30 | It's over

922 145 25
                                    

Taehyung terbangun dalam keadaan pening, bola besi penghancur bangunan yang sangat berat seolah baru saja dihantamkan tepat di belakang hulunya saat ia mengangkat kepala dari bantal. Taehyung merasa oleng seakan berada di kapal kecil, terombang-ambing di tengah badai. Seingatnya semalam ia sedang minum bersama Namjoon di ruang makan sebelum jatuh tersungkur di dekat kaki meja.

Kaki telanjang Taehyung menggantung di sisi ranjang, memasukkan jari-jemari di antara sela-sela rambut dan menjambaknya berharap dapat menghilangkan rasa sakit yang dirasakannya.

Taehyung mengumpulkan seluruh tenaganya di bawah telapak kaki, mengangkat bokong dari alasan empuk ranjang, mengambil satu langkah mendekat menuju kamar mandi tetapi baru hendak mengambil langkah kedua Taehyung tumbang, tersungkur mengesun lantai. Sebelah tulang pipinya merasakan perih saat bangkit mengambil posisi duduk. Taehyung mengatur napas, memejam sebentar dan semakin merasakan sakit pada bekas benturan di wajahnya. Efek alkohol semalam membuat kepalanya berputar-putar seperti menaiki carousel.

Taehyung mencoba merilekskan diri, menarik napas dalam lalu menghembuskannya perlahan. Terlalu lama memejamkan mata membuat kenangnan Jia berlarian di kepalanya bagai trailer film. Ingatan Jia yang tersenyum setiap mereka terbangun di pagi hari membuat Taehyung menyesal mengapa saat-saat itu ia tak mengorbankan jutaan menit lebih lama untuk menghabiskan waktu walau hanya saling melempar senyum di ranjang. Taehyung merasa menggigil, terpaan kerinduan menghantam ulu hatinya.

Taehyung sangat merindukan wanitanya.

Ia tidak bisa lebih lama terperangkap dalam lubang penyiksaan batin yang sebenarnya ia sendiri yang menciptakannya. Tidak---tidak sepenuhnya, terkadang ia merasa seperti itu.

Pening di kepala kembali menghantam, mengangkat sebelah tangan menangkup jidat, Taehyung mendapati dirinya demam. Di tengah keheningan yang setia menemaninya di rumah sejak Jia pergi dering ponselnya membumbung. 

Hati-hati ia bergerak mengambil benda pipih di nakas, pupil matanya mengecil mendapati nama ayah mertuanya tersemat di layar. Taehyung kembali mengatur napas, berdehem menyetel serak suara, dan membiarkan rungunya menerima vokal sang ayah mertua yang mungkin akan melemparinya cacian dan makian karena telah membuat anaknya menghilang dan tidak bisa dikontak sejak 21 hari yang lalu.

Jantung Taehyung seakan dijepit tulang rusuknya saat ayah mertuanya hanya menghela panjang di balik telepon. Selama ini Jeoh-Yeon selalu tersenyum ramah setiap kali mereka bertemu tetapi dari helaan yang baru saja terdengar, Taehyung sudah dapat membayangkan wajah datar ayah mertuanya yang marah.

"Bagaimana kabarmu?"

Taehyung tertegun, dunianya behenti dalam beberapa detik memilukan. Bahkan ia mengira tak akan lagi mendapat perlakuan hangat dari ayah mertuanya, Ia merasa tidak pantas mendapatkannya setelah apa yang terjadi pada Jia. Air matanya jatuh dan Taehyung tak bisa menahannya. Suara di balik telepon mengalun terlalu lembut dan perhatian.

Hanya bisa menunduk dalam, Taehyung tak bisa berkata-kata sampai ayah mertuanya kembali bersuara.

"Kau ada jadwal siang ini?"

Taehyung menggeleng lambat, memaksa bibirnya terbuka, mengatakan, "Ti-tidak." Dengan tidak lancar.

Di seberang sana Jeoh-Yeon menyadari keadaan menantunya, ia mendengar jelas isakan yang Taehyung coba sembunyikan walau tidak berhasil.

"Datanglah ke rumah saat makan siang. Ada yang ingin kubicarakan mengenai Jia. Akan lebih baik kalau kita membicarakannya secara langsung daripada melalui panggilan telepon seperti ini."

Sekali lagi Taehyung terkejut, ia mengabaikan rasa sakit di kepalanya dan langsung bangkit mengecek waktu di layar ponsel, panggilan telah berakhir dan jam baru menunjuk angka delapan lewat lima menit. Makan siang masih lama.

StuffyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang