00 : prologue

772 62 1
                                    

"Lo percaya dengan makhluk bernama zombie?"

"Yang kayak di film-film itu?"

"Iya, coba deh lo bayangin. Kira-kira...gimana ya kalau di dunia kita itu ada zombie?"

"Ck, pertanyaan lo terlalu halu."

"Ish, gue kan nanya doang! Nggak asih nih lo."

"Kali ini, gue yang tanya. Dan pertanyaan ini masih lebih masuk akal daripada punya lo tadi."

"Apa?"

"Lo percaya nggak sama mesin waktu?"

"Lo lebih halu ternyata. Nggak, lah! Mana ada gitu-gituan di dunia ini. Kebanyakan nonton Doraemon lo."

Jakarta, Mei 2018

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jakarta, Mei 2018

Seorang pria berusia kurang lebih dua puluh menyusuri garbarata—atau lorong yang biasanya menghubungkan ruang tunggu dan pintu pesawat—sambil menyeret kopernya. Netra legamnya memandangi suasana yang asing—tetapi tidak—setelah ia keluar dari pesawat. Sudah bertahun-tahun ia tidak melihat kehidupan bandara tanah air, dan semuanya hampir terasa asing baginya jika dibandingkan dengan bandara Schiphol di Belanda. Misalnya, jarang sekali pria itu melihat bagasi berupa kardus di Belanda, sangat berbanding terbalik dengan Indonesia.

Kaki jenjangnya menapaki eskalator, membawanya menuju lantai dasar menuju gerbang kedatangan. Setelah keluar dari pintu kedatangan, pria itu melirik jam tangannya, lalu membuka ponsel. Ia terlihat sedang menunggu panggilan dari seseorang.

"Dia di mana, dah? Lama banget!"


Kriuk kriuk


Pria itu menghela napas, melirik perutnya yang merupakan sumber suara tadi.

"Ck, bisa-bisanya gue laper."


Tidak lagi mencari orang yang menjemputnya, pria bersurai hitam itu melangkah menyusuri terminal, mencari restoran fast food atau setidaknya yang sepi pengunjung. Makanan pesawat dirasa tidak cukup baginya, minimal ia butuh pengganjal perut setelah lebih dari 10 jam berada di udara.

Naasnya, hampir semua restoran yang ia lewati sangat padat oleh pengunjung. Entahlah, mungkin karena musim liburan, banyak yang kembali ke Indonesia sampai-sampai memenuhi hampir seluruh gerai makanan. Pria itu mendengus kesal.

"Permisi, kak! Mau coba menu di restoran kami?"

Kekesalan pria itu terusik oleh seorang pelayan yang mendatanginya. Seragamnya serbahitam, tangannya membawa daftar menu dengan tawaran promosi. Sekilas, pria itu menemukan logo bertuliskan "Black Tulip" di dalamnya.

"Black Tulip?" gumamnya.

"Iya, kak! Restoran kami bernama Black Tulip, hari ini baru grand opening dan lagi buka promosi besar-besaran loh, kak! Menu kami didominasi oleh steak dan masakan Eropa, tapi kami juga menyediakan beberapa menu Indonesia kak!" jelas pelayan itu dengan nada bersemangat, penuh persuasi.

Train To Bogor (republished)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang