Tamparan

12K 1K 58
                                    

Namaku, Alana Putri Mahesa, putri dari dokter Putra Mahesa yang merupakan direktur rumah sakit angkatan darat, yang kini lebih di kenali sebagai dokter Alana, istri dari Kalingga Dharmawan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Namaku, Alana Putri Mahesa, putri dari dokter Putra Mahesa yang merupakan direktur rumah sakit angkatan darat, yang kini lebih di kenali sebagai dokter Alana, istri dari Kalingga Dharmawan.

Semua orang melihatku sebagai perempuan yang beruntung, terlahir di keluarga yang harmonis dengan Ayah yang mempunyai karier cemerlang, aku pun mempunyai karier yang patut aku banggakan dengan mempunyai klinik sendiri, lebih dari itu, mereka menyebutku beruntung karena aku di pinang oleh seorang Kalingga.

Awalnya aku pun juga sependapat, aku mengira jalan hidupku begitu indah, nyatanya keindahan sebuah kisah hanya ada di dalam dongeng Disney. Bahagia yang aku rasakan di awal pernikahan kami tidak berjalan lama.

Aku dan Lingga menikah karena di jodohkan. Hal klasik dan terkesan normal di lingkunganku di mana seringkali para orangtua menjadikan persahabatan menjadi hubungan keluarga. Aku dan Lingga sepakat menerimanya karena kami berdua sudah berada di angka 30an serta alasan tidak ingin mengecewakan orangtua kami.

Pada awalnya semua berjalan normal bahkan kami menikmati pernikahan kami di mana hidup di bawah atap yang sama dan berbagai segala hal menumbuhkan cinta di dalam diri kami masing-masing.

Aku menjadi istri seorang Kalingga yang saat itu menjadi Kapten dengan baik, mendampinginya sebagai Ibu Persit Kartika Chandra Kirana dengan segudang aktivitas apalagi aku yang masih tetap bertugas di rumah sakit, begitu juga dengan Kalingga yang memujaku sebagai ratu dalam hidup rumah tangga kami.

Kalingga mencintaiku dan aku bisa merasakan hal itu, aku menjadi prioritasnya yang terpenting setelah Negara yang di cintainya ini.

Namun sayangnya semuanya berubah seolah semua hal tidak pernah bermula, berawal dari dua kali keguguran yang aku alami jarak terbentang di antara kami, aku yang terpuruk karena kehilangan dan Kalingga yang menjauh karena rasa benci kepadaku yang menurutnya tidak bisa menjaga buah hati kami.

Dia menyalahkanku atas hal yang tidak bisa aku cegah dan membiarkanku sendirian memeluk luka. Hubungan hangat selama 3 tahun berakhir begitu saja setelah aku kehilangan putri kedua kami, tidak ada pelukan menguatkan seperti saat kami kehilangan putra pertama kami, tidak ada lagi kalimat penghiburan yang membuatku bangkit dari tangis.

Kalingga meninggalkanku menangisi pusara putri kami yang belum sempat aku timang dan memberikan punggungnya agar aku selalu ingat jika aku adalah ibu yang buruk untuk anak-anakku.

Dan kini, belum cukup rada sakit yang dia berikan, hadirnya Nadya Suleman lengkap dengan anak-anaknya yang muncul setiap detik menyita waktu Kalingga yang nyaris habis karena tugasnya sebagai seorang Danyon tentu saja membuatku meradang tidak bisa menahan amarahku.

"Sudah tahu sore, masih juga ngejogrok di rumah orang? Udah basi tahu nggak caper pakai tameng anak! Tamu nggak tahu diri"

Nadya menunduk mendengar kalimatku yang menohoknya, tangannya yang kecil kini tampak meremas satu sama lain sembari meraih Carita ke dalam gendongannya, sungguh khas wanita lemah yang mencari simpati sebagai perlindungan.

Aku menghitung satu sampai lima dalam hati dan benar saja baru sampai di hitungan ke empat pembelaan dari suamiku sudah terdengar. "Alana, apa-apaan sih kamu ini?! Datang-datang main maki-maki orang! Minta maaf nggak!"

Aku mendesah sebal menatap suamiku yang tengah menggendong Raka, dua anak tersebut menggemaskan, sayangnya mereka lahir dari wanita menyebalkan yang aku benci setengah mati.

"Minta maaf? Hallo, execusme, My Hubby! Nggak keliru aku di suruh minta maaf ke dia, salah apa aku sampai di suruh minta maaf? Kata-kataku mana yang salah? Benarkan dia tamu nggak tahu diri?"

Aku bersedekap, menantang suamiku dan istri dari almarhum sahabatnya ini, kemarahan sudah membuatku mengesampingkan ada anak kecil di hadapanku sekarang, yang aku inginkan hanyalah membalas rasa sesakku yang semakin menjadi mendapati pembelaan dari suamiku ini.

"Nadya sama anak-anak cuma main, Lan. Kenapa sih kamu lebay banget sampai ngata-ngatain Nadya." Tanpa perasaan Lingga menjawab demikian, bahkan dia melakukan hal itu tanpa menatapku sembari meminta Raka dan Rita untuk masuk ke dalam rumah.

Aku mengusir mereka dan Lingga justru mempersilahkan orang-orang yang aku benci tersebut masuk ke dalam rumahku, tentu saja mendapati sikap suamiku ini membuatku semakin berang.

"Cuma main kamu bilang, Mas?" Aku benar-benar tidak bisa menahan jeritan sebalku, kali ini aku benar-benar tidak peduli ada anak kecil di sekitarku karena Lingga pun sudah keterlaluan merusak hatiku. "Main itu sesekali, bukan setiap hari tanpa ada libur! Main itu setengah jam sampai satu jam, bukan dari pagi sampai malam bahkan saat kamu pergi dinas dan aku tugas mereka ada di rumah ini seperti perempuan ini pemiliknya. Tamu itu datang sekedarnya, bukan minta makan dan nyari perhatian kamu sampai kamu bahkan nggak ada waktu, setiap ada waktu libur kamu selalu pergi sama mereka, setiap kamu pulang balik batalyon kamu juga sama mereka, kayak gitu masih nggak terima di sebut nggak tahu diri?"

Nafasku tersengal-sengal, bahkan aku sudah tidak peduli jika kemarahanku di lihat anggota suamiku yang memang ada di rumah ini, kemarahanku terlalu besar dan mungkin aku akan menjadi gila jika terus memendam semuanya.

Bukan hanya aku di sini yang emosional, dari tangan Lingga yang terkepal erat aku tahu jika dia pun menahan diri untuk tidak berbalik menyerangku. Dan apa yang dia lakukan ini membuatku semakin muak.

"Maaf Mbak kalau kehadiran saya dan anak-anak mengganggu, saya cuma nganterin anak-anak main, Rita sama Raka kangen sama Ayah Ling...."

"Diam!!!" Desisku pelan namun tajam saat Nadya masih beraninya membuka suara, memotong kalimat yang membuatku semakin muak dengan sosok Nadya Suleman di hadapanku ini, "yang berhak memanggil Lingga dengan Ayah, Papa, Bapak, atau apapun itu hanya anakku. Hanya anak kami, berhenti menjadikan anakmu sebagai tameng untuk masuk ke dalam hidup suamiku. Kamu pikir aku bodoh yang tidak bisa membaca niat busukmu,  aku tidak akan tertipu, kamu pikir aku tidak tahu kalau kamu masih mengharapkan suamiku kembali kepadamu, dasar Janda gatal..."

Plaaakkkk

"Bang Lingga!!!!"

Sebuah tamparan keras mendarat di pipiku seiring dengan pekikan histeris dari Nadya, pukulan yang begitu keras hingga telingaku berdenging, untuk sejenak aku merasa pandanganku berkunang-kunang dan saat aku mulai bisa menguasai kesadaranku aku bisa merasakan anyir darah di memenuhi mulutku.

Seumur hidupku baru kali ini aku di tampar oleh seseorang dan orang itu adalah suamiku yang membela mantan pacarnya yang tidak lain adalah janda dari sahabatnya.

Mataku terasa panas, air mataku menggantung tapi tidak akan aku biarkan untuk tumpah saat aku menatap Lingga penuh tantangan, ada sebersit rasa bersalah di matanya untuk sepersekian detik, tapi aku yakin itu hanyalah sebuah ilusi karena kembali lagi aku mendapatkan hardikan darinya.

"Jaga mulutmu, Alana. Tidak sepatutnya kamu menghina Nadya dengan sebutan rendahan seperti itu!"

Aku hanya menatap nanar suamiku, seorang yang membuatku jatuh cinta namun kini kembali menggoreskan luka yang tidak bisa aku maafkan sebelum aku memilih untuk pergi dari hadapan dua orang yang ada di hadapanku ini.

Sungguh, aku membencimu, Kalingga.
Untuk apa dulu kamu membuatku jatuh cinta jika pada akhirnya kamu menggurat luka.

KALANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang