilanya sama sekali tidak berkurang bahkan setelah mempunyai anak dan suami, aku benar-benar harus angkat jempol pada Tian yang begitu sabar menghadapi sahabatku ini.
"Emang ngadepin orang pahlawan kesiangan yang sedang di manfaatin sama Wewe gombel macam Nadya-Nadya itu harus pakai cara sinting, Al. Dia selama ini kasihan kan sama si Nadya, coba kasih tunjuk ke depan tuh muka ganteng kalau bininya di kasih perhatian sama laki lain dia rela, nggak? Orang kayak Lingga tuh nggak bisa Lo maafin gitu aja waktu dia akhirnya sadar dan minta maaf, Al. Mereka harus di beri pelajaran keras, biar nggak main sembarang sebar perhatian."
"......." Aku baru saja mengatai Ranti gila, namun aku yakin aku lebih gila lagi karena aku justru mulai diam dengan khidmat menyimak Ranti yang semakin menggebu.
"Sebelum ada keajaiban yang nyadarin laki lo sampai dia bisa minta maaf atas kesalahannya yang entah kapan kejadian, lebih baik kita yang bikin keajaiban itu, Alana. Jika dia meminta kesempatan kedua untuk memperbaiki segalanya, jangan buat jadi mudah. Semua demi keselamatan rumah tangga Lo, nggak perlu jadi pengemis buat bikin Laki Lo balik, justru dia yang bakalan sujud minta maaf ke kaki Lo."
Katakan Ranti berlebihan dalam mengomporiku, dalam telingaku pun rasanya terlalu mustahil jika aku mau melakukan sarannya, tapi siapa sangka, takdir seakan bersekutu dengan manusia absurd yang tidak lain adalah sahabatku ini, usai dia berceloteh panjang lebar promosi ide gilanya tersebut, pintu klinik yang aku yakini sudah aku pasang tanda tutup kini terbuka menampilkan seorang pria dengan celana loreng dan kaos polonya yang membuatku nyaris jantungan tidak percaya melihatnya. Sama sepertiku yang terkejut melihat hadirnya dia yang tengah panik pun sama terbelalak, pria itu tidak sendirian, anak perempuan seusia Carita ada di gendongannya.
"Alana."
"Bang Kaindra."
Bersamaan kami saling memanggil nama, tentu saja sikap anehku ini membuat Ranti dan juga anak perempuan yang ada di gendongannya menatap kami bergantian dengan pandangan menuduh.
Rasa canggung menguasai kami, sampai akhirnya Ranti yang pertama kali menguasai keadaan mengambil alih. "Mari silahkan, ada yang bisa di bantu, Pak."
Kaindra, rekan satu Leting Kalingga ini tersentak, terkejut dengan sapaan Ranti yang membuatnya mengalihkan pandangannya dariku.
"Maaf, saya tahu kalau klinik ini sudah tutup, tapi anak saya muntah-muntah dari tadi kata Sus-nya, klinik ini yang paling dekat ...."
"Nggak apa-apa, Bang. Kita periksa di dalam." Tanpa menunggu Kaindra menyelesaikan kalimatnya, aku memberikan isyarat untuknya masuk ke dalam ruang pemeriksaan, saat aku memeriksa bocah cantik yang tampak lemas dan tidak hentinya menggenggam tangan Kaindra, aku melihat betapa pucat dan dinginnya tubuh mungil ini.
Beberapa pertanyaan aku berikan pada anak perempuan cantik dengan wajah serupa Bang Kaindra ini, untuk ukuran anak seusianya, dia tampak begitu dewasa tidak seperti Carita yang cengengnya nauzubillah hingga membuatku selalu migrain setiap kali aku ingin beristirahat di rumahku sendiri.
"Err, siapa namanya Bang Kai...Ndra?"
Haduh, sejak dulu nama orang satu ini selalu menyulitkanku untuk memanggilnya, rasanya seperti mengumpat. Apalagi di tambah sekarang Ranti melemparkan tatapan menyudutkan mendapati aku mengenal dekat wali pasienku, ayolah, tidak mungkin kan aku memanggil pria tidak aku kenali yang datang ke klinikku aku panggil Abang (Kakak). Bisa di kemplang sama pawangnya.
"Namanya Kaila, Al. Dia nggak apa-apa, kan? Aku nggak tahu gimana caranya bisa kecolongan sampai dia bisa makan jajan sembarangan. Aku benar-benar hampir gila waktu balik tugas dan lihat dia muntah-muntah sampai pucat."
Aku tersenyum pada bocah perempuan cantik ini mendengar kekhawatiran Kaindra, entahlah, melihat wajah Kaindra dalam versi perempuan benar-benar memukau, tidak tahu siapa Ibunya, tapi sudah pasti jika Ibunya luar biasa cantik juga. Ahhh, andaikan Qiara ada, mungkin dia juga akan tumbuh secantik Kaila ini.
Tidak ingin membuat Kaila panik jika aku harus mengatakan betapa seriusnya keadaannya, aku memilih kata yang lebih menenangkan.
"Kaila nggak apa-apa kok, cuma dia harus di rujuk ke rumah sakit karena di sini Bu dokter nggak sediain rawat inap. Kaila nggak apa-apa ya bobok di rumah sakit? Janji biar cepat sembuh."
Aku menunggu jawaban dari Kaila yang terbaring walau aku tahu dengan jelas Kaindra akan setuju, dan benar saja jawaban Kaindra bukan hanya mengenai Kaila saja, tapi juga mendukung gagasan gila dari Ranti yang kini semakin nyengir lebar.
"Nggak apa-apa kalau mesti di rujuk, Alana. Tapi tolong dampingi aku, ini pertama kalinya Kaila sakit separah ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
KALANA
Romance"Dokter anak tapi tak kunjung punya anak, apalagi usia yang sudah menginjak angka tiga puluhan, mungkin takdirmu hanya sebagai penyelamat bukan sebagai seorang yang menimang." "Gelarmu boleh indah di belakang nama, tapi sayang gelar tertinggi sebaga...