Bab 35 (END)

14.1K 720 67
                                    

Hallo semuanya...
Akhirnya setelah cerita ini mengendap bertahun-tahun, aku bisa menuliskan 'End'. Mau nangisss.
Banyak proses selama aku nulis ini. Dari penuh semangat, rame pembaca, cerita ini udah dilamar penerbit, semangatku turun, stuck, muncul ketakutan selama nulis jadi akhirnya nggak bebas menuangkan imajinasi, sampai pada titik aku minta izin untuk cancel lamaran penerbit yang udah aku terima, aku balik nulis lagi walau terseok-seok dan view serta like komen jatuh. Bismillah ya, semoga berkah.

Masih dalam rencana aku buat balik produktif nulis novel. Dan cerita ini masuk list novel aku dengan alur yang bedaaa. Biar kalian yang beli nggak rugi. Tapi kapannya pun aku belum tau. Aku masih tes ombak dulu.

Btw, kalian ada yang mau baca FF nggak, sih? Aku ada projek sama sahabatku, dia fans BTS dan yang satu fans NCT. Kalau ada yang mau baca, aku post juga. Udah ada lumayan banyak part.

Dan setelah ini, kita pindah lapak di cerita 'Kali Kedua', ya. Aku usahain banget rajin update.

Teruntuk semuanya yang baca dan kasih feedback, terima kasih banyak. Jangan lupakan cerita Arvin sama Rania. Kali aja bakal ada ekstrapart. Love you all.

***

Poin terakhir yang tertulis dalam lembar kontrak pra-nikah berbunyi, 'Tidak ada jangka (batas) waktu untuk pernikahan.' Sekali lagi Rania membaca rangkaian kata yang ia rasa belum pernah dibaca dulu ketika mereka membahas pembuatan kontrak.

"Siapa yang masukin poin ini?"

"Aku." Arvin terlihat begitu santai sambil mengambil tas plastik berisi makanan yang dibawa Rania. Pria itu kemudian berjalan menuju ruang makan.

"Kapan?" Rania mengekor suaminya yang akhirnya berhenti di meja makan. "Kita nggak pernah sepakat nulis ini!"

Arvin berbalik dan menatap sang istri. "Dengan dokumen yang sudah ditanda tangani, berarti kan sepakat."

"Aku nggak pernah tahu ada pasal ini!"

"Berarti kamu yang nggak teliti. Makanya kamu harus membaca dengan cermat apa yang akan ditanda tangani." Kali ini Arvin tersenyum, kemudian menarik Rania ke dalam pelukannya. "Kamu pikir, pernikahan itu mainan?"

Tak ada balasan. Rania masih terkejut dengan kenyataan yang ia terima. Sedangkan Arvin masih menunjukkan kelembutan dengan mengusap kepala Rania.

"Apa kamu lagi suka sama cowok selain aku, Gavin, bapak, dan Mas Rama?"

Rania mendongak dan menatap Arvin dengan penuh kebingungan. Namun, Arvin belum juga ingin melepas pelukan.

"Jangan-jangan Sammy?"

"Jangan ngaco, deh. Lagi hamil gini masa aku main api." Rania kembali menunduk. "Bisa lepasin aku nggak?"

Bukannya mengabulkan permintaan sang istri, Arvin malah semakin memeluk erat Rania. "Nggak. Aku nggak ingin kehilangan kamu dan calon anak kita. Apa kamu tega pisahin ayah dan anak? Aku nggak sebejat itu, Ran."

"Tapi pernikahan kita nggak berlandaskan cinta. Itu kecelakaan. Apa kamu nggak menyesal?"

"Nggak. Menikah sama kamu itu pilihan aku." Arvin masih mengusap kepala Rania dalam pelukannya. "Kalau gara-gara kecelakaan saat kita ciuman waktu itu, aku bisa mangkir. Itu hal yang udah biasa orang-orang lakukan. Tapi, memang dari pertemuan awal, aku tertarik sama kamu."

Kening Rania kembali membentuk kerutan. Pelukan keduanya terlepas dan Arvin membimbing Rania duduk di kursi makan. Lalu, pria yang cambangnya tumbuh tipis itu juga menarik kursi agar lebih dekat dengan sang istri.

"Kamu inget pertemuan pertama kita?"

Rania mengangguk.

"Jiwa kemanusiaan kamu, mentalitas kamu, dan saat kamu gendong bayi meskipun agak canggung, aku takjub dan mulai tertarik sama kamu." Arvin menggenggam tangan Rania dan menatapnya dengan kesungguhan. "Lalu saat kita ketemu lagi di rumah sakit. Kamu gendong Gavin yang rewel. Aku yakin, itu takdir. Apa kamu lupa tentang jaket?"

Kontrak ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang