Drama Keluarga Benalu

10.7K 1K 96
                                        

"Alana, main ya kapan-kapan ke rumah Bunda sama Ayah, Ayahmu ini loh kangen sama tongseng ayam buatan kamu. Katanya beliau cuma bisa makan enak kalau Bu dokter kesayangannya yang bikinin, ini Ayah dasarnya yang ngeyel suruh diet."

Senyumanku tersungging miris mendengar kalimat rindu yang terucap dari bibir mertuaku, bayangan akan Ayah dan Bunda yang kini tengah berebut ponsel untuk berbicara denganku membuat hatiku menghangat di tengah luka saat menatap pipiku yang memerah.

Iya pipiku memerah, berdenyut nyeri karena bibirku yang sobek, hatiku pun luar biasa sakit karena luka tak berdarah yang di torehkan Putra kesayangan mereka, namun anehnya kini aku tidak bisa menangis lagi sementara biasanya melihat tawa Kalingga saat bersama Carita dan Caraka aku bisa banjir tangisan karena sedih seharusnya yang mendapat tawa tersebut calon bayiku yang sudah tiada.

Inikah yang di sebut sebagai mati rasa, terlalu banyak luka hingga tidak ada lagi yang bisa aku rasakan?

Aku ingin menjauh sejauh mungkin dari Kalingga dan semua sikapnya yang memuakkan ini untuk menenangkan diri tapi ada kewajiban menjadi seorang Istri Danyon yang membuatku tidak bisa pergi sesuka hati, apalagi di tambah Ayah dan Ibu mertuaku yang menyayangiku bukan hanya sebatas menantu tapi layaknya putri mereka, sungguh sebenci apapun aku dengan Kalingga, aku tidak ingin Ayah dan Ibu terluka.

"Iya Ibu, Ayah. Nanti kalau Mas Lingga agak longgar tugasnya kita ke rumah kok, sibuk banget Mas Lingga belakangan ini." -- sibuk ngurusin janda sahabatnya sama anak-anaknya maksudnya tambahku dalam hati. Dan kembali mengingat bagaimana Nadya selalu bertamu di sore hari dengan anak-anaknya setiap kali Lingga kembali dari Batalyon membuatku dongkol lagi, begitu jengkel hingga aku tidak fokus dengan obrolan Ibu mertuaku dan tidak sadar ada sosok yang berdiri di pintu ruang kerjaku, yang entah sejak kapan menjadi tempatku tidurku, ya sudah sejauh itu jarak antara aku dan suamiku.

"Ngadu kamu sama Ayah dan Ibu?" Baru saja aku berbalik dari dudukku sebuah tuduhan yang sangat merdu di telingaku aku dapatkan dari suamiku tercinta ini.

Aku sama sekali tidak berminat meladeni pertengkaran yang di sulut oleh suamiku yang tampan ini, aku lelah dan sakit hati luar biasa hingga aku memilih berbalik menjauh darinya. Tanpa memedulikannya sama sekali aku melepas setiap helai lembar pakaian yang aku kenakan seolah tidak ada dia di belakang, buat apa aku malu, toh dia suamiku walau aku yakin aku tidak menarik lagi untuknya, toh sudah ada Nadya untuknya, aku bukan orang yang naif dalam berpikir, bukan tidak mungkin antara Kalingga dan Nadya sudah ada iya-iya, jika tidak mana mungkin Lingga bisa membela sejauh itu dan Nadya menjadi tidak tahu diri.

"Keluar dari kamarku, aku mau mandi! Aku nggak minat mau berantem sama kamu, mulutku robek dan aku nggak berminat buat nambah luka lainnya hanya karena kamu belain Janda Sialan itu!"

Aku masuk ke dalam kamar mandi tanpa menoleh sedikitpun kepada Lingga, sungguh aku muak dengannya. Dia menjauh dariku, baik aku akan menjauh lebih jauh dari yang sudah dia lakukan, ragaku ada di sini, tapi dia tidak akan lagi menemukan Alana yang hangat dan menunggunya lagi.

***

"Waaah keluarga bahagia sekali kalian ini, Ayah, Ibu, dan dua anak! Cocok, tinggal syuting keluarga Cemara!"

Sungguh aku tidak bisa menahan sarkasku saat kembali aku turun ke bawah ingin makan malam dan aku mendapati Nadya dan anak-anaknya masih ada di rumah ini, di dapurku lengkap dengan dia yang menyentuh peralatan memasakku untuk menyiapkan makan malam suamiku.

Gerakan memasak Nadya terhenti, kembali aku melihat dia yang menunduk memperlihatkan wajah lemahnya yang membuatku hanya bisa mendengus jengah.

Dasar drama.

"Drama terosss, masih kurang suamiku kamu ambil Nad, mau jadi Nyonya juga di rumah ini sampai dapurku juga kamu pakai? Cepetan gih suruh si Lingga nyeraiin aku sekalian, biar dia ngawinin kamu! Keliatan banget ngebetnya."

Suara gebrakan terdengar dari Lingga yang baru saja masuk ke dapur entah dari mana, melihat aku mencemooh di tangga dengan mantan pacarnya yang menunduk memilih-milih blusnya seolah dia wanita tertindas membuatnya kembali marah.

"Kamu itu kenapa sih Al jadi jahat gini!"

"Aku cuma jahat sama orang yang nggak tahu diri! Menurut kamu pantas seorang Janda sepertinya masih ada di rumah Danyon almarhum suaminya di jam setengah tujuh tanpa ada kepentingan. Aku ingin rumah pribadi ini aku gunakan untuk istirahat, bukan buat panti sosial, kalau alasan kamu nggak tega, sekalian semua janda anggotamu kamu undang kesini buat kasih santunan, jangan cuma ngasih nih orang sehat walafiat tapi nggak mau usaha cari duit sendiri."

Kalingga mendekat, tubuh tinggi dan tegap yang sempat membuatku nyaman dan hangat saat memelukku kini menjulang di hadapanku, sungguh aku merindukan hangatnya yang mendekapku, tidak bisa aku katakan betapa aku merindunya namun kini ada tembok tak kasat mata yang membuatku berdiri diam tanpa mengharap lagi dia akan kembali merengkuhku.

Aku mendongak, menatap wajah tampan dengan hidung mancungnya, hidung yang sama persis seperti milik Qiano dan Qiara, bayiku yang belum melihat dunia, jika dulu aku begitu terpesona dengan lesung pipi yang selalu muncul saat dia tersenyum maka kini aku sungguh tergoda untuk menamparnya.

"Di luar hujan, Alana. Tega kamu nyuruh mereka pulang, tega kamu lihat Raka sama Rita kehujanan. Kasihan mereka, Al."

Aku tersentak dari keterpakuan mata hitam pekat tersebut yang mengurung pandanganku dan bersedekap menantangnya. "Kasihan?" Beoku malas, "kalau kasihan mereka kehujanan ya tinggal naik gocar pulang, dasarnya mau caper aja di rumah ini. Kenapa, nggak terima aku katain mantan terindah caper? Memang caper kok. Caper benalu lagi, pantas orang tua mana aja nggak setuju anaknya ngawinin dia, orang males bawa sial."

Tidak menunggu tanggapan dari Lingga aku mendorongnya menjauh, dan saat aku hendak keluar, aku mendengar suara lemah yang membuat kepalaku ingin meletus.

"Bang Lingga, saya sama anak-anak pulang saja ya, nggak enak sama Mbak Alana. Dia marah banget sama Abang."

Desisan sinis tidak bisa aku tahan lagi, aku malas menanggapi manusia menyebalkan ini tapi lidahku gatal jika diam saja. "Kalau mau pergi dan punya harga diri ya pergi aja, nggak usah izin segala, lagu busuk kaset kusut orang-orang yang cuma basa-basi aja. Alasan aja biar ditahan gitu sama nih suami orang."

Melanjutkan langkahku yang sempat tertunda masih mendengar geraman kesal dari Lingga yang sudah bisa aku tebak menahan Nadya untuk tidak pergi, "jangan di dengerin Alana, dia mungkin sedang sumpek sama kerjaan. Balik nanti kalau ujan udah reda, kasihan anak-anak. Lagi pula harusnya Alana senang ada yang bantuin masak, ini malah marah-marah nggak jelas."

See, untuk apa pamit jika pada akhirnya hanya di tahan, trik sangat murahan untuk mencari perhatian. Dan aku hampir saja muntah jika berdiri di sana lebih lama lagi.

Dan saat aku memilih duduk di teras memandang hujan yang begitu lebat aku ingin menertawakan diriku sendiri yang seperti orang asing di rumahku sendiri. Aku bahkan tidak peduli dengan tatapan bertanya dari Sertu Angkawijaya yang ada di sisi lain kursi teras yang aku duduki.

Aku fokus memilih makanan apa yang aku pegang saat sesosok kecil Caraka berdiri di hadapanku dengan pandangan (marah?) terhadapku. Belum sempat otakku memikirkan alasan kenapa dia ada di sini, bocah kecil tersebut sudah lebih dahulu menghardikku.

"Kenapa Ante bikin Ibu sedih? Kenapa Ante benci Ibu?"

KALANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang