Bab 23

8.3K 644 109
                                    

Rania terpaksa bangun dan hendak berjalan ke kamar mandi. Arvin yang kini menggantikannya tidur di samping Gavin, memanggilnya.

"Kalau mau mandi, handuk biru itu punya kamu. Sikat gigi biru juga punya kamu."

Ekspresi Rania benar-benar lucu. Ia memiringkan kepala dan menatap Arvin tidak percaya. "Lalu, apa lagi yang punyaku?'

"Beberapa baju di lemari juga punyamu." Arvin menunjuk ke arah lemari dengan gerakan dagunya. "Semoga muat."

"Baju?"

Hanya anggukan yang Arvin berikan. Pria itu juga sudah sibuk kembali dengan ponselnya.

"Buka saja. Yang nggak ada, cuma underware," ucap Arvin dengan santai dan hanya melirik dari sudut matanya.

Rania benar-benar syok dengan kenyataan yang baru saja diutarakan Arvin. Karena tak tahu lagi harus merespons bagaimana, gadis berambut panjang itu segera masuk ke kamar mandi. Dan benar saja, Arvin telah menyiapkan semuanya. Diam-diam Rania menatap pantulan dirinya di cermin.

Kenapa kelakuannya bikin aku baper kayak gini? Dia udah kosongin sebagian lemarinya buat aku? Kenapa pernikahan kontrak ini malah kerasa kayak pernikahan normal, sih?!

***

Tepat saat bel berbunyi, tangisan Gavin terdengar. Sontak saja pasangan palsu itu berlari ke kamar dan Rania dengan segera menggendong Gavin yang nyaris terjatuh dari tempat tidur. Mereka berpandangan, tanpa bicara lagi keduanya bergegas keluar kamar saat Gavin tak lagi menangis.

"Kamu pasti takut, ya?" Rania mengecup puncak kepala Gavin. Kelembutannya itu membuat bayi itu menempelkan kepalanya di dada Rania, bahkan memegang erat gaun biru muda yang dibelikan oleh Arvin dan memang benar diletakkan di lemari.

"Halo, Vin. Apa kabar?"

Suara itu mengundang Rania untuk segera berjalan ke ruang tamu. Ia melihat ayah Arvin yang tampak secanggung putranya dan juga Yenny yang tersenyum lebar. Bahkan, wanita itu segera berjalan ke arahnya setelah berjabat tangan dengan Arvin.

"Rania...." Yenny langsung memeluk Rania walaupun terhalang Gavin. "Sini biar Tante yang gendong Gavin. Kamu udah baikan?"

"Terima kasih, Tante. Gavin baru bangun dan rewel." Rania tak lupa tersenyum.

"Tapi kamu udah baikan, kan?"

Tentu saja Rania mengangguk saat tangan Yenny menyentuh pinggangnya. Ada rasa hangat saat ibu tiri Arvin itu memberikan perhatian. Tentu saja ia merasakan ketulusan dan pengharapan yang wanita itu tunjukkan.

"Mari duduk." Arvin menyela dan mencoba mengambil alih Gavin, tetapi bayi itu malah merengek dan mengencangkan pegangannya pada gaun Rania.

"Anak manja," gumam Arvin yang kemudian mengusap kepala Gavin. Ia beradu pandang dengan Rania dan meletakkan tangan di pinggang gadis itu.

"Mau makan dulu, Om... Tante?" Rania mencoba memecah keheningan. Ia dengan jelas melihat kegugupan kedua pria di sekitarnya. Dan Yenny juga hanya diam sembari bertukar pandang dengannya. "Mari, Tante?"

Yenny segera beranjak.

"Ayo. Rania benar. Rupanya kamu pintar banget, Ran. Kita memang harus kenyang dulu untuk bisa beraktivitas normal." Tak lupa wanita itu tersenyum lebar.

Rania menyentuh paha Arvin saat pria itu masih diam di tempat. Tak ada kata yang terucap. Gadis itu hanya melemparkan senyuman dan tatapan penuh bujukan. Di posisi lain, Yenny juga melakukan hal yang sama pada suaminya. Dan pada akhirnya kedua pria itu beranjak.

Arvin memberikan komando menggunakan tangannya.

"Gavin mau makan, nggak?" tanya Rania pada bayi gembil yang sejak tadi menatapnya sembari tersenyum. "Gavin mau sama Mbak Indri dulu?"

Kontrak ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang