13. Kaila

9.7K 975 24
                                    

"Alana, kamu nggak mau nengokin balita yang kamu bawa kemarin?"

Pertanyaan dari dokter Soedibyo, mentor sekaligus dokter anak senior yang merupakan dokter kepala di Poli Anak di rumah sakit tempat aku bertugas membuatku menghentikan langkahku yang hendak pulang ke klinik, memang selain memiliki klinik sendiri aku juga masih memiliki praktik di rumah sakit tempat teman Papa menjadi direktur utama walau hanya dua kali  seminggu.

KKN tipis-tipis itulah gunjingan yang sering kali aku dapatkan, di mata rekanku yang tidak menyukaiku aku di sebut tamak, sudah menjadi istri prajurit, mempunyai klinik praktik mandiri sendiri, tapi masih maruq bekerja untuk orang lain, tapi bodo amat, aku sama sekali tidak peduli. Hubunganku dengan Om Anggoro dan Tante Wulan adalah hubungan seorang Om yang pernah membantu anak sahabatnya dalam menyelesaikan tugas akhirku dahulu, tentu saja aku tidak akan menolak saat Om Anggoro memintaku mengisi salah satu pediatric di rumah sakit yang di kelolanya.

Hari ini aku memiliki dua jam untuk praktik di rumah sakit Harapan Sehat, hidupku yang monoton hanya berpusat antara rumah sakit dan klinik yang seolah menjadi rutinitas membosankan sejak aku memutuskan untuk pulang ke rumah tentu saja tergoda dengan pertanyaan dari dokter Soedibyo.

"Balita yang saya bawa kemarin, maksudnya Kaila ya, dok? Yang keracunan makanan?"

Dokter Soedibyo mengangguk, pria tua yang kini usianya sudah menginjak 60 tahun dan favorit anak-anak ini tampak tertarik semenjak aku membawa bahkan mau repot-repot menemani Bang Kaindra saat itu.

"Iya, temenin gih, Al. Kasihan tahu, dari Suster yang jaga, dia cuma di jagain Ncusnya sementara Papanya cuma bisa nemenin waktu malam selesai Dinas."

Mengangguk menyetujui permintaan dokter Soedibyo aku memilih pamit, langkahku yang semula bergerak menuju parkiran kini menuju bangsal anak, tidak aku sangka jika Kaila harus di rawat hingga tiga hari, rupanya kondisi Kaila lebih buruk dari yang aku kira.

Dan benar seperti yang di katakan oleh dokter Soedibyo, saat aku membuka pintu ruang Anyelir, ruang rawat VVIP bangsal anak, aku mendapati Kaila hanya di temani oleh susternya, seorang perempuan yang mungkin usianya kurang lebih sama seperti Angkawijaya, mendapati aku tiba-tiba membuka pintu aku menemukan raut lelah di wajah tanpa polesan makeup tersebut, dan dari mangkuk makanan yang masih utuh aku tahu jika Suster yang merawat Kaila tengah lelah berjibaku untuk membujuk Kaila makan.

"Halo, Kaila. Are you okay, Honey?!"

Berbeda dengan pertemuan pertama kami di mana Kaila terus diam meringis menahan sakit, sekarang senyuman nampak di wajahnya saat melihatku membuat fotokopian Kaindra tersebut semakin cantik. Astaga, wajah cantik Kaila membuatku ingin sekali mendadaninya dengan banyak baju-baju lucu menggemaskan dan juga mengepang rambutnya dengan berbagai model.

Kekesalan dan rajukannya yang sekilas terlihat tadi menghilang sepenuhnya saat dia berseru dengan riang. "Bu dokter...."

Tangan mungil tersebut terentang, isyarat jika anak kecil ini meminta pelukan dariku yang langsung aku berikan dengan senang hati, dia benar-benar putri Kaindra, hangat dan menyenangkan.

"Kaila sudah sehat sekarang?" Tanyaku usai melepaskan pelukannya, mengambil alih kursi yang di duduki oleh suster perawatnya tadi aku duduk menghadap Kaila, gadis kecil ini benar-benar memikatku.

"Kaila sehat, Bu dokter. Tapi kalau Kaila bilang sembuh sekarang nanti Papa nggak ada pulang nemenin Kaila, Papa cibuk terus. Kaila suka sakit, kalau sakit di temenin Papa."

Dengan nada khas anak-anaknya Kaila mengadu kepadaku betapa sibuknya Kaindra di kantornya, yang kini aku ketahui bertugas di Mabes AD, Kaila bercerita jika dia sering kali kesepian karena Kaindra berangkat saat Kaila belum bangun dan saat Kaila tidur, Kaindra baru sampai rumah.

Hal yang menyedihkan memang, hatiku bahkan berdenyut nyeri saat mendengar nada murung Kaila yang ingin jalan-jalan bersama Kaindra, namun Papanya tenggelam dalam tugasnya sebagai seorang abdi negara seolah tidak ada habisnya.

Anak sekecil Kaila bahkan lebih memilih sakit agar bisa mendapatkan perhatian Papanya, sungguh untuk sekejap aku seperti melihat diriku sendiri, Kaila sudah sulit karena hidup tanpa di dampingi seorang Ibu semenjak dia membuka mata mengenal dunia, dan Kaindra justru tenggelam sendiri dalam dunia pengabdiannya.

Aku benar-benar tidak habis pikir dengan cara otak para abdi negara yang aku kenali ini, kenapa mereka sangat menyebalkan? Mereka bisa menjadi seorang yang luar biasa untuk orang lain namun tidak untuk keluarga sendiri.

"Karena itulah Bu dokter kemarin saya ajak Non Kaila main ke taman." Suster yang merawat Kaila angkat bicara setelah semenjak tadi dia diam saja menyimak anak asuhnya bercerita, untuk ukuran seorang perawat atau lebih tepatnya baby sitter, perempuan bernama Airin ini terlalu cantik, tanpa polesan make up sepertiku, dia begitu menawan dalam kulit kuning Langsat lembut dan hidung mancung yang runcing. Mengabaikan betapa cantiknya Airin aku kembali mendengarkan apa yang dia sampaikan. "Saya nggak tega lihat Non Kaila terus kecewa karena Bapak nggak pernah nepatin janjinya buat ajak Non Kaila jalan-jalan, Non Kaila nggak ngajak pergi jauh, cuma jalan ke mall atau taman dia senang kok. Saya terlalu senang lihat Non Kaila gembira bu dokter, saya pikir nggak apa-apalah Non Kaila sekali-kali jajan di luar, kalau saya tahu Non bakal sakit....."

"Nggak apa-apa, Sus." Kalimat Airin terhenti saat suara berat memotong ujung kalimatnya di mana Airin hendak menangis, aku tahu pasti Airin tidak berhenti menyalahkan dirinya sendiri saat Kaila sakit sampai harus di rawat, terlihat di pintu Kaindra yang nampak kusut dan lelah berdiri lengkap dengan senyumannya saat menatap Kaila. "Saya saja yang kurang perhatian ke Kaila. Bukan salah Suster sama sekali."

"Papa!"

Airin mengangguk masih dengan mata memerah terlihat lega karena Kaindra mengerti alasannya melanggar aturan tak tertulis Kaindra, tidak ingin memerhatikan Airin yang masih sibuk mengusap air matanya, perhatianku tersita pada Kaindra yang langsung memeluk Kaila penuh sayang, ahhh manis sekali sih Ayah dan anak ini. Bisa aku tebak jika Kaindra mendengar semua yang di ceritakan oleh Kaila karena detik berikutnya saat Kaindra melepaskan pelukan Kaila, pria yang terlihat begitu lelah dengan semua tugasnya ini langsung memberikan penawaran dengan wajah secerah sinar matahari.

"Kalau Kaila sudah sembuh kita jalan-jalan, ya! Kaila mau kan jalan-jalan sama Papa, tapi janji sudah sembuh."

Kaila yang sebelumnya berkata jika dia ingin sakit agar mendapatkan perhatian Kaindra seketika menjerit riang sontak membuatku tertawa. "Kaila sudah sembuh, udah sembuh Pa. Ayo jalan-jalan."

Aku benar-benar tidak bisa menahan bibirku yang terus melengkung membentuk senyuman, kebahagiaan milik Kaila dan Kaindra terasa menular kepadaku, satu perandaian yang membuat sendu pun menghampiriku.

Andaikan aku bisa menjaga bayiku, mungkin sekarang aku dan Lingga juga tengah tertawa bersama seperti ini. Tidak, di sini hanya aku yang bersedih, karena mungkin saja Lingga tengah tertawa bahagia bersama Nadya dan anak-anaknya, menggantikan aku dan bayi kami yang sudah pergi bahkan sebelum aku timang.

KALANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang