"Angkawijaya, ngapain kamu di situ merhatiin istri Komandanmu sebegitunya."
Selama beberapa waktu ini Lingga hanya berlaku manis layaknya suami yang pengertian dan mencintai istrinya saat ada acara dinas Batalyon, lepas setelah tugas yang mengharuskan mereka berdampingan Lingga akan kembali mendiamkan Alana, menghukum istrinya yang menurutnya bersalah karena tidak bisa menjaga diri dan membuat mereka kehilangan kedua calon buah hati mereka.
Lingga benar-benar meninggalkan Alana. Sama sekali tidak mengacuhkannya walau mereka tinggal di bawah satu atap yang sama. Rutinitas favorit Lingga untuk mengantar jemput istrinya yang bertugas di Klinik dan meminta bermacam-macam makanan yang khusus di masakkan oleh istrinya pun tidak pernah di lakukan Lingga lagi.
Jarak begitu jauh di ciptakan Lingga hingga Lingga merasa perasaannya terhadap istrinya telab menghilang, perasaan yang tumbuh karena perjodohan yang di paksakan, tapi nyatanya Lingga keliru.
Rasa itu masih ada di hatinya, terkubur dan tertutupi kemarahan juga kesedihan yang berkepanjangan. Sebelum bersama Alana memang Lingga bersama dengan Nadya hingga restu yang tidak kunjung di dapat membuat mereka berpisah, bagi Lingga cinta tanpa ridho orang tua adalah hal yang sia-sia, walau Alana bukan cinta pertama Lingga namun Alana adalah wanita pertama yang di sentuh Lingga begitu pun sebaliknya.
Dan kini usai tangannya dengan ringan melayang ke pipi halus istrinya, perasaan bersalah menyergap Lingga dan semakin besar saat melihat betapa Angka mengagumi istrinya. Tatapan penuh pemujaan yang sama sekali tidak di sembunyikan Angkawijaya saat dia mendongak membalas tatapan Lingga.
Untuk ukuran seorang Bintara muda yang baru 5 tahun berdinas, Angka cukup kuat mentalnya menghadapi aura membunuh Lingga, pemimpin tertinggi Batalyon yang merupakan atasannya langsung.
Seulas senyuman nyaris seperti seringai menggelikan seolah apa yang baru saja di ucapkan oleh Lingga adalah lelucon Angka dengan santai menjawab. "Siap Salah Ndan, Saya cuma mastiin kalau Bu Danyon nggak apa-apa, saya lihat bibirnya bengkak dan pipinya merah bekas tangan, untuk berjaga-jaga saya hanya memotretnya, siapa tahu Bu Danyon butuh nanti buat laporan ke polisi tentang penganiayaan."
Kembali, seolah ada tinju yang tidak terlihat memukul tepat di ulu hati Lingga mendengar jawaban Angka yang lebih mirip seperti sebuah kalimat sarkas. Separah itu tangannya melukai Alana, sungguh rasanya Lingga ingin memotong tangannya sendiri yang sudah melukai istrinya, memang benar, penyesalan selalu datang terlambat dan Lingga kini merasakan hal tersebut.
Dengan pandangan gusar Lingga mengayunkan tangannya, mengusir Angkawijaya agar pria itu pergi menyingkir kembali ke paviliun yang ada di sebelah rumah utama , tempat yang sengaja Lingga sediakan untuk anggotanya yang memang bertugas di bawah perintahnya langsung.
Tanpa ada bantahan Angka menyingkir, membiarkan Lingga mendekati Alana yang sama sekali tidak terganggu tidurnya dengan perdebatan yang baru saja terjadi. Alana bergelung seperti kucing dan menggemaskan seperti bayi.
Selama ini kemarahan dan kekecewaan yang di rasakan Lingga membuat Lingga lupa betapa manisnya istrinya yang seolah tidak menua ini, siapapun yang bertemu dengan istrinya tidak akan percaya jika beberapa bulan lagi Alana akan berusia 35 tahun, usia yang matang untuk seorang wanita namun Alana usianya seolah terhenti di angka 25. Alana tinggi dan ramping berkulit seperti kuning Langsat lembut dan rambut sebahu dengan wangi mawar yang ternyata begitu di rindukan Lingga.
Di saat tangan Lingga terulur menyingkirkan anak rambut yang menjuntai di dahi Alana, Lingga merasakan kerinduan tersebut menyergapnya.
Rasa bersalah Lingga telah memukul Alana membangunkan rasa sayang yang sempat tertidur beberapa bulan ini.
Berpisah dengan Alana seperti yang di katakan oleh Nadya? Mana bisa Lingga melakukannya. Tapi untuk memaafkan Alana yang sudah gagal menjaga calon bayi mereka juga bukan hal yang mudah untuk di lakukan Lingga.Andaikan Alana bisa sebaik Nadya dalam menjadi Ibu mereka berdua mungkin sudah bahagia dengan kedua anak mereka, sayangnya Alana egois. Bukannya menjaga dirinya sendiri dan kandungannya, Alana selalu mementingkan klinik dan pasien-pasiennya hingga mengorbankan anak mereka sendiri.
Lingga benar-benar membenci sikap buruk Alana yang egois dan tidak mau mendengarkan orang lain tersebut.
Tidak ingin kembali tersulut rasa kecewanya, Lingga membawa tubuh langsing istrinya yang terasa lebih ringan daripada terakhir di ingatnya ke dalam gendongannya tidak ingin angin malam lebih lama memeluk tubuh istrinya.
Mungkin terlalu lelah marah-marah dan mengumpati tanpa henti membuat Alana sama sekali tidak terbangun saat Lingga menggendongnya, wanita berparas manis tersebut justru semakin menenggelamkan wajahnya ke dalam dada Lingga seolah mencari kehangatan.
"Mas Lingga jahat sama Ala, Pa."
Gerutuan Alana membuat langkah Lingga terhenti, dalam temaram rumah besar mereka Lingga bisa melihat apa yang di katakan Angka benar, pipi bersih istrinya kini tampak memerah bahkan membentuk tangan Lingga.
Entah untuk keberapa kalinya hati Lingga mencelos, tidak bisa Lingga bayangkan bagaimana sakit yang di rasa Alana, tangan Lingga adalah tangan prajurit yang terbiasa berlatih membawa senapan berat dan Lingga adalah atlet Karate sedari SMA, jangankan Alana, seorang seperti Angkawijaya yang tinggi besar bisa dibuat tumbang Lingga hanya dengan tiga pukulan.
Cara Tuhan dalam menyadarkan hamba-Nya memang di luar dugaan, selama ini segala sikap Alana yang berusaha meluluhkan kekewaaan Lingga tidak berhasil menyentuh hati Lingga, namun kini Lingga merasakan penyesalan yang teramat besar melihat istrinya tersakiti karena ulahnya.
"Papa akan hukum Lingga, Al." Entah apa yang ada di otak Lingga, sembari kembali berjalan menuju lantai atas Lingga justru menanggapi igauan Alana seolah Lingga adalah Putra Mahesa. "Papa akan potong tangannya yang sudah nyakitin kamu."
Seulas senyum muncul di wajah Alana yang terlelap, dan melihat senyuman tulus tersebut, degup jantung Lingga mendadak berdegup kencang menyalurkan perasaan menggelitik di perutnya yang begitu dia rindukan, perasaan yang jauh lebih menyenangkan di bandingkan dengan menghabiskan waktu seharian bersama dengan Raka dan Rita menipu dirinya sendiri yang memerankan sosok Ayah yang baik menggantikan Rizky.
Tanpa ada kemarahan, umpatan, dan makian seperti yang biasa Alana lontarkan kepada Lingga setiap kali Lingga kembali dari kantor, atau saat bersama dengan anak-anak Nadya, Alana benar-benar seperti malaikat yang memikat hati.
Dan kembali penyesalan menohok Lingga hingga membuatnya nyaris muntah.Jika malam-malam sebelumnya mereka tidur terpisah, Alana yang lebih memilih tidur di ruang kerjanya maka malam ini Lingga membawanya ke kamar mereka berdua, kamar besar yang sudah tidak mereka tempati semenjak mereka kehilangan Qiana, saat Lingga memasuki kamar dan melihat betapa banyaknya pernak-pernik bayi perempuan, bahkan boks bayi pun masih ada di samping tempat tidur utama, hati Lingga terasa di remas kuat.
Bagaimana bisa selama ini dia meninggalkan Alana sendirian berkabung dengan lukanya sementara Lingga justru membawa wanita lain demi menghibur hatinya?
Penyesalan itu datang menyapa Lingga, dan Lingga tidak tahu apa dia sudah terlambat memperbaiki semuanya.
![](https://img.wattpad.com/cover/314342016-288-k961694.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
KALANA
Romance"Dokter anak tapi tak kunjung punya anak, apalagi usia yang sudah menginjak angka tiga puluhan, mungkin takdirmu hanya sebagai penyelamat bukan sebagai seorang yang menimang." "Gelarmu boleh indah di belakang nama, tapi sayang gelar tertinggi sebaga...