Arvin memarkirkan mobil di garasi. Setelahnya, ia memilih untuk masuk ke kamar mandi dekat garasi yang memang sejak awal didesain agar setelah bekerja, dirinya bisa mandi terlebih dahulu sebelum masuk rumah. Awalnya, ia cukup khawatir pada Gavin, tapi sekarang Rania masuk ke daftar orang yang ingin ia jaga kesehatannya. Sayangnya setelah mandi, Arvin tidak menemukan handuk kering di lemari khusus handuk bersih di dalam kamar mandi. Segera saja ia mengambil ponsel dari saku celana yang ia gantungkan.
"Gimana, Mas?" Suara Rania terdengar seperti orang bangun tidur.
"Boleh minta tolong bawakan handuk ke kamar mandi dekat garasi?"
"Sebentar."
Tak lama, Arvin mendengar langkah kaki mendekat disusul ketukan di pintu. Kepalanya menyembul di sela pintu untuk melihat kondisi sang istri. Pucat. Segera saja Arvin mengambil handuk di tangan Rania dan memakainya, kemudian ia menyentuh pipi istrinya.
"Sakit banget?"
Rania hanya mampu mengangguk dan Arvin segera membopong sang istri. Ia menidurkan di ranjang, tepat di samping Gavin yang sudah terlelap. Tak ada kepanikan yang tergambar di wajah Arvin, hanya pria itu memasang ekspresi serius sambil mengecek kondisi Rania.
"Minum obat, ya?"
Rania menggeleng sambil memejamkan mata.
"Yakin kuat?"
Kali ini Rania hanya mengedipkan mata. Arvin pun beranjak untuk berpakaian, kemudian mengambil air hangat. Ia dengan telaten merawat sang istri setelah memesan makanan via daring. Janji memasak yang terlontar sebelumnya harus ia ingkari setelah melihat Rania begitu pucat dan banjir keringat.
Arvin memindahkan Gavin sedikit menjauh dari Rania. Namun, hal itu malah membuat si bayi bermata bulat itu bangun dan malah tersenyum.
"Mama."
"Mama sedang tidur. Gavin tidur lagi, ya."
"Mama."
Gavin tengkurap dan hendak merayap menaiki Rania. Namun, Arvin dengan segera menggendong bayi itu. Dan membawa menjauh, hingga suara tangisan Gavin pecah. Tak lama, suara bel membuat tangisnya berhenti. Seorang kurir makanan datang tepat waktu dan segera pergi setelah Gavin melambaikan tangan tanpa diminta.
"Ayo kita siapkan makanan untuk mama," ucap Arvin yang kemudian mencium Gavin.
Celotehan Gavin tak berhenti, apalagi saat melihat sosok Rania ketika mereka masuk kamar. Belum sempat Arvin membangunkan Rania, ponselnya berdering. Nama Sybil muncul, membuat Arvin meletakkan piring di nakas samping ranjang.
"Gimana, Bil?"
"Besok ada waktu nggak, Vin? Kalau nggak salah kamu jaga malam, kan? Kalau bisa, kamu berangkat agak awal, ya."
"Sorry, Bil. Istriku lagi sakit."
"Mama. Mama." Gavin berceloteh sambil meronta ke arah Rania.
"Sebentar Gavin, biarin mama tidur dulu, ya." Arvin berdiri dan mengalihkan pandangan Gavin agar tidak dapat melihat Rania. Namun, fokusnya juga tiba-tiba terganggu saat ponsel Rania berbunyi. "Kalau misal urgent banget, minta tolong ke yang lain aja, Bil. Aku tutup dulu, ya. Maaf banget. Ada panggilan lain."
Setelah memutus panggilan, Arvin meraih ponsel Rania dan melihat nama penelepon. Ia kemudian menatap Rania yang masih tidur sambil mempertimbangkan untuk menerima panggilan itu atau tidak. Namun, jarinya perlahan menarik icon terima.
"Ran, jangan matiin dulu. Kasih aku kesempatan buat ngomong. Please kasih aku kesempatan. Sekali lagi. Denger gosip kamu nikah itu bikin aku hancur. Aku sadar kalau tanpa kamu, hatiku kosong. Aku nggak bahagia."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kontrak ✅
RomanceAdakah wanita di dunia ini yang terobsesi untuk merasakan hamil, melahirkan, dan merawat bayi seorang diri? Rania akan menjawab dengan sangat lantang, "Ada!" sambil menunjuk dirinya sendiri. Keanehan pola pikir gadis bernama lengkap Kirania Myesha U...