"Papa, Kai mau itu!"
"........."
"Mau itu juga."
"........."
"Beli boneka juga, buat temen Shooky di rumah."
"........."
"Naik ini ya, Pa."
Untuk permintaan yang terakhir saat Kaila meminta Papanya mengendarai sebuah harimau dengannya aku tidak bisa menahan tawaku yang meledak, sangat lucu rasanya melihat seorang Kaindra yang berwajah garang mengendarai macan lucu dengan seorang anak perempuan mengenakan baju pink dan rok tutu menggemaskan berkeliling salah satu Mall elite di Jakarta.
Kaila yang beberapa hari lalu tergolek lemah di atas ranjang kini luar biasa sehat bahkan sangat aktif, dia berlari kesana kemari menggeret tubuh besar Papanya untuk menghampiri berbagai macam jajanan walau pada akhirnya Papanya yang di suruh memakan karena Kaila sendiri beli aku perbolehkan makan sembarang, juga membawa Papanya berkeliling toy store sampai kami merasa gempor sementara dia begitu senang tanpa lelah.
Aku yang awalnya enggan mengganggu quality time anak dan Ayah ini saat mereka mengajakku dengan dalih Kaila ingin berterimakasih sudah menolongnya sekarang merasa tidak menyesal sama sekali. Kebahagiaan Kaila begitu menular untukku, rasanya seperti obat dari sebuah kecewa yang teramat menyiksa usai mendapati suamiku sendiri begitu dingin terhadapku. Begitu besar kecewaku bahkan membuatku sama sekali tidak menghubungi Lingga dan mengacuhkan setiap pesan bahkan panggilan yang dia lakukan untuk meminta maaf.
Enak saja dia meminta maaf lewat telepon, jika dia ingin meminta maaf, dia harus melakukannya langsung, meski aku yakin dia tidak punya waktu untuk itu mengingat dia pasti sedang sibuk bermain Mama Papa menggelikan dengan anak-anak Rizky.
Tidak ingin terlalu larut dalam kekecewaan atas apa yang terjadi dalam rumah tanggaku dan semakin sakit hati karena Lingga sama sekali tidak keberatan Caraka dan Carita memanggilnya Ayah aku kembali mengalihkan pandanganku pada Kaindra dan Kaila yang sudah selesai dengan Macan yang menjadi tunggangan mereka sebelumnya, wajah Kaila yang berseri-seri kini berlari menghampiriku, memang benar ya obat mujarab untuk seorang anak kecil itu adalah janji yang di tepati oleh orangtuanya.
"Bu dokter, ayo cari maem, Kaila laper. Kata Papa maemnya harus nurut sama apa yang di bilang Bu dokter."
Meraih Kaila dalam gendonganku aku mengangguk dengan senang, apa yang terucap barusan mengingatkanku pada Ayah mertuaku yang selalu berkata jika dia ingin makan yang enak sedikit melupakan diet jantung yang sedang di lakoni beliau maka satu-satunya yang bisa beliau makan adalah masakanku, ahhh mengingat Dharmawan Tua membuatku rindu pada kedua mertuaku.
"Ayo Kaila, kita cari maem."
Senyuman riang aku dapatkan darinya, berdua kami membagi senyuman yang membuatku dan Kaila melupakan Kaindra yang mengekor di belakang kami, mendengar segala celotehan kami membicarakan segala hal yang di ucapkan dengan sangat antusias oleh Kaila.
Aaah, manis sekali sih Kaila ini. Andai Qiano dan Qiara tumbuh mungkin mereka juga akan semanis putri Kiandra ini.
"Maem yang banyak, Kai." Tidak seperti Carita, anak Nadya dan Rizky yang harus di suapi itupun dengan begitu berantakan dan banyak drama setiap kali aku melihat mereka makan di rumahku, Kaila kecil makan sendiri dengan begitu mandiri, walau masih begitu belepotan, Kaindra dengan sigap mengambil apron makan Kaila yang ada di tas perlengkapan yang sudah di siapkan Airin.
Kembali aku di buat terpana dengan kesigapan Kaindra, benar-benar perfect Daddy.
"Alana, ini kamu nggak apa-apa nemenin kita? Kamu sudah izin sama Lingga, kan?"
Terlalu terpana dengan interaksi Ayan dan anak ini membuat pertanyaan Kaindra terasa menyebalkan di telingaku, senyum yang sebelumnya tersungging di bibirku karena kebahagiaan Kaila yang begitu menular luruh seketika.
"Nggak apa-apa." Ucapku dengan wajah yang pasti terlihat aneh karena senyum yang terlalu aku paksakan, bagaimana aku tahu reaksi Lingga, marah atau tidak, jika aku bahkan tidak berkomunikasi sama sekali dengan suamiku. "Dia nggak akan keberatan sama sekali."
Kaindra yang menangkap keanehanku langsung mengerutkan dahi, namun belum sempat dia bertanya penyebab keanehan ekspresiku, suara menyebalkan orang terakhir yang ingin aku dengar di dunia ini muncul di belakangku.
"Alana! Kaindra! Wah-wah."
Aku mendengus sebal saat mendapati Nadya muncul bersama dengan dua orang anaknya, kontras dengan keluhannya yang selalu mengatakan jika dia tidak punya apa-apa hingga membuat Lingga simpati, tingkahnya yang keluyuran di salah satu Mall elite di pusat Jakarta ini menunjukkan jika semua sikapnya yang selalu memelas hanyalah sandiwara.
Bukan aku meremehkannya atau menjudge satu kalangan tertentu yang boleh masuk ke Mall ini, tapi untuk ukuran orang yang selalu numpang makan, meminta anaknya di sekolahkan orang lain, rasanya sangat tidak layak dia ada di sini.
Tanpa ada rasa malu sama sekali Nadya duduk begitu saja di kursi kami yang masih kosong. Meletakkan anaknya begitu saja dan dengan lancang Caraka mengambil kroket kentang yang di pesan oleh Kaila.
"Nadya." Kaindra menatapku sekilas, ingin melihat ekspresiku mendapati mantan pacar suamiku tepat ada di depan hidungku, Kaindra tidak tahu saja jika wanita dan anak-anaknya yang tidak tahu malu ini bahkan menjadi benalu yang sukar di basmi dalam rumahku, rumah yang di beli oleh Kalingga untukku dan atas namaku sendiri.
Lenyap sudah sikap tidak berdaya Nadya yang selalu muncul setiap kali berhadapan dengan Lingga, senyuman mengejek seolah dia sudah menemukan satu kelemahanku tersungging di wajahnya penuh kemenangan.
"Halo, Kaindra. Aku nggak nyangka bisa ketemu kalian di sini, lucu banget sih kalian ini, kayak reuni mantan."
Memilih untuk mengacuhkan sosok iblis betina durjana dari neraka ini aku menyibukkan diri menyuapi Kaila. Bagiku, Nadya adalah kentut, hadirnya menganggu dan tidak perlu aku pedulikan.
"Reuni mantan? Jangan sembarang Nad. Kamu pikir dulu Alana mau sama laki-laki kayak aku? Jangan ngawur lah, nggak enak aku sama Alana yang sudah banyak bantu aku. Apalagi kalau di dengar Lingga."
Ada nada malas di suara Kaindra yang menyiratkan jika dia tidak suka membahas apapun tentang banyak prasangka di masalalu kami. Namun kembali, Nadya adalah mahluk bebal tak tahu malu.
"Waahhh, nggak mungkinlah Lingga denger, orang Alana sama Lingga aja sudah pisah rumah. Seharusnya kalau pun nggak ada di adain aja, Kai. Tuh lihat Alana cocok banget jadi emaknya anak Lo. Lagi pula biar klop gitu, gue balik sama Lingga happily ever after sama anak-anak gue, dan Lo bisa dapetin cinta nggak sampai Lo."
Gerakanku menyuapi Kaila terhenti saat mendengar kalimat keji dari Nadya, aku sebenarnya penasaran, jika Kalingga mendengar bahwa perempuan yang menurutnya baik ini berucap demikian apa penilaiannya akan berubah.
"Lo tahu Nadya?" Ucapku dingin, "Lo benar-benar sampah, ular iblis yang datangnya dari Neraka. Lo lebih rendah daripada kain pel, mengharapkan suami orang? Menjijikkan!"

KAMU SEDANG MEMBACA
KALANA
Romance"Dokter anak tapi tak kunjung punya anak, apalagi usia yang sudah menginjak angka tiga puluhan, mungkin takdirmu hanya sebagai penyelamat bukan sebagai seorang yang menimang." "Gelarmu boleh indah di belakang nama, tapi sayang gelar tertinggi sebaga...