9. Penyesalan Yang Terlambat

14K 1.1K 69
                                    

Yang ngejar KALANA di Karyakarsa part 11-20 mohon di buka kembali karena ternyata ada satu part (part 11A) nyelip ketinggalan, bisa kalian baca ulang udah Mama Alva perbarui ya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Yang ngejar KALANA di Karyakarsa part 11-20 mohon di buka kembali karena ternyata ada satu part (part 11A) nyelip ketinggalan, bisa kalian baca ulang udah Mama Alva perbarui ya.

Yang ngejar KALANA di Karyakarsa part 11-20 mohon di buka kembali karena ternyata ada satu part (part 11A) nyelip ketinggalan, bisa kalian baca ulang udah Mama Alva perbarui ya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ohh ya, bagi kalian yang mau baca list berita ini.
1. Dear my kapten
2. Mr. loreng untuk Shafa.
3. Cinta Terakhir Shafa
4. Final Destination
5. Kapten Sengkala
6. Mengejar Cinta
7. Not A Choice, Letnan
Selain playbook bisa kalian baca di aplikasi Kubaca ya.

Suara adzan mengalun menyapa telingaku, alarm alami yang selalu sukses membangunkanku dari tidur nyenyak tanpa mimpi yang sangat menyenangkan malam ini.

Ya, karena biasanya malam-malamku, bahkan di dalam mimpi sekali pun aku tidak memiliki tempat untuk tenang, bayangan raut wajah Lingga yang kecewa dan menyebutku Ibu yang begitu buruk tidak bisa menjaga anak-anakku adalah mimpi yang membuat tidurku serasa hal yang menakutkan.

Aku ingin beringsut bangun, namun sesuatu yang berat menahan perutku, sebuah pelukan yang membuatku terbelalak terkejut hingga nyaris aku mendorong seorang yang sudah lancang ini. Namun saat aku hendak bergerak, pelukan tersebut semakin mengencang seiring dengan hembusan nafas hangat di tengkukku semakin terasa.

"Lima menit lagi, Al. Aku nyaris semalaman nggak tidur."

Deg, jantungku serasa di remas menyadari siapa yang memelukku, aroma oud dan juga vapezoo glazed crumble bluberry, yang aku kenali merupakan liquid favorit Lingga, wangi yang begitu aku rindukan namun membuatku terasa begitu sesak dengan perasaan sesal. Dulu saat aku kehilangan Qiara aku sangat membutuhkan pelukan seperti ini, namun pelukan itu tidak kunjung di berikan oleh Lingga, sekarang setelah dia melukaiku bertubi-tubi dengan menyeret wanita lain lengkap dengan anak-anaknya masuk ke dalam kehidupan rumah tangga kami, mendadak Lingga bertingkah seperti ini.

Aku ingin menangis, namun kembali aku merasakan mataku seolah tersumbat, aku hanya bisa menatap nanar langit-langit kamar dan menyadari jika kini aku tidak berada di ruang kerja yang sudah menjadi kamarku sejak Qiara pergi, kamar ini adalah kamar utama tempat di mana sebelumnya kamar ini milikku dan Lingga lengkap dengan segala pernak-pernik bayi yang kami siapkan.

Dadaku terasa sesak saat aku beringsut turun dari ranjang, menyingkirkan tangan Lingga dengan kuat tidak peduli dengan ocehannya yang sudah tidak aku pedulikan lagi, bahkan telingaku seolah menutup sendiri tidak mau mendengar apapun yang di ucapkan oleh Lingga.

Tubuhku serasa menolak segala hal yang berkaitan dengan pria yang sudah menyakitiku tersebut, puncak penghinaan terbesar yang membuatku seolah mati rasa terhadap Lingga adalah saat dia menamparku hanya demi membela janda sialan yang kini sedang beradu peran menjadi Mama Papa idaman dengan dua anak yang menggemaskan.

Busuk, satu kata itu yang pantas tersemat untuk Lingga dan juga Nadya yang sudah melukai pernikahanku.

Pandanganku berputar, menatap sekeliling kamar di mana semua masih sama seperti terakhir kali aku lihat, box bayi warna putih tulang dengan kelambu warna pink, buffet berwarna senada dengan komidi putar di atasnya yang aku beli bersamaan dengan bantal menyusui yang kini ada di sudut ruangan tepat di atas kursi malas yang di pesan Lingga agar aku nyaman untuk menyusui.

Nyaris satu setengah tahun aku tidak menginjak kamar ini dan semuanya masih utuh di tempatnya, tanpa ada debu atau kotoran yang menandakan bahwa Bik Lilis merawat dengan apik saat aku bahkan tidak sanggup untuk masuk ke dalam kamar yang menyimpan lara dan kesakitanku, kamar yang menjadi saksi bisu di mana aku di sebut gagal sebagai Ibu oleh suamiku sendiri.

Mataku kembali memanas, menatap kursi yang terpasang apik di sudut ruangan menghadap jendela, aku bisa melihat bayangan diriku sendiri sedang menimang bayi kecilku dalam buaian, tersenyum bahagia melihat bayiku menggeliat, apa yang aku lihat di depan mataku terlihat begitu nyata, namun juga sangat menyakitkan saat aku sadar semua keindahan itu hanyalah halusinasiku semata saat suara sayup-sayup di kejauhan memanggilku, menarikku untuk kembali pada kenyataan di mana aku sendirian dan terasing dalam rumahku sendiri.

"Alana!"

Suara itu berasal dari Lingga, terdengar, begitu jauh seolah Lingga berada di seberang ruangan. Terdengar panik dan khawatir yang membuatku merasa jika aku tidak bisa keluar dari halusinasiku. Ayolah setelah semua yang dia lakukan adalah lelucon mendengarnya khawatir, aku ingin tertawa memikirkan hal itu.

Tawaku sudah ada di ujung lidah merasakan betapa lucunya pemikiran akan Lingga yang mendadak perhatian kepadaku saat sebuah guncangan aku rasakan begitu keras di bahuku oleh seorang yang aku hendak aku tertawakan ini.

"Alana, kamu dengar aku?" Kini bukan hanya tanya kekhawatiran sayup-sayup di kejauhan, namun sebuah teriakan tepat terdengar di depan wajahku, yang membuatku sadar akan apa yang aku dengar barusan adalah kenyataan,"jangan bikin aku takut, Al! Kamu itu kenapa?"

Namun saat melihat kepanikan  Lingga begitu nyata, sesuatu yang getir aku rasakan di ulu hatiku, hingga dengan cepat aku menepis tangannya yang mencengkeram bahuku dengan kuat, kini keterkejutan nampak di wajahnya yang tampan mendapati perubahan sikapku yang mendadak, sungguh aku sama sekali tidak membutuhkan kekhawatirannya, semuanya terlalu terlambat untuk Lingga lakukan kepadaku. Aku sudah terlanjur terbiasa merasakan semuanya sendirian tanpa ada dia di sisiku.

Membuat jarak dengannya seperti yang dia lakukan aku beringsut mundur, "jangan pernah lancang menyentuhku apalagi membawaku ke kamar ini lagi, Mas." Aku yakin pria jahat ini sudah menggendongku ke sini saat aku ketiduran di teras semalam dan memelukku semalam, aku benar-benar berdecih sinis, setelah dia menamparku untuk membela Nadya seenaknya saja dia memelukku, perannya sebagai Mama Papa keluarga sempurna sedang bermasalah sampai-sampai dia ingat jika yang sebenarnya istrinya itu aku? Lucu sekali suamiku ini.

Lingga sama sekali tidak bergeming mendengar peringatan dinginku, dia justru menghampiriku seperti tidak ada sesuatu yang terjadi di antara kami. "Alana, aku minta maaf sudah keterlaluan sama kamu kemarin, Al. Aku hanya tidak suka melihat kamu berubah menjadi kasar, Alanaku nggak akan pernah maki-maki orang."

Tawa sumbangku tidak bisa aku tahan, aku tertawa begitu keras sampai aku meneteskan air mata, air mata yang tidak bisa keluar lagi setiap kali aku bersedih memikirkan hancurnya rumah tanggaku justru meluncur dengan deras karena geli mendapatkan sikap perhatian Lingga, dan saat melihat wajah Lingga yang pias seakan mendapati aku sudah gila, tawaku aku hentikan dengan susah payah.

"Alanamu kamu, bilang? Salah sebut kamu Mas, maksudnya Nadya kali!" Kekehku sembari menahan perutku yang terguncang, "Soalnya Alanamu sudah mati Mas Lingga, dia sekarat sejak kamu tinggalkan begitu saja saat dia kehilangan anak kalian, dan dia baru saja mati kemarin saat kamu lebih memilih menamparnya untuk membela orang-orang sialan itu."

Kepanikan terlihat di wajah tampan suamiku mendengar semua vonis yang aku jatuhkan terhadap diriku sendiri, seorang yang membuatku jatuh cinta dengan indahnya pernikahan kami, seorang yang berhasil meyakinkanku bahwa aku adalah segalanya untuknya, namun dia juga orang yang membuangku di kesempatan pertama saat ada kesalahan.

"Alana, maaf Al. Maaf, aku benar-benar menyesal."

Aku berbalik, memberikan punggungku padanya persis seperti saat aku dulu mengucap maaf karena tidak bisa menjaga anak kami, tidak peduli dengan anggotanya dan juga ART yang melihat kami di tangga, aku menjauhinya.

"Penyesalanmu datang terlambat, Mas. Aku sudah terbiasa sendiri."

KALANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang