Bab 24

8.9K 666 78
                                    

Dibaca, ya. Harap maklum sama cerita-ceritaku yang ngandat lama. Tapi jujur, aku berterima kasih sama kalian yang luar biasa baik. Tanya dan minta update aja superrrr baik dan sopan walau dibikin nunggu lamaaa. Love kalian semua...

Siapkan hati kalian untuk part ini.

***

Semua pasang mata memandang Rania. Ada kekhawatiran dari papi Arvin dan ibu tirinya. Namun, Arvin sangat santai seolah mengetahui penelepon yang membuat Rania mematung. Tanpa bicara, pria berdada bidang itu segera mengambil ponsel milik gadis berambut panjang di sampingnya.

"Eh!" Rania melebarkan mata dan hanya mampu memandang ponsel yang telah berada di tangan Arvin. Pria itu segera beranjak dan berjalan pergi setelah meminta izin pada Hedi dan Yenny.

Rania menoleh dan menatap punggung Arvin dalam diam. Yenny yang merasakan kekhawatiran Rania, segera meraih tangan gadis itu.

"Apa ada masalah?"

"Aku udah bilang ke Bapak kalau kamu di sini." Arvin yang baru saja muncul langsung menyerahkan ponsel itu kembali pada pemiliknya. Seberkas senyuman terpancar dan pria itu menggeleng ringan. "Sukanya bikin orang panik aja."

"Jadi tadi itu orangtua Rania, Vin? Kalau tahu gitu, Papi mau ngobrol." Hedi yang sejak tadi meletakkan sendok dan garpu, kembali mengambil kedua alat makan itu sembari menatap Arvin.

"Besok aja ngobrol langsung ke rumah Rania. Tiga hari lagi, Papi bisa? Mumpung aku dinas pagi."

Rupanya, sebaran senyuman Arvin juga menghampiri dan diikuti oleh Hedi. Pria yang sebagian besar rambutnya telah memutih itu, mengangguk tanpa pikir panjang.

"Bilang ke Papi apa yang kamu butuhin. Biar besok Papi sama Mama Yenny mulai siapin semuanya. Rania juga bilang, mau dibawain apa."

Pasangan yang telah menandatangani kontrak pranikah itu hanya saling tatap dan saling melempar kode. Rania tersenyum canggung sembari berusaha menyampaikan permintaan melalui pandangan mata. Sayangnya, Arvin hanya diam dan memasang ekspresi santai. Pria itu juga dengan tanpa rasa bersalah, kembali menyantap makanannya. Mau tidak mau, yang lain juga mengikuti.

***

Beberapa minggu setelah lamaran resmi antarkeluarga dan persiapan pernikahan semakin matang, pasangan itu makin sering ketemu saat sore hingga malam hari jika Arvin tidak memiliki jadwal. Terkadang di akhir pekan, mereka akan meluangkan waktu bersama. Pasangan itu dengan kompak menyatukan pikiran demi kelancaran pernikahan walaupun perbedaan pendapat juga sering mengiringi langkah mereka.

"Udah selesai suntik?" Pertanyaan itu meluncur tepat setelah Rania menerima panggilan WhatsApp dari Arvin.

"Masih antre. Gimana?"

"Kalau udah selesai, langsung ke bagian UGD. Sebentar lagi aku udah selesai. Kita makan siang bareng."

Tepat setelah menyanggupi dan menutup panggilan dari Arvin, nama Rania dipanggil. Jantungnya berdegup lebih kencang. Ia sangat tahu legenda tentang suntik TT dari orang-orang di sekitarnya. Walaupun orang-orang di ruangan itu sangat ramah, degup jantungnya tak kunjung normal. Suntik biasa aja sakit, yang ini... duh! Dan tepat saat itu, ia merasakan jarum suntik menembus kulitnya. Bahkan, rasa sakit itu ia rasakan sampai puncak kepala.

"Nah, sudah selesai."

Rania memaksakan senyuman di tengah denyutan akibat suntikan itu. Tak lupa ia mengucapkan terima kasih dan segera beranjak. Bahkan, ia masih berusaha tampil baik-baik saja saat mengobrol singkat dengan petugas medis di sana. Kemudian, Rania berjalan keluar sambil mengusap sekitar tangannya yang mendapat suntikan.

Kontrak ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang