"Biar aku bantu."
Kalimat itu keluar dari bibir Soobin dengan raut wajah kaku—tanpa ekspresi. Kai membelalakkan matanya, tidak menyangka Soobin akan menawarkan bantuan bahkan sebelum ia meminta. Rasanya itu tidak mungkin. Mustahil.
Wajah Kai memerah dengan cepat, panik saat menyadari bahwa dengan Soobin membantunya, itu sama saja menyuguhkan punggung telanjangnya di depan wajah Soobin. Dulu waktu Jimin menyarankan Kai membuka baju untuk mengukur tubuh, ia juga ragu. Bukan ragu karena Jimin, karena aura yang Jimin pancarkan sama sekali tidak menekannya. Berbeda dengan Soobin, Kai selalu dibayangi oleh rasa tidak nyaman setiap kali laki-laki itu menatap di bawah matanya. Ia akan selalu bergidik bahkan hanya untuk membayangkannya.
"K-kalau begitu tolong panggilkan saja anak panti yang bisa menolongku—"
"—ada aku di depanmu kenapa bersikeras memanggil orang lain? Apa kau menganggap aku tidak becus untuk menyimpulkan beberapa tali?"
Kai mengatupkan bibirnya rapat. Hening yang tercipta tidak terlalu lama sebab ia memundurkan tubuh, membuka pintu lebih lebar—mempersilahkan Soobin masuk. Kai masih berdiri tak bergerak, memperhatikan Soobin menutup pintu. Saat akhirnya pintu tertutup dan tinggal mereka berdua di ruangan itu, untuk sesaat Kai bahkan bisa mendengar jika ada jarum yang jatuh mendenting di lantai—benar-benar sunyi.
Kai menggigit bibir bawahnya dan perlahan berbalik. Ia menunduk menatap ujung sepatunya saat merasakan Soobin bergerak mendekat—hanya ada jarak satu langkah sempit di belakang tubuhnya. Kai menyadari Soobin tak langsung bergerak mengikat simpul-simpul yang terlepas. Apa mungkin... laki-laki itu menatap punggungnya?
Rasa panas menjalar di sepanjang tulang belakang Kai hingga ke lehernya. Entah untuk alasan apa, ia merasa sangat malu hingga tanpa sadar memejamkan mata. Barulah saat ia merasakan gerakan di pakaiannya, Kai bernapas lega.
Satu simpul, dua simpul, hingga beberapa simpul. Soobin mengikatnya tanpa suara, dan tak seujung jaripun menyentuh kulit Kai. Ia bergerak mengikat dari bawah hingga ke atas. Dan berhenti sejenak di simpul terakhir yang masih terurai.
Kai membuka mata saat merasakan hembusan napas Soobin menyapu lehernya. Untuk alasan yang masih tidak ia ketahui, Kai merasakan hembuskan napas itu terlalu dekat dan panas sehingga membuatnya merinding untuk beberapa detik yang singkat. Kai mengepalkan tangannya, mengeratkan rahang saat gerakan terakhir Soobin di tali terakhir berhenti.
"Sudah selesai."
Gumaman rendah Soobin terdengar pelan. Kai mengambil satu langkah memajukan tubuhnya—untuk menjauh dari Soobin—dan berbalik untuk mengucapkan terima kasih.
"Terima..." namun Soobin sudah menghilang dan meninggalkan pintu yang setengah terbuka.
"...kasih?"
___
Soobin nyaris tidak bisa menahan dirinya.
Sedetik setelah Kai berbalik dan memperlihatkan punggungnya, Soobin membeku. Punggung indah itu nyaris tanpa noda, terpampang dan memancarkan kelembutan. Bahkan meski Soobin tak menyentuhnya, ia bisa membayangkan bagaimana lembutnya kulit itu di bawah telapak tangannya. Soobin menelan ludah, bergerak maju dan mulai mengikat satu per satu simpul mulai dari bawah. Semakin ia bergerak ke atas, aroma samar dari feromon Kai semakin tercium.
Aroma kayu manis dan gula.
Perpaduan sempurna yang keluar dari kulit seputih batu giok yang terawat. Lehernya bersih tanpa noda dan untuk sesaat sebelum menyimpulkan yang terakhir, Soobin menatap lama di satu titik leher Kai.
Itu adalah tempat mate membenamkan taring mereka dan mengklaim bahwa seseorang di dalam rengkuhan adalah miliknya. Napas Soobin memberat, dan ia menundukkan wajah tanpa sadar, menatap leher Kai tajam seperti serigala yang lapar dan siap menerkam.
KAMU SEDANG MEMBACA
OLEANDER | SooKai
Fanfiction"Di ujung jalan ini, akankah aku menemukan kebebasan? Atau malah rantai lain yang semakin mengekang?"