Jam tengah menunjukkan pukul 7 pagi. Para warga yang menjadi penumpang shift pagi sudah dibangunkan satu jam yang lalu untuk bersiap-siap. Mereka yang saling berbeda kereta terpaksa harus berpisah untuk sementara.
Termasuk Nami.
Di dalam antrian masuk kereta, Nami menggenggam inhalernya dengan gugup. Gadis itu tidak dapat menyembunyikan kekhawatirannya sejak semalam. Ia sampai berdiam diri di toilet selama setengah jam hanya untuk menangis. Setelah meluapkan kecemasannya di toilet, perempuan itu menemui Lisa yang sudah terlihat seperti orang linglung. Nami tahu, Lisa sangat mencemaskan dirinya, itu sedikit membuatnya merasa bersalah.
Tapi, rasa bersalah itu berganti dengan rasa bahagia. Lisa tiba-tiba membawanya pada area lain di aula, dan mereka berjumpa dengan sosok yang sangat Nami rindu.
Sella dan Jira. Mereka berdua tampak sehat sekali. Nami juga melihat Alvaro—teman SMA yang sebenarnya nggak terlalu ia kenal—dan laki-laki yang memperkenalkan dirinya dengan nama Mahen. Mereka berenam pun menghabiskan sisa waktu bersama hingga pagi ini.
Semalaman, mereka belajar untuk menggunakan Woki, alat komunikasi yang diberi nama sendiri oleh Mahen. Woki bisa digunakan untuk bertelepon dan mengirim pesan layaknya chat. Setiap pengguna bisa membuat username dan nomornya sendiri, dan bisa menyimpan kontak juga. Dan yang paling penting, Woki ini bisa berfungsi dalam situasi no signal dan bukan benda yang mudah dilacak. Begitu yang dikatakan Mahen setelah ia membaca buku panduannya.
Canggih juga alatnya. Begitu kira-kira reaksi Nami saat melihat Woki. Cukup worth it pada keadaan darurat di zaman ketika semua orang dimudahkan dengan teknologi.
Tapi...Nami tetaplah Nami. Meskipun ia tetap bisa menjangkau temannya yang jauh, perempuan itu tidak bisa menutupi ketakutannya.
Aku nggak sanggup...
Sejak kecil, Nami menderita penyakit asma. Dan entah mengapa, akhir-akhir ini gejalanya lebih sering kambuh, berbarengan dengan kecemasan yang rasanya sulit sekali untuk hilang. Dua buah inhaler sudah diminta pada petugas kesehatan stasiun, dan tinggal satu yang tersisa untuk saat ini.
Langkah pertama di dalam kereta.
Gadis itu segera menempati kursinya yang sudah ditentukan secara otomatis setelah sidik jarinya dipindai. Kereta yang ia dapat merupakan kereta eksekutif yang semua kursinya menghadap ke 1 arah. Di sampingnya, ada ibu-ibu yang tersenyum, menyapanya. Nami memandang seisi kereta, belum ada wajah yang tampak familiar baginya.
Oh ya. Yoan di mana, ya?
Nami tidak menemukan batang hidung anak itu sama sekali, bahkan hingga dirinya berdiri di antrian. Tentu akan menjadi lebih aman jika dia bisa menemani sekaligus melindungi adik Jeni itu. Tapi, ya...mau bagaimana lagi?
Kereta mulai berjalan.
Ibu-ibu itu benar-benar tertidur pulas. Nami sedikit bernapas lega, setidaknya ia terhindar dari kemungkinan ditanya oleh ibu-ibu yang biasanya kepo. Tangannya merogoh bagian dalam sweater, mengeluarkan woki.
KAMU SEDANG MEMBACA
Train To Bogor (republished)
Mystery / ThrillerApakah jalan cerita ini sama dengan Train to Busan? BIG NO. Dimulai dari stasiun besar yang sangat terkenal di ibukota, stasiun Manggarai. Lalu, semuanya berlanjut hingga di kota Bogor. Apa yang dapat kalian bayangkan ketika stasiun Manggarai adalah...