Arvin mendampingi Rania yang tengah menidurkan keponakannya. Ketika sang istri meletakkan bayi menggemaskan yang sudah terlelap itu, Arvin turut andil untuk mengatur posisi baby monitor. Ya, sejak mereka kembali dari bulan madu, keduanya sepakat untuk membuat Gavin tidur di kamarnya dengan pantauan monitor. Namun, mereka belum benar-benar melepaskan bayi itu, Indri tetap mereka minta untuk tidur di kamar Gavin.
"Kami tinggal, ya, Mbak." Rania berbisik sebelum benar-benar keluar.
Arvin merangkul Rania dan ikut berhenti, kemudian menatap Indri yang tengah merapikan ranjang baru.
"Baik, Bu."
"Terima kasih."
Keduanya keluar dari kamar Gavin menuju kamar mereka. Pasangan pengantin baru itu menyikat gigi dan mencuci muka bersama, juga menatap satu sama lain dari cermin kamar mandi yang membuat mereka bertukar tawa. Selesai itu, Rania berjalan menuju ranjang dan melepas ikatan rambut. Arvin menyusul sang istri, tetapi dirinya langsung merebahkan diri.
"Capek?" tanya Arvin setelah Rania meletakkan kepala di bantal.
"Lumayan. Kalau Mas?"
"Lihat kamu sama Gavin, capeknya langsung hilang."
Ketika Rania menoleh, tatapannya bertemu dengan Arvin yang miring ke arah dirinya. Tatapan suaminya itu begitu instens dan membuat Rania salah tingkah. Jantungnya kembali berulah dengan berdetak sangat kencang tanpa bisa ia kendalikan.
"Kenapa?" tanya Rania penuh keraguan.
"Makasih, ya." Arvin tak mengubah cara tatapnya dan tangannya kini bergerak merapikan anak-anak rambut Rania. "Udah mau menerima dan merawat Gavin dengan baik."
"Dengan senang hati, Mas. Kita kan sepakat jadi orang tua buat dia."
Arvin tersenyum dan mengangguk. Perlahan dirinya mendekatkan diri ke Rania yang hanya mampu terdiam menerima perlakuannya.
"Boleh, kan, Sayang?" ucap Arvin dengan suara serak, tepat setelah hidung keduanya bersentuhan.
Rania mengangguk, tanpa mampu menyembunyikan wajahnya yang memerah. Namun, Rania tak bisa memungkiri jika dirinya mulai terbiasa dengan segala sentuhan lembut suaminya. Bahkan, kadang dirinya lupa untuk menjaga hati agar tidak jatuh ke dalam pesona seorang Arvin. Selanjutnya, dirinya menyesal telah kehilangan kendali atas hati dan pikirannya.
***
Arvin membereskan meja makan saat Rania tengah memberi Gavin minum sambil sesekali membersihkan wajah bayi 8 bulan itu yang sangat belepotan. Ketika menoleh, Rania tersenyum. Padahal dirinya sudah dua kali bilang ke sang suami jika nanti akan ia bereskan. Namun, Arvin hanya membalasnya dengan senyuman.
"Kita meleng dikit, Gavin udah kabur dan bikin kita senam jantung," ucap Arvin sembari mengelap meja makan. "Kamu pasti bakal repot dan capek banget."
"Namanya bayi, kan, Mas. Malah kalau nggak aktif dan nggak ada perkembangan, kita yang panik." Rania melepas celemek makan Gavin sambil tersenyum ke bayi yang terus bergerak di kursi makannya sambil memegang wortel rebus. "Ini kan yang aku inginkan selama ini."
Senyuman langsung Arvin berikan. Kemudian, pria itu berjalan mendekat dan berhenti tepat di belakang sang istri. Ia kemudian berbisik sambil memeluk Rania dari belakang. "Semoga impian kamu yang sesungguhnya dan yang tengah kita usahakan segera dikabulkan, ya."
"Amin," gumam Rania penuh harap saat sang suami mengusap perut sembari mencium tengkuknya cukup lama.
"Mama."
"Iya, Gavin." Rania berseru riang dan langsung meraih bayi itu dari kursinya, membuat pelukan suaminya terlepas. "Iya, ini mama. Sekali lagi, Nak."
"Gavin, panggil papa juga."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kontrak ✅
RomanceAdakah wanita di dunia ini yang terobsesi untuk merasakan hamil, melahirkan, dan merawat bayi seorang diri? Rania akan menjawab dengan sangat lantang, "Ada!" sambil menunjuk dirinya sendiri. Keanehan pola pikir gadis bernama lengkap Kirania Myesha U...