"Dokter anak tapi tak kunjung punya anak, apalagi usia yang sudah menginjak angka tiga puluhan, mungkin takdirmu hanya sebagai penyelamat bukan sebagai seorang yang menimang."
"Gelarmu boleh indah di belakang nama, tapi sayang gelar tertinggi sebaga...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
KALANA sudah komplet on playbook dan Karyakarsa. Yang mau baca secara lengkap bisa melipir kesana ya.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ikutin juga kisah ARKANSA, kisah manis seorang Kansa yang menemukan cinta sejati dalam perjalanannya menemukan Tuhannya.
"Kamu yakin mau di anterin ke sini? Kamu yakin Kalingga nggak akan macem-macem ke kamu setelah apa yang terjadi tadi?"
Pertanyaan dari Kaindra menyentakku dari keterpakuan, sedari tadi aku hanya memandang langit malam yang terlihat gelap di tengah hiruk pikuk kota Jakarta yang tidak pernah tidur hingga aku lupa jika di sini aku tidak sendirian.
Ada Kaindra dan Kaila yang sudah berbaik hati menemaniku setelah banyak hal panjang yang sudah terjadi padaku, satu peristiwa yang membuatku lelah hingga rasanya aku ingin melepaskan kepalaku sejenak tidak kuat dengan beratnya pilihan yang harus aku ambil.
Andaikan saja aku tidak ingat kalau Kaila baru saja sembuh mungkin aku akan meminta Kaindra memutari kita Jakarta sekali lagi, aku tidak ingin pulang kemana pun karena tempat yang aku sebut rumah sudah tidak ada lagi.
Pulang ke rumah orangtuaku bukanlah pilihan yang tepat mengingat Papa dan Mama selalu berkata rumahku setelah menikah adalah rumah suamiku, sementara mertuaku? Mereka terlalu sayang padaku sampai aku tidak enak sendiri.
Aku ingin semuanya selesai secepatnya, aku sudah terlalu lelah dengan luka yang di berikan oleh suamiku dan aku tidak mau berlari lagi seperti yang selama ini aku lakukan, membohongiku diriku sendiri berharap jika Kalingga akan kembali padaku seperti semula sebelum Nadya dan anak-anaknya merusak hangatnya rumah tangga kami, memperkeruh suasana yang sedang memburuk.
Rasanya aku sudah tidak butuh penyesalan Kalingga lagi, semuanya terasa terlambat karena terlalu banyak kecewa.
Aku berusaha tersenyum saat aku menatap Kaindra yang ada di balik kemudi, berharap senyumanku akan membuat Kaindra lebih tenang, namun dari wajahnya yang semakin berkerut aku tahu senyumanku justru membuatku semakin menyedihkan.
"Iya, Bang. Aku mau pulang ke rumah. Tenang saja, aku bisa jaga diri."
Walau tidak yakin Kaindra tetap mengangguk, mungkin jika Kaindra tahu Kalingga pernah menamparku demi membela Nadya, dia tidak akan bereaksi seperti sekarang ini dengan mengabulkan apa yang aku minta.
Ahhh, mengingat hal itu membuatku kembali sesak. Sudah pasti sekarang Kalingga tengah mengantarkan Nadya pulang dan menenangkan anak-anaknya yang hobi sekali menangis seperti ibunya. Penyesalan yang pernah terucap dari Kalingga dan janjinya untuk memperbaiki semuanya nyatanya hanya isapan jempol belaka, saat aku menagih apa yang aku syaratkan diamnya Kalingga membuatku mendapati jawaban yang mengecewakan.
Namun kali ini aku keliru, saat mobil Kaindra memasuki halaman rumah yang sudah menjadi tempat tinggalku selama dua tahun usai Kalingga di Lantik menjadi seorang Danyon di Batalyon pusat Kota ini, sebuah mobil yang aku kenali betul milik siapa juga turut mengikuti terparkir di belakang mobil Kalingga berderet dengan dua mobil lainnya yang sangat aku familiar.
Seolah tahu apa yang ada di benakku Kaindra yang sedari tadi diam membuka suara, "Lingga ngikutin kita dari tadi Al kalau kamu mau tahu."
Bohong jika aku tidak terkejut mendapati Kalingga mengikutiku di saat aku berpikir dia tengah bersama dengan Nadya dan anak-anaknya karena aku kini sudah terbiasa menjadi nomor terakhir setelah Nadya dan anak-anaknya menjadi prioritas. Tapi apa yang aku dengar sama sekali tidak bisa mengobati kecewaku yang sudah terlanjur dalam. "Ngapain juga dia ngider ngikutin kita, tumben amat nggak nyayang-nyayang tuh Janda sama anak-anaknya, biasanya dia yang paling depan ngebela tuh para sialan nggak peduli gimana jahatnya mereka ke aku."
Aku melengos, membuang pandangan sembari berusaha melepaskan seatbelt untuk turun dari mobil tidak ingin memperpanjang obrolan tentang masalah rumah tanggaku yang sangat menyedihkan.
"Dia kelihatan menyesal, Al." Aku yang hendak membuka pintu mobil seketika terhenti mendengar apa yang di ucapkan Kaindra, kata-katanya sangat tidak sesuai dengan ucapannya beberapa waktu lalu, "Tapi seperti yang sudah aku katakan tadi, jangan buat mudah jika dia meminta maaf, suamimu itu harus di beri pelajaran agar dia sadar jika tidak ada yang lebih berharga daripada keluarga kita sendiri."
Entahlah, aku sudah terlalu lelah dengan semua rasa yang terlalu banyak aku dapatkan hingga aku seperti mati rasa di buatnya? Memaafkan? Bahkan aku sudah kehilangan minat untuk melihat Kalingga menyesal karena sudah menyakitiku. Di bandingkan dengan melihat Kalingga memelas meminta maaf, aku lebih ingin sendirian tanpa ada beban dan orang yang menggangguku lagi.
Sayangnya dua mobil yang ada di hadapanku adalah indikasi jika malam ini akan berlangsung begitu panjang dan melelahkan, sebelum aku melewati semuanya satu persatu melepaskan rasa lelahku ada ucapan terimakasih yang harus aku sampaikan pada dua orang yang ada di sebelahku.
"Terimakasih banyak untuk hari ini, Bang Kai. Aku rasa aku nggak akan mampu lewati semuanya jika tidak kalian temani."
Sebuah pelukan aku dapatkan dari Kaila, lebih dari semua kata yang terucap, pelukan menguatkan Kaila lebih berarti untukku yang akan menghadapi kedua orangtuaku dan mertuaku membawa keputusan yang sudah aku pikirkan masak-masak sembari berkeliling Jakarta tadi.