Biasanya Jia akan selalu bangun tiga puluh menit lebih awal sebelum Taehyung tetapi kali ini Jia masih terlelap dengan wajah sembab dan nampak kelelahan. Taehyung menjadikan telapak tangannya sebagai bantal, tidur menyamping sambil memandangi wajah lelap Jia. Taehyung menyadari Jia menangis saat ia terlelap semalam.
Di perjalanan pulang dari rumah Nayun, keduanya tidak membuat konversasi apa pun setelah Taehyung turun dari lantai dua menuju ruang tamu di mana Jia menunggu, hanya ada gelengan kepala sebagai pemberitahuan nonverbal atas ponalakan Nayun.
Taehyung masih tak mengerti mengapa Jia terus merasa bersalah akan penolakan Nayun. Kemarin Jia begitu sedih, tak bersemangat, Taehyung berniat membahasnya saat mereka sampai di hotel tetapi tidak jadi karena Jia langsung ke ranjang dan memilih tidur.
Jia terbangun dengan sendirinya, tepat saat itu ia langsung saling bertatapan dengan Taehyung. Diselimuti keheningan dan hembusan napas yang teratur, keduanya seakan terlibat percakapan lewatan tetapan mata.
Sore nanti mereka akan check out dari hotel dan langsung ke bandara, Taehyung tak memiliki terlalu banyak waktu karena pekerjaan. Soal Nayun, sepertinya memang sudah tidak ada harapan. Hubungan mereka semakin memburuk dan sepertinya akan terus seperti itu sampai kedepannya.
"Aku lapar," kata Jia kemudian.
Taehyung tersenyum kendati tak sampai mata saat mengatakan, "Ayo, kita ke bawah." Sambil mengulurkan tangan mengelus rambut berantakan sang istri.
Sudah masuk jam setengah sepuluh saat keduanya berniat turun ke restoran hotel. Namun, saat hendak meraih gagang pintu kamar, dering telepon di atas nakas menarik atensi keduanya.
"Biar aku saja." Taehyung melangkah melewati sofa, mendekati nakas di samping ranjang, lalu meraih gagang telepon di sana.
Jia berdiri di foyer, memeluk diri sendiri yang mengenakan kardigan rajut berwarna putih tulang. Dari tempatnya berdiri, Jia memperhatikan perubahan raut wajah Taehyung selama menerima telepon.
"Dari siapa?" tanya Jia, separuh penasaran.
"Resepsionis," jawab Taehyung cepat.
"Ada keperluan apa?"
"Katanya Nayun sedang menunggu di bawah, ingin bertemu kita."
Sejenak keduanya terdiam, silih menatap, seakan saling berbicara melalui pandangan. Meski masih tak menduga keduanya lantas turun ke lantai dasar, menunggu pintu lift terbuka, dan mendapati Nayun duduk seorang diri di sofa lobi. Taehyung hendak melangkah tetapi cengkraman tangan Jia di lengannya semakin mengeras.
"Tae, aku tunggu di atas saja bagaimana?" katanya kemudian dengan air muka ragu. Kejadian kemarin membuat Jia tidak yakin berada di dekat Nayun. Bukan karena Jia tidak menyukai Nayun, melainkan ia tak ingin kejadian kemarin terulang.
Taehyung menggeleng, menyalut lembut tangan Jia di lengannya sembari bertutur, "Nayun ingin bertemu kita, Ji. Bukan cuma denganku."
Menggigit bibir atasnya tipis, Jia menatap Taehyung dengan sorot mata kalut. Sebelum Taehyung kembali mengatakan sesuatu, Jia mendapati Nayun menatap ke arahnya. Melihat perubahan sorot mata sang istri Taehyung lantas mengikuti arah pandangan Jia.
Nayun berdiri, membungkuk sopan ke arah keduanya.
Ketiganya berakhir sarapan bersama di restoran hotel. Sampai hidangan tersaji tak ada yang memulai konversasi. Sejak tadi Nayun menunduk, memilin jari-jari di atas pangkuan.
Jia menyikut pelan Taehyung di sampingnya, menatap dengan sorot seolah mengatakan, mengapa diam saja? Katakan sesuatu.
Reflek berdeham, Taehyung meraih segelas air putih di depannya lalu meneguknya. "Selamat makan," katanya kemudian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stuffy
RomansaHwang Taehyung menjalani hidup tanpa berarti setiap harinya, hidupnya datar dan selalu berulang seperti hari kemarin. Bangun pagi, berangkat kerja, dan kembali tidur. Hingga suatu hari istrinya yang tak pernah kelihatan batang hidungnya tiba-tiba me...