Menyerah

11.2K 1.1K 79
                                    

Langkahku menuju ke dalam rumah semakin cepat, mataku sudah buram karena air mata dan aku tidak ingin air mata sialanku ini tumpah di hadapan Kalingga dan Nadya.

Lariku yang tidak memperhatikan jalan membuatku sampai tidak melihat sosok kecil yang berlarian di dalam rumahku hingga dia jatuh terpental dan tangis raungannya kini memenuhi rumahku.

Aku menyeka air mataku kasar saat suara derap langkah dari depan sana memasuki rumah menuju asal suara yang kini ada di depanku, dimana putri kecil almarhum Rizky, Carita tengah menangis histeris di bantu Caraka untuk bangun dari jatuhnya.

Aku memang membenci ibu mereka, namun tidak sebersit pun ada niat untuk menyakiti anak-anak ini tidak peduli mereka sama menyebalkan dan lancangnya seperti Ibu mereka, bahkan dua anak kecil ini terang-terangan meminta Kalingga menjadi Ayah mereka pengganti Rizky yang sudah meninggalkan dua tahun yang lalu karena tugas.

"Rita, Ya Allah kenapa kamu, Nak?"

"Ada yang sakit? Sini kasih tahu ibu mana yang sakit."

"Raka, ini adiknya kenapa nangis di lantai?"

"Mana Nak, kasih tahu Ibu mana yang sakit."

"Di jatuhin Ante!" Aku terperangah, tidak menyangka anak sekecil Raka bisa mengadu menyudutkanku seperti ini dan bisa aku duga, aku  kembali melihat drama keluarga Cemara di depan mataku, suamiku yang sangat family man ini datang tergopoh-gopoh menolong Carita yang menangis keras seolah baru saja aku cekik bersama dengan Nadya yang berulang-ulang menanyakan apa ada yang terluka di tubuh anak perempuannya sembari memeriksa tubuh kecil tersebut.

Sungguh memuakkan, aku sama sekali tidak bisa menahan dengusan jengkelku melihat betapa lebaynya Nadya. Aku tahu dia seorang Ibu yang khawatir, aku juga paham dia sedang berusaha menarik perhatian dari Lingga yang notabene adalah mantan pacarnya dulu, tapi haruskah dia seberlebihan ini tepat di depan mataku?

"Ibu, Ante nakal!"

Aku hanya menarik nafas panjang saat Carita menunjukku di sela tangisnya, mempersiapkan hatiku untuk kehancuran berikutnya karena detik berikutnya menanggapi aduan dari bocah berusia 3 tahun tersebut kembali aku mendapatkan tatapan tajam dari suamiku, menyalahkanku karena di pikirnya aku sudah menyakiti anak dari mantan pacarnya ini.

"Ya Allah, Mbak Alana. Saya tahu Mbak nggak suka sama kehadiran kehadiran kami, saya tahu saya nggak tahu diri karena sudah merepotkan Bang Lingga dan Mbak Alana dengan banyak meminta pertolongan untuk Raka dan Rita, tapi apa harus Mbak membalas saya melalui Rita. Dia hanya anak kecil, Mbak. Kenapa Mbak tega nyakitin Rita sampai nangis kayak gini!"

Aku memutar bola mataku malas  menanggapi drama murahan sementara pipi dan bibirku masih berkedut sakit karena tamparan suamiku yang hanya diam saja membiarkan manusia tidak tahu diri sebiji ini mencelaku. Aku biarkan saja Nadya berucap macam-macam berbicara ini dan itu sampai dia lelah sendiri.

"Anakmu nggak apa-apa kalau kamu mau tahu! Saya ini dokter anak yang tiap hari ketemu bocah, nggak sengaja kejedot kaki orang dewasa nggak akan bikin gegar otak! Berhenti deh ngedrama, anakmu masih terlalu kecil buat di ajakin casting sinetron Hidayah."

Aku hendak berbalik, terlalu malas dan sakit hati dengan perlakuan Nadya dan suamiku sendiri, tapi sayangnya Nadya kembali menguji hatiku setelah beberapa saat lalu Kalingga menghancurkanku.

"Mbak Alana lakuin ini ke Rita karena Mbak marah sama aku, kan? Mbak ngatain aku drama karena Mbak nggak ngerasain khawatirnya jadi seorang Ibu yang lihat anaknya nangis histeris. Kalau Mbak marah ke kami dan nganggap kami pengganggu...."

"Oooh, sadar juga kamu ya kalau kamu itu pengganggu dalam rumah saya" potongku di tengah ocehannya yang merembet kemana-mana dengan pandangan yang mencemooh, rasanya sangat puas melihatnya terhina, "kalian itu seperti benalu yang menempel bandel, kamu kira hadirnya kalian mulai dari sekolah anak-anak sampai makan pun minta di rumah ini nggak ganggu. Kirain nggak sadar kalau kalian udah jadi benalu! Miskin amat Suamimu sampai makan aja saban hari numpang! Sama apa tadi saya dengar, anak-anak kamu ini juga minta Lingga jadi Ayah mereka? Heeh, sekalian aja minta di kawinin, ngebet kamu jadi Nyonya rumah ini?"

Puas rasanya usai mengatakan semua hal itu walau kini aku mendapatkan hardikan dari Lingga yang menyebut namaku dengan tinggi, "ALANA!! JANGAN KELEWATAN, NADYA DAN ANAK-ANAK RIZKY..."

"APA??" balasku tidak kalah emosi, "NADYA DAN ANAK-ANAK RIZKY TANGGUNG JAWAB KAMU? NIKAHIN SAJA SEKALIAN SAJA KALAU GITU? LANJUTIN SEKALIAN SAJA KISAH KALIAN DI MASALALU! APA, MAU NYANGKAL? MAU MUKUL LAGI? NIH PUKUL!! SEUMUR HIDUP PAPAKU NGGAK PERNAH NYUBIT AKU DAN KAMU NAMPAR AKU DEMI SAMPAH KAYAK MEREKA, NIH TAMPAR DAN AKU PASTIKAN MEREKA SEMUA AKAN SENGSARA DI TANGANKU!"

Aku beringsut mundur, memandang jijik pada suamiku dan juga istri dari almarhum sahabatnya itu, dua orang yang menghancurkan diriku dengan sangat menyakitkan.

"Aku kehilangan bayiku dan kamu menyebutku sebagai Ibu yang buruk. Lalu siapa yang menurutmu Ibu yang baik? Mantan pacarmu ini yang selalu bawa anak-anaknya buat narik perhatian kamu, iya? Aku nyaris gila dan kamu tinggalkan aku begitu saja saat aku menangisi dua bayiku yang pergi, Kalingga. 1,5 tahun aku sendirian menghadapi kehilangan dengan kamu yang menyalahkanku sepenuhnya sementara kamu sibuk sendiri dengan tiga orang ini! Kamu membuat jarak denganku dan membawa masuk Nadya dan anak-anaknya ini."

Hatiku hancur, rasanya menyakitkan, mataku pun terasa panas, beberapa saat yang lalu aku masih bisa menangis namun sekarang air mata itu pun seperti tidak sudi aku tumpahkan untuk seorang yang lebih membela orang lain di bandingkan aku.

Lihatlah Kalingga sekarang, dia yang berjanji akan mencintaiku sepenuh hati dalam pernikahan indah yang kami ciptakan justru menamparku dan terus menyalahkanku yang mengeluh akan hadirnya orang-orang asing dalam hidup kami, tidak tahukah Lingga jika semua sikap menyebalkanku ini adalah bentuk rajukanku agar dia memperhatikanku, isyarat jika aku juga membutuhkannya untuk bersandar layaknya seorang suami yang siap sedia untuk istrinya bukan malah menjadi pahlawan kesiangan untuk Janda dari sahabatnya.

Aku paham bahkan aku sangat mengerti jika Lingga menginginkan seorang anak, keguguranku pun mengecewakannya dengan begitu dalam tapi haruskah Lingga membawa masuk Nadya dan anak-anaknya dalam rumah tangga kami yang sudah berjarak lengkap dengan semua sikapnya yang merendahkanku karena di anggap tidak becus menjaga calon bayiku.

"Aku ini istrimu, Lingga. Aku yang seharusnya kamu lindungi dari siapapun yang menyakitiku, tapi kamu justru berdiri di hadapanku dengan segala jarak yang kamu buat. Kamu menjauhiku, kamu mementingkan orang lain, aku bersabar dengan semua sikap dinginku. Dan hari ini kamu memukulku berulangkali membentak dan menyalahkanku."

Aku mengangkat tanganku, menyerah dengan semua masalah di dalam rumah tanggaku dan aku menyerah berharap Lingga kembali mendekapku seperti semula karena kini ada Nadya dan anak-anaknya yang membuatnya nyaman dalam hangatnya sebuah keluarga.

"Aku menyerah dengan dirimu, Mas. Mulai hari ini terserah kamu mau apapun dengan Nadya dan anak-anaknya itu."

"..........."

"Aku sudah nggak peduli sama kamu, sama pernikahan ini atau apapun itu! Aku nyerah, aku sudah nggak sanggup nunggu kamu kembali lagi jadi Kalingga yang dulu janji buat bahagiain Alana dalam pernikahan ini."

Untuk apalagi aku menunggu seorang yang sudah memukulku demi orang lain, di rumah yang seharusnya aku menjadi Ratu aku justru menjadi orang asing.

Aku menyerah dan aku lelah luar biasa dengan suamiku.

KALANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang