Bab 15

11.1K 854 81
                                    

Terima kasih sudah mencintai cerita ini.  Terima kasih banyak untuk yang sudah komen dan like. Benar-benar membuatku bahagia. Kadang, lihat viewers banyak tapi yang like sama komen sedikit, jadi mikir, "Sebegitu jeleknya kah ceritaku?"

Oh iya, jangan lupa membaca ceritaku yang Bunga Desember. 💕💕💕

***

Rania terus menatap penuh selidik ke arah Arvin. "Maaf, apa kamu udah 'tidur' sama banyak cewek?'

Bukannya tersinggung, Arvin malah tersenyum miring. Ia gemas dengan perubahan ekspresi di wajah Rania. "Aku dulu waktu SMA gonta ganti pacar buat cari yang bikin nyaman dan mereka tau track record aku. Kebanyakan, kita putus baik-baik. Tapi aku bukan tipe yang suka selingkuh. Aku macarin cewek setelah mutusin yang sebelumnya."

"Itu aja? Itu mah nakalnya normal." Rania berpikir. "Tapi, parah juga, sih. Soal...."

"Kalau nidurin cewek, aku nggak pernah. Apa Lingga lebih parah? Sampai tidur sama selingkuhannya? "

Ada tatapan tidak percaya di mata Rania. Ia memang sudah menduga jika Arvin bukan orang yang lurus alias alim. Namun, ia suka dengan kejujuran pria itu. Sekaligus, ia juga suka sama sikap terang-terangan Arvin.

"Ran?"

"Ya, jauh lebih parah. Tapi soal 'tidur', aku nggak tau."

Arvin setia menatap Rania, menunggu calon istrinya itu bercerita. Kini, raut wajah gadis itu tampak berubah-ubah dan Arvin makin dibuat penasaran. Ketika Rania bersiap memulai, ia menatap lekat mata Arvin.

"Aku sama Lingga pacaran sejak kami SMA. Dulu itu dia juga udah kenalin aku ke keluarganya, mereka nerima aku. Baik banget. Apalagi ibunya yang kemarin bolak-balik manggil aku Kiran. Beliau guru Bahasa Indonesia yang sabar banget. Ayahnya guru olahraga yang sekarang udah jadi kepala sekolah SD." Rania berhenti bercerita dan menatap Arvin. Ia melihat pria itu tengah mengingat-ingat dan mengangguk. "Semuanya baik-baik saja. Hubungan kami termasuk yang bikin banyak orang iri, karena Lingga pemain basket yang punya banyak fans cewek. Seangkatan aku dulu, nggak banyak hubungan sama atlet yang langgeng. Tapi itu cuma sampai ketika kami kuliah di semester awal."

Kali ini Arvin semakin menajamkan pendengarannya.

"Lingga tiba-tiba telepon dan bilang kalau dia dijodohin sama anak dari temen ayahnya yang sesama kepala sekolah."

Mata Arvin melebar. "Dan dia nerima itu?"

Rania mengangguk. Tatapannya memandang jauh. Ingatan akan awal masa berat hubungannya dengan Lingga kembali menari-nari seolah di pelupuk matanya.

***

"Kamu langsung nerima?" tanya Rania dengan raut pucat pasi. Di hadapannya, Lingga hanya menunduk. Kali ini Rania masih menjaga volume suara dan cara bersikap, mengingat mereka tengah berada di kantin kampus. "Kenapa mendadak banget? Apa aku bikin salah yang bikin ayah kamu nggak suka sama aku?"

Lingga menggeleng. Pria yang kini masih mengenakan seragam tim basket fakultasnya itu juga tak berani menatap kekasihnya lebih lama lagi. "Nggak ada yang salah sama kamu, Ran. Aku udah coba nolak beberapa kali, tapi ayah nggak mau dengerin. Soalnya dia juga udah telanjur nerima tawaran perjodohan itu sama temennya."

"Jadi yang nawarin itu dari pihak perempuan?" Ekspresi tidak percaya makin tersorot di wajah Rania. "Ya udah, mau gimana lagi, kan?"

"Ran." Lingga buru-buru menggenggam tangan Rania ketika gadis itu mengambil ponsel siap memasukkannya ke tas. "Aku mohon kita jangan pisah. Kita tetep jalan dan pelan-pelan jelasin hubungan kita sama ayah. Tapi, untuk Tyas, biar aku yang jelasin nanti kalau waktunya tepat. Soalnya Tyas cukup kekanak-kanakkan dan sering ngadu ke ayahnya. Kalau aku bikin dia nangis dan ayahnya laporan sama ayah, bisa-bisa aku kena pukul. Kamu tahu ayah gimana, kan?"

Kontrak ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang