Bab 13

10.4K 913 89
                                    

Happy reading ya, teman-teman. Makasih sudah memberikan banyak dukungan. Kalau likenya tembus 300, kira-kira bisa nggak, ya?

Oh iya, bab ini dan ke depannya beda sama yang dulu, ya.

***

Jadwal Arvin baru saja selesai. Ketika membuka jas putih identitasnya, pria yang tadi pagi tidak mencukur janggutnya itu tampak berpikir cukup lama. Ia masih teringat akan pemicu ciumannya pada bibir Rania yang menjadi malapetaka. Namun, bukan mengeluhkan tentang keributan dengan keluarga Rania, ia malah teringat dengan ekspresi sedih gadis itu.

Arvin sangat ingat, awalnya Rania berkata, "Dokter Arvin, boleh aku minta tolong sekali lagi?" dengan tatapan sedih dan membuat sesuatu dalam dirinya terdorong untuk menatap gadis itu. Ia tidak menyanggupi dan tidak juga menolak.

"Bisa minta tolong untuk meminta dokter mengizinkan aku pulang?" Rania yang Arvin lihat bukanlah yang ia kenal. Dan gadis itu kembali menatap Arvin. "Aku nggak nyaman di sini."

"Karena cowok yang namanya Lingga itu?"

Anggukan lemah diberikan oleh Rania. "Lingga dan keluarganya."

"Kenapa kamu sebenci itu sama Lingga?" Arvin mencoba peruntungan. Entah, terkadang pertanyaan itu menghantuinya.

Rania menggigit bibir bawah dan segera menunduk. Kemudian, ia mengangguk ketika merasakan tangan Arvin menyentuh bahunya. Ia merasakan simpati dan dukungan dari sentuhan itu. "Karena dia pergi ketika aku benar-benar di titik terbawah. Saat yang aku butuhkan itu dukungan. Tapi, dia dan keluarganya malah makin ngedorong aku di titik terendah." Rania kembali menutup kedua matanya menggunakan telapak tangan kiri. Bibirnya terus saja bergetar. Air matanya tak henti menetes akibat luka lama itu.

Sebelum Rania mendapatkan kekuatan untuk lanjut bercerita, Arvin memeluknya. Mengusap punggung Rania, kemudian membuat gadis itu menatapnya. Arvin dengan hati-hati menghapus air mata Rania. "Aku nggak bisa minta itu ke Dokter Indra. Karena kondisi kamu memang harus dalam pengawasan. Tapi, aku bisa minta pihak rumah sakit pindahin kamu ke kamar lain. Gimana?" Arvin hanya menatap Rania dan tatapan gadis itu benar-benar penuh permohonan serta keputusasaan.

Seiring waktu bergulir dan semuanya masih di posisi yang sama, mereka beradu pandang. Seolah saling merapalkan mantra, tatapan keduanya melembut dan jarak wajah mereka makin terkikis. Pelan. Pelan. Rania memejamkan mata setelah Arvin sedikit memiringkan kepala. Mata Arvin tertutup tepat ketika bibir keduanya bersentuhan. Lembut, mereka melakukan semua itu dengan penuh kelembutan.

Arvin langsung memejam dan menggeleng hebat mengingat detail kejadian memalukan pagi tadi. Ia beranjak untuk meluruskan sesuatu pada Rania. Dalam perjalanan, ia sempat berhenti sekadar mengobrol atau menjawab pertanyaan beberapa rekan kerjanya.

"Jam besuk udah mau habis kayaknya. Aku pulang dulu, ya. Jangan nangis lagi. Ini kan musibah." Itulah suara pertama yang Arvin dengar setelah membuka pintu. Seorang wanita berpipi chubby baru saja mengusap lengan kiri Rania.

"Makasih, Mbak." Rania mengusap air mata. "Aku nangis karna tangan sama badanku sakit. Sama Mbak juga bikin aku terharu. Makasih udah jenguk."

"Ei... kayak sama siapa aja. Aku pulang, ya." Teman Rania itu melambaikan tangan dan berbalik. Langkahnya terhenti saat melihat Arvin di depan pintu dan langsung tersenyum. Karena bingung, wanita itu buru-buru keluar sambil tersenyum.

Rania sangat yakin, beberapa menit lagi pasti ponselnya penuh dengan pesan masuk. Ah, dasar! Kenapa semua orang muncul di waktu yang tidak tepat?

"Gimana kondisi kamu?" Arvin berjalan mendekati Rania dengan santai. Dan saat sudah dekat, pria yang tampil beda dengan janggut tipisnya itu kehilangan senyuman. "Soal yang tadi pagi, aku minta maaf."

Kontrak ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang