Chapter 39

1.8K 114 20
                                    

PENTING!!!
Pada jam 15.00 WIB, novel ini akan segera berubah judul & sampul menjadi "My Wife is a Fairy."

***

Semua orang yang mengantar jenazah Velyn telah pergi, hanya tinggallah Arka sendiri yang ada disana. Tangan yang rapuh itu kemudian perlahan lahan menaburkan kelopak bunga mawar merah diatas gundukan tanah yang telah mengubur istrinya. Dirinya tak menangis lagi, namun matanya tampak lelah.

Ia berusaha tersenyum memandang batu nisan itu. Ia hanya ingin mengabulkan permintaan terakhir istrinya, yakni tersenyum ke arah batu nisannya. Hatinya bagai ditusuk tombak tatkala dirinya tersenyum namun hati dan jiwanya telah mati. Senyuman nya adalah kebohongan belaka. Hatinya tak pernah tersenyum lagi semenjak kematian istrinya itu. Tak ada lagi harapan kebahagiaan di dalam jiwanya. Semuanya telah mati bersamaan dengan kematian istrinya.

"Bagaimana rasanya disana? Kau dapatkan es krim disana hm?" tanya Arka sambil tersenyum kecil.

Tak ada jawaban yang ia dapatkan dari gundukan tanah itu. Hanya ada keheningan udara dingin yang menemani laki laki itu. Ia tau dia tak mungkin mendapatkan jawaban apapun, namun rasanya begitu lega ketika ia membayangkan seolah olah sedang berbicara dengan istrinya.

"Disini sangat dingin, kau tak kedinginan disana kan? Aku tak bisa lagi menyelimuti mu dengan dekapan ku. Kau harus bisa mendekap dirimu sendiri ketika merasa dingin, dan pastikan dirimu tetap hangat disana."

Dia tak henti hentinya memikirkan istrinya. Dia selalu berpikir, apakah istrinya baik baik saja disana? Apakah istrinya merasa bahagia di alam sana? Sungguh dia hanya ingin istrinya selalu baik baik saja, walau dirinya menderita disini. Cukup kali ini biar dirinya saja yang menderita, dia tak ingin istrinya terus menerus menderita seperti yang istrinya alami selama hidup di dunia ini.

"Aku tau kau menyukai mawar merah, makanya aku menaburkan mawar merah diatas tempat peristirahatan mu. Bagaimana? Kau suka dengan mawar merahnya?"

"Aku baik baik saja disini, kau juga harus baik baik saja disana. Aku akan selalu baik baik saja selama dirimu baik baik saja disana. Lihatlah? Aku tersenyum sekarang. Tandanya aku baik baik saja, kau tak usah mengkhawatirkan aku."

Dirinya tersenyum begitu lebar sambil memandang batu nisan yang bertuliskan nama Velyn. Ia hanya ingin ketika Velyn memandangnya diatas sana, Velyn sama sekali tak mengkhawatirkan dirinya. Dia berharap dalam dalam semoga Velyn beristirahat dengan tenang disana, tanpa perlu memikirkan dirinya yang menderita disini.

"Aku ikhlas kau pergi, aku ikhlas." Tak terasa air mata nya menetes. Ia tak sanggup membendung air matanya.

Tangan yang rapuh itu mengusap air matanya sendiri, dia tak ingin istrinya melihatnya menangis. Dia tak ingin istrinya ikut sedih ketika melihat dirinya bersedih. Yang dia harapkan sekarang ialah, istrinya beristirahat dengan tenang. Beristirahat dengan tenang tanpa harus memikirkan dirinya, ataupun memikirkan hal lain.  Cukup sudah penderitaan istrinya itu selama hidup di dunia ini.

"Kau tau ini air mata apa? Ini air mata kebahagiaan. Aku bahagia kau telah beristirahat dengan tenang, dan tidak merasa sakit lagi."

"Jadi, ingat kau harus pastikan dirimu baik baik saja. Pastikan dirimu senantiasa tersenyum, seperti senyuman yang kau ukirkan di bibir mu ketika kita sama sama bermain pasir di tepi pantai. Pastikan tersenyumlah seperti itu."

"Pastikan dirimu tertawa disana, seperti tawa yang kau lakukan ketika dirimu menjahili ku dengan mencoret pipi ku menggunakan spidol hitam. Pastikan dirimu tertawa seperti itu disana."

"Pastikan dirimu senantiasa bahagia, seperti bahagianya kamu ketika memakan es krim dengan belepotan. Pastikan dirimu bahagia seperti itu."

Perlahan lahan bibirnya terukir senyum manis tatkala mengingat kenangan kenangan bersama Velyn. Begitu manis dan indah kenangan itu, namun sayangnya itu hanyalah tinggal kenangan. Kenangan tersebut tidak dapat diulang lagi ataupun diputar lagi. Dia hanya mampu mengenangnya untuk seumur hidupnya.

"Kau tau aku akan sangat bahagia ketika kau tersenyum diatas sana sambil memandangiku, makanya kau harus rajin rajin tersenyum ya."

"Kau bertemu ibu disana? Sampaikan salamku untuk ibu ya. Katakan padanya bahwa aku baik baik saja disini."

"Ibu pasti sedang mengomeliku diatas sana, dia pasti merasa kesal denganku. Baiklah ibu, teruslah omeli aku dari atas sana. Aku tau aku salah, aku salah karena telah menyiksa menantu kesayangan ibu. Kali ini aku tidak akan membela diriku, aku tau aku bersalah dalam hal ini."

"Kenapa kalian tidak mengajakku juga kesana hm? Supaya aku bisa mendengar langsung omelan ibu, kalau perlu ibu bisa menarik telinga ku sebagai hukumannya."

"Ibu bisa menarik telinga ku atau mencubit ku sebanyak banyaknya sebagai hukumannya. Hukuman itu jauh lebih baik daripada ditinggalkan." Tak terasa air matanya kembali menetes.

Tangan yang rapuh itu kembali mengusap air matanya. Dia berusaha keras untuk terus mengusap air matanya agar tak menetes lagi, namun semuanya percuma. Air matanya tak henti hentinya mengalir begitu deras. Rasanya sangat sakit, rasa sakit itu begitu dalam, sampai ia tak mampu menyembunyikan rasa sedihnya lagi.

"Aku gak sedih ya, ini air mata kebahagiaan," ucapnya berbohong.

Tangan kanan nya beralih mengusap lembut batu nisan milik sang istri, sedangkan tangan kiri nya terkepal erat berusaha untuk menguatkan dirinya. Ia dikubur hidup hidup oleh rasa sesak rindu yang menusuk kalbunya. Dipaksa tetap bernafas walau jiwa telah mati ditusuk penyesalan.

"Aku rindu, Ely," lirihnya.

"Ikhlas ku bohong, jujur saja aku ingin kau ada disini bersama ku. Aku merindukan dirimu yang senantiasa bergelantungan di lenganku. Merindukan dirimu yang senantiasa minta dibelikan es krim," sambungnya dengan isakan tangis.

"Dahulu kau mengajariku untuk tetap bahagia walau diriku diterpa masalah, kau menghiburku dengan tingkah konyol mu. Kau juga mengajariku bahwa tak harus bahagia lalu tersenyum, tapi tersenyum lah agar bisa merasakan kebahagiaan."

"Namun kau lupa mengajariku satu hal," isakan tangis dari bibirnya yang bergetar membuat dirinya tak sanggup melanjutkan ucapannya.

Detik demi menit kemudian, dirinya tak bersuara lagi. Pipi nya basah, namun dirinya tak lagi menangis. Begitu kuat rasa rindu menggerogoti hatinya, hingga dirinya tak sanggup lagi untuk menangis. Hatinya seakan perlahan lahan dibakar hidup hidup oleh api penyesalan.

"Kau lupa mengajariku cara untuk hidup tanpa dirimu." sambungnya. 

Saat dirinya sedang menatap batu nisan sang istri, tiba tiba datanglah seseorang yang memakai baju serba hitam. Dari belakang, ia langsung membius Arka menggunakan kain putih. Pupil mata Arka membesar karena terkejut. Ia berusaha melawan, namun kekuatan dirinya perlahan lahan melemah. Hingga pada akhirnya Arka kehilangan kesadarannya.

_________________________

Tbc

My Wife is a Fairy [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang