Bogor, 2018
Langit masih mendung, meskipun hari sudah malam.
Seorang gadis berusia 20 tahun sudah duduk menyendiri hingga tiga jam lamanya di dalam sebuah gudang. Ia sama sekali tidak berminat untuk bergabung dengan yang lain sekalipun untuk makan malam atau mencari udara segar. Rasa laparnya tergantikan oleh kesedihan setelah kehilangan salah satu sahabat terbaiknya.
Perempuan itu, Josephine Marcella, mengusap kedua matanya. Air matanya sudah berhenti keluar karena ia sudah lama sekali menangis.
Mungkin tadi ia mencoba untuk terlihat baik-baik saja, memarahi Lisa yang tertidur saat di aula, memukul Alvaro. Tapi, topeng itu langsung terlepas dengan mudahnya.
Tadi, 40 menit setelah Mahen dan Hanan pergi, ada beberapa asisten masinis datang dan mengumumkan untuk tidak berkerumun di satu tempat. Mereka diarahkan ke sudut lain stasiun, tapi bersamaan dengan itu Alvaro menemukan sebuah gudang yang tak terpakai isinya sehingga asisten masinis mengizinkan mereka untuk beristirahat di sana.
Di dalam gudang yang temaram, gadis itu berkali-kali men-scroll memo terakhir yang ditulis oleh Nami, ia sudah melakukannya berkali-kali. Tak henti-hentinya Sella terus membaca ulang kata demi kata yang dituliskan di sana. Kawan-kawannya yang lain sudah bolak-balik masuk dan keluar ruangan itu, entah pergi ke toilet atau mencari informasi. Saat ini pun, sepertinya mereka sedang makan malam bersama di luar. Tapi, Sella tidak pernah beranjak satu pun dari tempat duduknya. Ia tidak peduli dengan udara yang cukup gerah, membuat bajunya basah karena keringat.
Suara pintu kayu tua dari gudang itu berderit.
"Hai, Sel."
Sella menengok ke arah pintu. Windi memanggilnya sambil memegang sebuah kotak makan. Ia dapat mencium aroma nasi dan tempe kecap dari kejauhan. Perempuan itu lalu menghampiri Sella.
"Makan dulu nih."
Sella menggeleng. Aroma nasi itu sama sekali tidak membuatnya selera.
Windi menghela napas, lantas tersenyum.
"Nanti lo sakit, Sel. Gue nggak mau salah satu dari kita kenapa-napa lagi," Windi berujar lembut. "Makan yuk? Gue suapin ya."
Terlalu lemas, Sella memilih untuk pasrah disuapi oleh Windi. Tekstur lembut dari nasi dan rasa manis dan gurih dari tempe kecap membuat mulutnya mengunyah, sedikit membuat perasannya lebih baik. Ia baru sadar bahwa ia belum makan dari tadi. Meskipun ia mengunyah dengan lambat, Windi tetap sabar menunggunya.
"Win."
Akhirnya, perempuan itumulai bicara.
"Hm?" Windi menjawab dengan lembut.
"Kita emang terlalu jahat ya?"
Windi terdiam. Sambil menyuapi Sella, gadis itu menyimak perkataannya dengan saksama.
"Udah banyak hal jahat yang kita lakuin. Gue udah merasa bersalah di awal sejak kejadian kak Airin, dan gue makin nggak bisa maafin diri gue setelah kejadian Nami. Gue merasa bersalah banget buat nggak maksimalin usaha kita, buat cari temen-temen kita yang hilang..."
Air mata itu turun lagi. Suara isakan itu keluar lagi. Membuat serpihan makanan yang dikunyah tertahan tanpa ditelan.
Windi seperti pernah mengalami hal ini. Melihat kawan-kawan yang menangis dan menyesal akan keputusan-keputusan di masa lalunya. Jika seperti ini, ia tidak bisa semata-mata memberikan saran dan wejangan. Akhirnya, perempuan itu membiarkan Sella menyelesaikan hujan air matanya. Dengan telaten, ia mengelus lengan Sella—aktivitas suap menyuap terpaksa dihentikan. Saat tangisan Sella mulai mereda, gadis itu mulai berbicara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Train To Bogor (republished)
Mystery / ThrillerApakah jalan cerita ini sama dengan Train to Busan? BIG NO. Dimulai dari stasiun besar yang sangat terkenal di ibukota, stasiun Manggarai. Lalu, semuanya berlanjut hingga di kota Bogor. Apa yang dapat kalian bayangkan ketika stasiun Manggarai adalah...