7. Kalingga side 2

9.3K 1K 203
                                    

"Aku tuh suka heran sama Mbak Alana, orang kok hobinya marah-marah melulu, nggak apa-apa kalau marahnya ke aku, Bang. Tapi ini, dia lampiasin nggak sukanya dia ke anak-anak."

Lingga sama sekali tidak bersuara di ruang makan ini, hanya ada denting sendok garpu dari Caraka, dan Nadya yang terus menggerutu sembari menyuapi Carita. Lingga sendiri sudah kehilangan selera makannya, biasanya walau dingin melingkupi hubungannya dengan Alana, walau wajah masam penuh rasa tidak suka terlihat di wajah ayu istrinya, namun Lingga selalu melihat istrinya duduk tenang di meja makan ini menyantap masakannya sendiri yang belakangan ini tidak pernah di sentuh Lingga lagi karena larut dalam hangatnya sebuah keluarga yang di tawarkan Nadya.

Hati Lingga mencelos saat sadar sepertinya Nadya yang berani menggunakan dapur rumah ini sudah menyentuh puncak kesabaran Alana, yang bahkan selama ini diam saja dengan semua perangai Lingga yang lebih mengutamakan Nadya dan anak-anaknya. Alana kerap memaki dan mengumpat mereka, namun tidak pernah sampai meledak seperti barusan.

"Tadi nabrak Carita sampai nangis histeris sekarang Raka yang di bikin nangis. Pantas saja nggak di beri kepercayaan sama Tuhan buat punya anak, sikapnya aja amit-amit, mana becus dia urus anak."

Lingga menelan ludahnya terasa kelu, rasanya sangat menyakitkan kalimat yang baru saja di dengarnya dari Nadya, Lingga seperti di hantam batu karena sadar dia pernah berucap kalimat yang sama kepada Alana. Demi Tuhan, Lingga tidak tahu kalau rasanya bisa begitu menyakitkan.

"Kamu kenapa sih Bang masih tahan saja hidup sama Mbak Alana, selain dia cuma dokter anak yang wajahnya sering wira-wiri di Instagram, dia nggak ada kelebihan apapun. Dia nggak bisa ngasih kamu anak, dia bahkan nggak pernah masakin kamu lagi, istri macam apa dia. Pisah saja Bang, buat apa bertahan dengan orang macam Mbak Alana."

Berpisah? Tanpa sadar Lingga bergidik, bayangan Alana yang akan meninggalkan rumah ini dan berjalan masing-masing adalah hal yang tidak di sukai oleh Lingga, benar Lingga menikmati waktunya menjadi Ayah pengganti untuk Raka dan Rita tapi Lingga juga tidak ingin kehilangan Alana.

Katakan Lingga egois setelah banyak menyakiti Alana, membiarkan wanita tersebut meratapi kesakitannya usai kehilangan seorang diri, Lingga pun tidak mau Alana pergi darinya. Sampai akhirnya Lingga membuka suara usai lama terdiam.

"Aku pesankan Gocar, Nad. Biar kamu bisa pulang sama anak-anak nggak kehujanan."

Nadya yang sedang menyuapi Caraka dan Carita bergantian usai berhasil menenangkan tangis Raka seketika sontak meletakkan sendoknya, Nadya sepertinya salah mendengar apa yang di ucapkan oleh Lingga barusan.

Belum sempat Nadya mengulang tanya yang baru saja dia dengar , Lingga yang sedang mengutak-atik ponselnya kembali bersuara.

"10 menit lagi ada Gocar sampai di sini, sudah malam kasihan anak-anak kalau pulang kemaleman. Lagi pula ada banyak tugas yang harus aku selesaikan sebelum besok aku menghadap Pangdam."
Ucap Lingga lagi, kali ini Lingga tidak menerima bantahan apapun bahkan dengan alasan anak-anak sekalipun. Mendengar Raka baru saja melemparkan vas sukulen ke Alana membuat Lingga merasa begitu buruk memperlakukan istrinya tersebut, apalagi Alana yang seharusnya makan di ruang makan ini justru keluar tanpa masuk kembali.

Jika orangtua Lingga tahu menantunya seperti orang asing di rumahnya sendiri sudah pasti Lingga akan di gantung di tiang bendera batalyon. Sudah bukan rahasia umum lagi, jika orangtuanya lebih menyayangi Alana di bandingkan Lingga sendiri jauh sebelum mereka menikah.

"Ayah, Raka nggak mau pulang. Raka mau bobok sama Ayah. Rumah Ayah bagus, nggak kayak rumah Ibu jelek, kasurnya keras."

Bukan Nadya yang menjawab, namun Raka yang merengek, biasanya saat Raka mencebik dengan mata berair bersiap menangis maka Lingga akan mengabulkan segala keinginan bocah berusia 4 tahun tersebut, salah satunya adalah keinginan Raka memanggilnya Ayah yang baru saja menyulut kemurkaan Alana. Normalnya Lingga tidak akan sanggup menolak, namun kali ini Lingga tidak bisa mengabulkan keinginan Raka.

Baru saja Nadya memakai dapur rumah ini dan Alana sudah mengamuk sedemikian hebatnya, bukan hanya memaki dan mengumpat, buruknya bahkan Alana mengacuhkannya seolah Lingga bukan lagi sesuatu yang penting di matanya, kejadian di kamar tadi contohnya, Alana mengusir Lingga seolah Lingga adalah ngengat yang mengganggu.

Lingga tidak menanggapi apapun, dia hanya menatap Nadya melalui tatapan mata jika wanita itu harus memberi pengertian pada anak-anaknya jika Lingga tidak bisa mengabulkan apa yang di minta oleh Raka. Salah satu alasan kenapa Lingga tidak bisa mengacuhkan istri dan anak-anak Rizky adalah hidup mereka yang begitu memprihatinkan, Nadya anak dari seorang janda yang bahkan hidupnya hanya mengontrak sementara orangtua Rizky sama sekali tidak peduli. Mertua Nadya bukan seorang yang miskin namun Nadya harus membawa anak-anaknya mengontrak rumah kecil jauh dari kata nyaman dan bergantung pada gaji almarhum Rizky.

Untunglah Nadya melihat isyarat Lingga yang tidak mau di bantah karena berikutnya Nadya sudah mulai membujuk dan memberikan banyak pengertian pada Raka, sayangnya sudah terbiasa apapun keinginannya di kabulkan oleh Lingga mengamuk histeris sembari berguling-guling di lantai.

Melihat bagaimana tingkah Rizky membuat kepalanya berdenyut nyeri, dengan lelah dia memijit pelipisnya dan hanya menatap diam pada Raka yang masih sibuk berguling-guling dan kini Rita pun mulai merebak bersiap menangis melihat Kakaknya menangis.

"Jangan menangis, Kak. Nanti adek ikut nangis."

"Huuuaaa, nggak mau pulang. Mau bobok di rumah Ayah yang bagus ini, mau bobok di kasur empuk."

"Besok kalau ada waktu, main lagi sama Om ya Raka, sekarang pulang dulu, udah malam."

Bujukan dari Lingga mujarab, walau bocah laki-laki itu masih sesenggukan dia mau bangkit dari lantai tempatnya berguling, usai melakukan pinky promise dan membungkus segala makanan yang di inginkannya.

Tepat sepuluh menit seperti yang di katakan oleh Lingga, suara klakson Gocar terdengar dari luar pintu gerbang dan akhirnya membawa Nadya dan anak-anaknya pulang, usai memberikan perintah pada Arifin, salah satu anggotanya agar mengantarkan motor Nadya, Lingga berlari masih dengan gerimis kecil mengguyur langit malam yang begitu pekat.

Tepat saat sampai di teras rumah besar mereka, di sudut tempat biasa Angkawijaya dan Arifin menghabiskan waktu senggang mereka saat tidak ada tugas, Lingga menemukan Alana yang bergelung seperti kucing dalam kursi gentong warna hitam, tampak tertidur pulas dalam temaram lampu taman sama sekali tidak terganggu dengan cuaca dingin karena hujan yang tidak kunjung terhenti.

Rasa bersalah yang membuat perut Lingga tidak nyaman semakin kuat di rasa, dan melengkapi semua perasaan buruk yang di rasakannya Lingga justru menemukan Angkawijaya, anggotanya, menatap istrinya penuh kekaguman bahkan Angka tidak sadar dengan Lingga yang memperhatikan dalam diam.

Lingga selama ini sibuk mencari penghiburan atas lukanya kehilangan calon buah hatinya dua kali sampai-sampai dia mengacuhkan Alana, namun saat Alana di perhatikan orang lain dia tidak suka.

Cemburu, mungkin itu namanya.
Rasa yang kembali hadir dan menjadi awal dari karma yang akan menghampiri Kalingga.

KALANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang