10. Lelah

12K 1K 77
                                    

Ohh ya, bagi kalian yang mau baca list berita ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ohh ya, bagi kalian yang mau baca list berita ini.
1. Dear my kapten
2. Mr. loreng untuk Shafa.
3. Cinta Terakhir Shafa
4. Final Destination
5. Kapten Sengkala
6. Mengejar Cinta
7. Not A Choice, Letnan
Selain playbook bisa kalian baca di aplikasi Kubaca ya.

"Bik Lilis, jangan biarin siapapun masuk ke kamar utama." Ucapanku menggema di dalam dapur sunyi tempat suamiku sedang sarapan, sama sepertiku yang sudah rapi dengan kemeja dan celana kerja, suamiku yang tampan dan rupawan favorit para Ibu-ibu ini juga rapi dalam seragamnya, tatapan sedikit menyendu mengingat bagaimana dulu aku yang merapikan seragamnya sebelum bertugas dan menghabiskan waktu pagi untuk sarapan bersama.

Quality time yang begitu manis mengingat kami berdua seharian akan menghabiskan waktu dengan pengabdian kami masing-masing. Sayangnya semua hal tersebut hanya tinggal sebuah kenangan. Sedari semalam di mana Nadya dengan lancang memasak di area pribadiku, aku sudah kehilangan nafsu makanku.

Mataku bertemu dengan manik hitam milik Kalingga, sorot matanya yang dingin kini terasa berubah, ada penyesalan di sana namun aku sama sekali tidak ingin memedulikannya. Tidak sampai dua detik kami saling tatap aku langsung mengalihkan pandangan pada Bik Lilis, ART yang di tugaskan Ibu mertuaku untuk ikut kemanapun Lingga bertugas. "Siapapun, Bik. Siapapun nggak boleh menyentuh kamar utama. Tidak ada yang saya izinkan menyentuh milik Qiano dan Qiara, jika ada yang berani melanggar perintah saya, tahu rasa kalian."

Aku melihat jam tanganku, melihat waktu sudah nyaris menunjukkan jam praktekku dan membuatku segera bergegas pergi, aku nyaris melewati ruang makan saat suara Lingga terdengar menghentikan langkahku.

"Nggak akan ada yang nyentuh kamar kita, Alana." Suara Lingga terdengar, mengambil alih Bik Lilis yang nampak ketakutan karena aku mengeluarkan ancaman. "Sama seperti kamu, aku juga nggak akan izinkan siapapun buat nyentuh semua milik anak kita."

Aku berbalik, melihat ke arah Lingga yang kini berjalan mendekati suamiku, berbeda dengan dulu saat aku terpesona dengan langkah tegapnya layaknya singa gunung yang berkuasa, melihatnya membuatku sebal setengah mati, bisa aku lihat dari ekor mataku Angkawijaya, Arifin, dan Sabda juga Bik Lilis melihat kami dengan gelisah. Mereka tidak bisa lagi berpura-pura tuli lagi seperti sebelumnya saat aku dan Lingga perang dingin. Semua yang ada di ruangan ini memperhatikanku dan Lingga, seolah menunggu pertikaian apa yang akan kami suguhkan khawatir akan ada tangan melayang lagi kepadaku.

"Bagus kalau gitu. Tapi aku nggak yakin bakalan Mas tepatin mengingat di mulai dari waktu, raga, rumah, bahkan sampai dapur yang sebelumnya menjadi milikku kamu berikan pada orang lain."

Cekalan aku dapatkan di tanganku saat aku hendak meninggalkannya, menatap penuh tekad padaku Lingga menggeleng keras. "Maafin aku, Al. Aku benar-benar menyesal. Ayo kita perbaiki semuanya dan mulai dari awal rumah tangga kita."

Desisan sinis tidak bisa aku cegah mendengarkan apa yang di ucapkannya. Tidak tahu apa yang menghantam kepala suamiku tercinta semalam sampai dia menanggalkan kemarahannya begitu saja.

"Kenapa harus memulai semuanya dari awal sementara aku nggak pernah pergi kemanapun, Mas. Aku masih ada di tempatku berdiri dan kamu yang menjauh pergi dariku untuk memainkan peran Mama Papa menggelikan dengan Janda sahabatmu, jika kamu mau kembali, kamu tahu benar mana yang harus kamu singkirkan."

Semuanya bisa aku maafkan, semuanya bisa aku terima, namun tidak dengan kemarahannya yang menyakitiku demi membela orang lain, dan di tambah dengan orang-orang yang lancang masuk mengusik rumah di mana aku menjadi ratunya, itu adalah alasan kuat untuk mendepak rasa sayang dan cintaku untuk suamiku.

"Aku sudah sabar memberikanmu waktu terlalu lama. Aku juga sudah lelah menunggumu, Mas Lingga. Aku sudah tidak ingin lagi memperjuangkan apapun denganmu. Aku bertahan di sini sekarang hanya demi harga diriku yang tidak sudi kalah dengan keset macam Nadya dan orang tua kita, bukan lagi kamu."

Ya, semua beban dan sakit hati kini aku letakkan dari bahuku. Aku sudah tidak peduli lagi bahkan jika aku harus bercerai dengannya. Rasanya sangat menyakitkan terasing dari rumahku sendiri dan di gantikan dengan orang lain.

Jika Mas Lingga berharap aku akan mengiba memohon-mohon cinta dan perhatiannya seperti saat aku kehilangan calon bayiku dulu, maka dia tidak akan mendapatkannya lagi sekarang.

Aku Alana Mahesa, tanpa Kalingga aku masih bisa berdiri di atas kakiku sendiri, aku bukan Nadya yang merengek menggunakan anaknya hanya demi sejumput perhatian dan perut kenyang saat suamiku sudah tidak ada lagi di sisiku.

*****

"Ran, tolong ganti sprei di kamar atas, ya. Saya mau nginep di sini."

Aku menguap lebar, terlalu lebar bahkan tanpa ada kesan anggun sama sekali layaknya seorang istri Perwira seperti yang orang-orang tahu selama ini. Tapi aku sama sekali tidak peduli, aku sudah terlalu lelah hari ini, lelah fisik karena pasien yang banyak datang, lelah hati karena bergumul dengan pemikiran akan suamiku.

Mendengar perintahku membuat Ranti, perawat yang juga temanku semasa SMA ini melihatku dengan pandangan menyipit, khas sekali seorang Ranti yang tidak akan setuju dengan apa yang aku minta, menanggalkan formalitas atasan dan bawahan dia mendekat tidak sabar.

"Apaan sih lo, Nek. Ngambek mulu sama laki lo."

"Lo juga bakal ngambek kalau Tian ada main Mama Papa sama Janda sebelah rumah. Gue yakin Lo bakal sunat abis tuh burung perkutut Tian kalau sampai berani duain Tiara, anak kalian, dengan anak Janda gatal lengkap sama anak-anak setannya."

Mendengar jawaban telakku membuat Ranti meringis, niatnya untuk menasehatiku justru berbalik dengan dia yang mendapatkan bayangan ngeri rumah tangganya jika sampai ada pemeran lain yang di bawa suaminya masuk ke dalam rumah mereka.

Ranti tidak akan mengerti apa yang aku rasa karena kehidupan percintaan dan rumah tangganya tidak mengalami masalah sepertiku, Tian dan Ranti menikah karena cinta, dan tanpa ada hambatan Ranti memiliki seorang anak perempuan berusia 7 tahun yang menggemaskan.

"Kali ini apa yang bikin Lo kesel ke Lingga? Masih masalah dia yang kebelet pengen punya anak? Atau dia izin ke Lo mau nikahin tuh mantan janda temennya?"

Aku pejamkan mataku, selama ini selain orang rumah yang tahu di balik harmonisnya hubungan Bapak dan Ibu Danyon yang sempurna ada bobrok menjijikkan di dalamnya, hanya Ranti yang tahu seberapa banyak air mata yang aku tumpahkan untuk Lingga.

"Gue ngambek sama dia, Lo liat bibir gue kenapa biru? Ini karena dia mukul gue gara-gara nggak terima tuh pere gue katain janda gatal."

Mata Ranti membulat, terkejut dengan apa yang baru saja aku katakan, dengan alasan apapun kekerasan bukan hal yang bisa di terima, Ranti sudah hampir meledak, tapi aku tidak ingin di sela karena masih ada banyak hal yang pasti membuatnya terkejut.

"Lo tahu sendiri Ran tuh orang nggak tahu diri banget, Nadya tuh sering banget bawa anak-anaknya ke rumah selesai tuh anak pre school, dia sama anak-anaknya main di rumah gue tanpa rasa sungkan gue nggak ada di rumah, nggak cukup main nggak ingat waktu, dia minta Lingga bayarin kontrakan, dia minta duit biar anaknya biar bisa makan enak, dia minta Lingga sekolahin anaknya di tempat bagus, emang tuh Nadya nggak minta secara langsung tapi dia minta secara tersirat dan yang bikin gedek dia pakai dapurku, dan anaknya, anaknyar bilang kalau aku jahat udah rebut Ayah Lingganya."

".........."

"Katakan, dengan semua hal itu kamu masih tanya kenapa aku marah ke Lingga?"

KALANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang