Bab 32

5.9K 506 14
                                    

Hai semuanya, nggak terasa 1 bulan dari posting terakhir. Maaf ya. Dunia nyata suka mendukung kemalasan aku.

Jangan lupa sebelum baca klik like dulu. Terus di tengah baca atau setelah baca isi kolom komen. Biar aku lebih semangat 😆

Oh iya, untuk short novel dan novel Unexpected Marriage versi pdf sekarang bisa kalian pesan langsung ke aku ya. Nggak di google playbook nggak papa. Ternyata potongannya gede banget di google playbook. Jadi, aku putuskan untuk jual via email aja. Nah, pemesanannya bisa via WA, ya. 087719750055.

Untuk daftar judulnya, aku update kalau udah fix. Sementara yang udah ok Unexpected Marriage book 1 dan 2, sama Regret.

Soon mau aku buat Darangshi Oreum versi Indonesia dan Korea. Tapi menjadi dua cerita yang berbeda. Judulnya aja yang sama karena ada satu setting yang sama. Tapi masih rencana. Mohon dukungannya ya teman-teman.

Jangan beli yang bajakan!

***

Rania beberapa kali menatap jam dinding sambil menimang-nimang Gavin yang tengah rewel. Ekspresi paniknya membuat Indri pun ikut tidak tenang. Rania konsisten mengecek suhu tubuh Gavin dengan menempelkan tangan di kening bayi gembil yang terus menempelkan pipi di dadanya.

"Indri, tadi saya sudah telepon mas Arvin, 'kan?"

"Sudah, Bu."

Sekali lagi Rania menghela napas panjang. Ia menatap ponselnya yang tergeletak di atas meja ruang tamu. Tak ada pesan atau panggilan masuk padahal sudah lebih dari satu jam dirinya menghubungi sang suami.

"Indri, tolong ambilkan termometer lagi." Rania mengecup kening Gavin saat bayi itu mendongak menatapnya dengan mata merah. "Sabar ya, Sayang. Papa kamu kok belum pulang-pulang, sih?"

"Ini, Bu."

Rania dibantu Indri mengecek suhu tubuh Gavin dan hasilnya membuat keduanya berpandangan. Melihat mata Rania berkaca-kaca, Indri segera meletakkan termometer dan berkata, "Bu, wajar kalau balita habis divaksin akan mengalami sedikit demam."

"Tapi demamnya makin naik, In. Ini mas Arvin nyetir dari ujung kulon ke ujung wetan, ya? Lama banget!"

"Gimana kalau Gavin saya gendong saja, Bu?"

"Makin nggak tenang saya."

Pelukan Rania semakin erat dan ia kembali mencium kening bayi yang kini sesekali merengek sambil memejamkan mata.

Suara mobil memasuki pelataran, tak lama terdengar suara pintu mobil yang ditutup. Butuh kurang lebih 15 menit sebelum Arvin benar-benar menemui Rania dan Gavin di ruang tamu karena harus mandi terlebih dahulu di kamar mandi luar.

"Sayang, demamnya masih belum turun?" Arvin langsung mengecek kondisi Gavin setelah memastikan suhu tangannya normal.

"Saya permisi, Pak, Bu."

Arvin mencoba mengambil alih Gavin dari gendongan Rania. Namun, istrinya itu malah berbalik dan berjalan menuju kamar Gavin. Merasa respons Rania yang tidak ramah dan mata wanita itu yang memerah, membuat Arvin hanya mengekor.

"Bentar lagi demamnya akan turun." Arvin mengusap lengan Rania dari belakang. "Ran, tenang aja."

"Tenang?" gumam Rania setelah menidurkan bayi yang telah tenang itu.

Tanpa menatap sang suami, Rania langsung keluar dan memanggil Indri untuk menjaga Gavin sementara waktu. Ia pun kemudian berjalan menuju kamar utama dan tentu saja diikuti oleh sang suami.

"Kamu mau ke mana?" tanya Arvin saat melihat sang istri mengambil selimut di dalam lemari.

"Tentu saja nemenin Gavin."

Kontrak ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang