"Lepasin Raka, Om!"
"........."
"Om jahat kayak Ante Alana."
"........."
"Raka aduin nanti ke Ayah Lingga! Bial Om di dol sampai mati."
Habis sudah kesabaran Angkawijaya mendengar umpatan dari anak kecil ini, Angkawijaya tidak habis pikir ada anak kecil yang seharusnya berceloteh dengan imut namun Caraka justru mengancamnya seperti ini, entah apa yang sudah di ajarkan sosok Nadya pada anak-anaknya, Angka benar-benar melihat jika Nadya yang selama ini tampak lemah justru seperti seorang yang mengenakan topeng monster menakutkan, sangat berbeda dengan Ibu Danyonnya yang selalu bercakap tegas namun seorang yang hangat dan peduli bahkan kepada anggota suaminya.
Angka tidak tahu apa yang ada di otak Danyonnya tersebut, di saat mereka berduka karena kehilangan calon bayi mereka untuk kedua kalinya, bukannya saling menguatkan, pasangan yang seringkali di sebut sebagai pasangan teladan dan sempurna dalam lingkup militer mereka, Danyonnya justru lebih sering menghabiskan waktu dengan seorang wanita dan anak-anaknya yang sama sekali tidak ada hubungan apapun dengan Kalingga kecuali hubungan sahabat juga antara Komandan dan anggotanya.
Angka tidak ingin berpikiran negatif seperti orang-orang yang selalu mengatakan jika Kalingga ada main hati dengan janda anggotanya tersebut, di bandingkan dengan Alana, di mata orang lain memang saat bersama dengan Nadya dan anak-anaknya, mereka nampak seperti sebuah keluarga bahagia.
Dan lambat laun pun Angka mulai berpikir jika main hati itu benar di lakukan Komandannya, dan malam ini keyakinan tersebut semakin menjadi saat mendengar apa yang terucap dari bibir anak kecil yang ada di gendongannya sekarang ini.
Sungguh miris pandangan Angkawijaya saat dia sampai di ruang makan yang menyambung dengan dapur, tempat favorit Alana untuk menghabiskan waktu libur, Angka justru menemukan Danyonnya tengah bersama dengan perempuan lain. Mungkin jika Kalingga bukan atasannya, apapun alasan Kalingga berbuat Setega ini pada istrinya, Angka pastikan dua tinju akan bersarang pada wajah tampan tersebut.
Suara ribut-ribut Raka yang memberontak dan menangis membuat perhatian Lingga teralih, hari ini dia sudah cukup kacau dengan segala kemarahan Alana, dan semakin pusing melihat tingkah Raka.
"Kenapa Raka, Ngka?!" Tanpa ada kesan menghardik dari suaranya yang berat Lingga bertanya pada Angka, rumahnya hari ini lebih seperti rumah duka karena banyak tangis yang terdengar. "Kamu apain dia sampai nangis kayak gini?"
Angka mendengus sebal yang di samarkannya sembari melempar pandangan ke arah manapun asalkan tidak pada Raka yang mengadu pada Nadya dan wanita dua anak tersebut yang heboh menanyakan apa yang menjadi penyebab anaknya menangis.
"Ya Allah, Nak. Kenapa kamu nangis kayak gini. Tadi Rita sekarang kamu.!bilang sama Ibu siapa yang nakal, Nak."
Jangankan Alana, Angka saja muak melihat sikap Nadya yang sangat tidak tahu tempat, bisa-bisanya di saat suami istri tersebut bertengkar dia sama sekali tidak tahu undur diri. Jika saja ada perempuan macam Nadya di antara hubungan rumah tangga kedua kakak perempuan Angkawijaya, Angka berjanji dia akan menendang wanita tersebut sampai ke alam barzah.
"Anak Mbak nggak ada yang nakalin, Mbak Nadya!" Angkawijaya sama sekali tidak berniat menutupi kejengkelan di suaranya saat menjawab kalimat dramatis dari Janda dua anak tersebut. "Justru anak Mbak udah ngelempar vas sukulen ke kepala Bu Danyon! Udah nakal main lempar orangtua, masih ngata-ngatain lagi. Anaknya di ajarin sopan santun dong, Mbak."
Angkawijaya sudah tidak peduli andaikan benar Danyonnya ada main hati dengan Nadya-Nadya ini, yang ada di kepala Angka sekarang hanyalah kejengkelan mendapati Alana di sakiti oleh anak yang cebok saja belum bisa. Angka tidak memiliki perasaan romantisme terhadap istri atasannya walau Angka mengakui jika Alana luar biasa cantik, Angka hanya menempatkan dirinya seandainya dua kakak perempuannya ada di posisi Alana.
Tidak ingin melihat pemandangan menyakitkan matanya lagi, Angka bergegas untuk pamit, Angka yakin jika dia berada di sana dua menit lebih lama mungkin Angka tidak akan segan-segan melemparkan granat pada ruang makan Danyonnya.
Sementara Angka sudah pergi meninggalkan ruangan ini, sebersit rasa bersalah muncul di hati Kalingga, bohong jika Lingga tidak merasa bersalah terhadap Alana, bahkan sekarang rasanya Lingga ingin sekali memotong tangannya yang sudah lancang menampar istrinya.
Sungguh Lingga sama sekali tidak berniat untuk menyakiti Alana, Lingga hanya tidak suka istrinya yang dulu begitu manis dan ceria kini berubah kasar dan seringkali mengeluarkan umpatan yang merendahkan diri orang lain. Apalagi Alana yang seringkali menuduhnya ada main hati dengan Nadya. Lingga sudah lelah dengan semua tugasnya di Batalyon lengkap dengan segala omongan menyakitkan yang sering kali di dengarnya menyebut bahwa istrinya tidak bisa memberikan anak untuknya, dan setiap kali pulang ke rumah hanya kesedihan yang di perlihatkan oleh Alana.
Alana pikir hanya Alana saja yang kehilangan calon bayi mereka? Lingga pun juga kehilangan, Lingga menjauh dari Alana karena Lingga ingin istrinya berpikir untuk tidak egois, kedua bayi mereka pergi karena Alana tidak menurut untuk bedrest demi egonya yang ingin memiliki klinik sendiri.
Kehadiran Nadya dan anak-anaknya, Caraka dan Carita adalah hiburan untuk Lingga, Lingga kehilangan calon buah hatinya dan kedua balita tersebut kehilangan sosok Ayah. Melihat keriangan dua balita tersebut mengobati kesepian Lingga yang sangat mengharap hadirnya buah hati yang akan menyandang nama Dharmawan nantinya.
Di tambah dengan sulitnya hidup Nadya setelah ditinggal meninggal suaminya bagaimana Lingga bisa menutup mata? Dua anak tersebut membutuhkan makanan bergizi di masa pertumbuhannya sementara gaji pensiun dini ayah mereka hanya pas-pasan sementara Nadya sama sekali tidak memiliki ketrampilan karena sebelumnya hanya Ibu rumah tangga biasa.
Terlepas dari kisah masalalu Lingga dan Nadya sebelum Nadya menikah dengan Rizky, Lingga tidak bisa membiarkan anak-anak sahabatnya hidup sengsara terlebih Lingga tahu sama seperti orangtuanya yang tidak menyukai Nadya, orang tua Rizky bahkan tidak merestui Nadya dan tidak mau menerima anak-anaknya.
Tentu saja dengan semua yang terjadi di depan matanya membuat Lingga tidak bisa menutup mata dan diam saja. Lingga menginginkan kehadiran anak di dalam hidupnya dan anak-anaknya Nadya hadir menyembuhkan luka atas kehilangan.
Bohong jika Lingga tidak merasakan rasa nyaman yang menyenangkan saat menghabiskan waktu dengan Nadya dan anak-anaknya, rasa hangat sebuah rumah yang selalu dia inginkan bersama Alana namun tidak pernah dia dapatkan, berawal hanya dari simpati hingga beberapa bulan ini Lingga tenggelam dalam perannya menjadi ayah pengganti untuk Caraka dan Carita melupakan Alana yang menurutnya egois.
Lingga kira perasaan sayangnya kepada Alana sudah pudar berganti beralih ke Nadya dan anak-anaknya, namun saat melihat sorot kecewa penuh luka saat tangan Lingga melayang memberikan tamparan di tambah dengan Alana yang mengacuhkannya dan mengusirnya tadi Lingga merasa ada yang salah dengan jalan yang di pilihnya.
Lingga, dia merasa bersalah.
KAMU SEDANG MEMBACA
KALANA
Romansa"Dokter anak tapi tak kunjung punya anak, apalagi usia yang sudah menginjak angka tiga puluhan, mungkin takdirmu hanya sebagai penyelamat bukan sebagai seorang yang menimang." "Gelarmu boleh indah di belakang nama, tapi sayang gelar tertinggi sebaga...